NovelToon NovelToon
Love, On Pause

Love, On Pause

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Diam-Diam Cinta / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:385
Nilai: 5
Nama Author: Nisa Amara

Jovita Diana Juno dikhianati oleh kekasihnya sendiri, Adam Pranadipa tepat tiga bulan sebelum pernikahan mereka. Sementara itu, Devan Manendra lekas dijodohkan dengan seorang anak dari kerabat ibunya, namun ia menolaknya. Ketika sedang melakukan pertemuan keluarga, Devan melihat Jovita lalu menariknya. Ia mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan, dan sudah membicarakan untuk ke jenjang yang lebih serius. Jovita yang ingin membalas semua penghinaan juga ketidakadilan, akhirnya setuju untuk berhubungan dengan Devan. Tanpa perasaan, dan tanpa rencana Jovita mengajak Devan untuk menikah.

update setiap hari (kalo gak ada halangan)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nisa Amara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

12

Sudah beberapa hari Jovita dan Devan tidak bertemu. Rupanya, Jovita benar-benar serius dengan ucapannya. Sementara itu, Brownie dirawat oleh Karen sampai Jovita menemukan seseorang yang mau mengadopsinya.

Kabar putusnya Jovita dan Devan akhirnya sampai juga ke telinga Mawar. Siang itu, ia sedang memeriksa beberapa berkas di kantornya ketika asisten pribadinya masuk dan menyampaikan berita itu.

“Devan putus dengan pacarnya?” tanyanya, memastikan ia tidak salah dengar. Begitu asistennya mengangguk, senyum tipis langsung terukir di bibir Mawar. Dalam hatinya, ia tahu ini adalah kesempatan untuk mendekati Devan lagi.

Bukan hanya Mawar yang mulai bergerak, Rosmala pun melakukan hal yang sama. Sore itu, ia baru saja menyelesaikan persidangan dan kebetulan bertemu dengan Devan, yang juga baru keluar dari ruang sidang untuk kasus berbeda. Mereka bertemu di lobi gedung pengadilan, tempat yang sengaja Rosmala pilih untuk menunggunya.

Tak lama kemudian, Devan muncul dengan setumpuk berkas di tangannya. “Mama mau bicara,” ucap Rosmala, menghentikan langkahnya. Devan hanya melirik sekilas tanpa niat menyapa, namun akhirnya menarik napas pendek dan berhenti.

“Cepat aja. Aku masih sibuk,” katanya datar.

“Kita bicara di mobil aja,” balas Rosmala, lalu berjalan lebih dulu menuju mobil Devan.

Kantor kejaksaan tempat Devan bekerja searah dengan firma hukum keluarga mereka, jadi ia memutuskan sekalian mengantarnya.

Dalam perjalanan, Rosmala tiba-tiba membuka suara. “Menikahlah dengan Mawar.”

Devan menoleh cepat, keningnya berkerut.

“Kamu kan udah putus sama pacarmu,” lanjut Rosmala tenang. “Jangan buang-buang waktu. Mawar jelas menyukaimu, nikah sama dia aja.”

Beberapa detik hening. Devan menatap jalan di depannya, rahangnya mengeras. “Aku gak putus sama pacarku,” ucapnya akhirnya.

Rosmala menoleh cepat, sedikit terkejut. Ia yakin tidak salah dengar waktu Jovita sendiri mengatakan bahwa pernikahannya dengan Devan sudah dibatalkan.

“Kita memang lagi ada masalah,” ucap Devan, suaranya terdengar tenang tapi tegas. “Tapi aku gak putus sama dia. Jadi, jangan suruh aku nikah sama orang lain lagi.”

Rosmala hanya diam, menatap putranya dengan ekspresi sulit dibaca. Sementara itu, di balik ketenangan suaranya, hati Devan justru bergejolak. Ia sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Haruskah ia mendekati Jovita lagi? Atau membiarkannya pergi? Bahkan, ia tak yakin apakah Jovita masih mau membuka pintu untuknya.

Sesampainya di kantor, Devan langsung duduk di depan komputernya. Matanya menatap layar, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Apakah berbohong sudah menjadi kebiasaannya? Atau sebenarnya ia hanya takut menikah, sampai rela menutupi semuanya dengan kebohongan?

Devan menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuh di kursi. Telunjuknya mengetuk pelan meja kerja, pikirannya berputar mencari langkah berikutnya.

Setidaknya aku harus mencoba bicara dengannya, batinnya. Ia segera meraih ponsel dan membuka daftar kontak, mencari nama Jovita.

Namun begitu menemukannya, matanya langsung membulat. “Dia... memblokirku?!” serunya tak percaya. Rekan sekantornya sampai menoleh kaget karena nada suaranya yang meninggi.

“Kenapa dia setega ini…” gumam Devan pelan, lebih seperti keluhan daripada pertanyaan.

Begitu jam kerja usai, Devan segera merapikan barang-barangnya. Ia sudah memutuskan, malam ini ia harus menemui Jovita. Entah di kantor, entah di rumah. Yang penting, mereka harus bicara.

“Cepat banget beresinnya, langsung mau pulang?” tanya rekannya heran saat melihat Devan sudah mengenakan jas hitamnya. Tapi Devan hanya melambaikan tangan singkat, tak menjawab, lalu melangkah cepat keluar ruangan.

Baru saja melewati pintu lobi, suara seseorang menahannya. “Mau ke mana buru-buru begitu?”

Devan menoleh dan langsung menghela napas saat melihat siapa yang berdiri di sana. Mawar.

“Ngapain kamu di sini? Nunggu aku?” tanyanya datar.

Mawar terkekeh kecil, matanya menatap Devan dengan sorot menggoda. Ia melangkah pelan mendekat, hingga jarak di antara mereka hampir hilang. “Setengah benar,” ujarnya sambil tersenyum tipis. “Tapi juga setengah salah.”

Devan mengernyit, menatap Mawar dengan heran. Sebenarnya, Mawar datang ke kejaksaan karena ada urusan di sana. Ia tidak benar-benar menunggu Devan, setidaknya, tidak sejak awal. Dalam perjalanan tadi, mobilnya sempat bermasalah dan harus dibawa ke bengkel, jadi ia melanjutkan perjalanan dengan taksi. Sekarang ia hanya sedang menunggu sopirnya menjemput, dan kebetulan Devan keluar saat ia masih di sana.

“Mengurus sesuatu?” tanya Devan, nada suaranya datar tapi penuh rasa ingin tahu.

Mawar tak langsung menjawab. Ia menunduk menatap ponselnya yang baru saja berbunyi, pesan dari sopirnya. Karena jam pulang kerja, lalu lintas macet dan sopirnya mengabari akan terlambat.

“Antar aku,” ucapnya kemudian, menatap Devan dengan ekspresi tenang tapi serius.

Devan menghela napas pendek. “Kenapa aku harus nganter kamu?” tanyanya malas.

“Supirku terlambat, sementara aku masih banyak pekerjaan di rumah. Kalau nunggu di sini, cuma buang waktu,” jawab Mawar mantap, suaranya tegas namun mengandung nada memohon. “Jadi antar aku pulang.”

Devan menarik napas panjang. Dalam pikirannya, ia hanya ingin segera menemui Jovita, tapi malah harus berhadapan dengan Mawar yang kini berdiri menatapnya penuh harap.

“Ikut aku,” ucap Devan akhirnya. Ia tahu rasanya terjebak situasi seperti itu, pekerjaan menumpuk, waktu terbatas, dan macet di mana-mana.

Mawar tersenyum kecil, nyaris seperti senyum kemenangan, meski cepat-cepat ia sembunyikan. Ia mengikuti Devan masuk ke mobil.

Sepanjang perjalanan, tak ada percakapan berarti. Devan menatap jam berulang kali, hatinya cemas, semoga saja belum terlambat untuk menemui Jovita.

Hening itu akhirnya dipecahkan oleh Mawar. “Kudengar kamu…”

“Enggak,” potong Devan cepat, tanpa menoleh.

Mawar mengernyit bingung. Ia bahkan belum selesai bicara, tapi Devan sudah bisa menebak arah ucapannya.

“Aku gak putus sama pacarku,” lanjut Devan, suaranya dingin tapi tegas. “Jadi jangan lakukan apa pun.”

Sekali lagi, Mawar harus menerima penolakan dari Devan. Ia menghembuskan napas panjang, sedikit kesal. Ribuan pertanyaan berputar di kepalanya. Apakah ada yang kurang dari dirinya? Hingga Devan terus menolaknya tanpa henti.

“Kamu membenciku?” tanyanya akhirnya, suara agak getir.

Devan menoleh sekilas. Ia terdiam beberapa saat. Bukan kebencian yang membuatnya menolak Mawar. Justru sebaliknya, ia menahan diri agar hubungannya dengan wanita itu tidak semakin rumit. Selama ini, mereka memang teman baik.

“Bukan itu,” jawab Devan pelan.

“Terus kenapa?” desak Mawar, nada suaranya mulai menekan.

Devan terdiam, menatap jalan di depannya. Ia sudah tahu alasannya. Perusahaan keluarga Mawar menekan kontrak sebagai mitra utama firma hukum keluarganya bukan tanpa sebab, mereka mencari perlindungan hukum.

Beberapa kali, saat menelusuri arsip, Devan menemukan kasus-kasus yang melibatkan perusahaan Mawar. Kasus-kasus itu cukup serius namun ditutup begitu saja, dan sebagai jaksa, suatu hari ia bisa saja harus menanganinya. Jika ia menikah dengan Mawar, posisi itu akan menjadi masalah besar. Bagaimana ia bisa menegakkan hukum dan menanamkan nilai moral jika berhubungan langsung dengan keluarga istrinya?

Mawar merasa kesal karena diabaikan. Ia mendecik frustrasi. “Turunkan aku di depan,” ucapnya akhirnya, suaranya dingin tapi menahan amarah.

Namun, tekad Mawar tidak goyah. Sekalipun ditolak, ia tak akan menyerah begitu saja. Ia masih akan terus berusaha, berharap suatu saat Devan berada di pihaknya, dan pernikahan adalah jalan yang ia yakini bisa mewujudkannya.

Begitu menurunkan Mawar, Devan langsung menekan pedal gas dan melaju menuju rumah Jovita. Ia tahu, kemungkinan bertemu di sana jauh lebih besar daripada menunggunya di kantor.

Setibanya di depan rumah, Devan baru saja keluar dari mobil ketika matanya menangkap sosok yang tak asing. Noah, bersama istrinya, baru tiba juga. Di pelukannya, Eden tampak tertidur pulas, kepalanya bersandar di bahu Noah.

Sebelum mereka sempat masuk, Devan segera melangkah menghampiri. “Permisi,” ucapnya pelan. Suaranya sopan, tapi ada keraguan di ujung nada.

Noah dan istrinya sama-sama menoleh. Tatapan Noah sempat kosong beberapa detik, seolah mencoba mengenali wajah di depannya. Lalu matanya melebar sedikit. “Devan?”

Devan sempat terkejut Noah masih mengingatnya. Ia tersenyum kecil dan mengangguk.

“Kenapa ke sini?” tanya Noah kemudian, nadanya datar tapi penuh kehati-hatian.

“Jovita ada?” Devan melirik ke arah rumah, berharap bisa menangkap sosok yang dicarinya walau hanya sekilas.

Noah menatapnya sejenak, lalu menggeleng. “Gak tau. Kami baru pulang. Mungkin dia udah pulang juga. Emangnya ada urusan apa?” nada suaranya kini terdengar menyelidik, sedikit waspada.

Devan menahan diri untuk tidak gelisah. Meski jantungnya berdetak cepat, ia tetap berusaha tenang. “Ada yang mau kubicarakan dengannya,” ucapnya singkat, namun tegas.

Noah sempat terdiam, tapi sebelum sempat membuka mulut, Eden tiba-tiba merengek pelan. Dengan sigap, Noah menyerahkan bocah kecil itu pada sang istri agar dibawa masuk lebih dulu. Begitu pintu rumah tertutup, suasana di halaman kembali hening. Ia menatap Devan lagi, kali ini dengan sorot mata lebih waspada.

“Apa yang mau kalian bicarakan?” tanyanya akhirnya. Suaranya tidak meninggi, tapi cukup tegas untuk menunjukkan sikapnya sebagai kakak yang melindungi. Ia tak berniat ikut campur, hanya tidak ingin adiknya terluka lagi.

Devan terdiam. “Itu…” suaranya pelan, tapi kata-kata berikutnya tersangkut di tenggorokan. Tatapan tajam Noah membuatnya semakin gugup.

Dan tepat saat itu, Jovita muncul dengan langkah cepat, tampak baru saja pulang. “Ngapain ke sini?” tanyanya, alisnya bertaut, nada suaranya terdengar heran tapi juga hati-hati.

Devan menelan ludah, lalu menatapnya dengan sorot lembut. “Bisa kita bicara sebentar?” katanya nyaris berbisik.

Noah menatap keduanya bergantian. Ia tak mengatakan apa pun, tapi dari ekspresinya jelas, ia tidak akan meninggalkan tempat itu begitu saja.

Jovita sempat menatapnya curiga, dahi berkerut tipis. Lalu, setelah beberapa detik hening, ia berkata, “Oke,” suaranya terdengar pelan namun tegas. Lalu matanya menatap Noah. “Aku ngobrol sebentar sama dia.”

Mereka berpindah ke taman kompleks yang sepi, hanya ada suara angin yang menggesek dedaunan dan sesekali bunyi jangkrik dari kejauhan. Devan duduk lebih dulu di bangku taman, menunduk tanpa suara. Kedua tangannya saling menggenggam, seolah mencari kekuatan untuk bicara. Tapi tak ada satu pun kata yang keluar.

Sementara itu, Jovita berdiri di depannya. Wajahnya lelah, matanya sayu, dan jelas terlihat kalau ia hanya ingin cepat pulang. Ia mendecak pelan, kehilangan kesabaran.

“Apa yang mau kamu bicarain?” tanyanya datar. “Mau aku jadi pacarmu lagi?” tebaknya asal, nada suaranya terdengar setengah mengejek.

Devan langsung menoleh, matanya membulat. “Kok tau?”

Jovita menatapnya malas, lalu menghela napas panjang, campuran antara kesal dan letih. “Enggak mau,” jawabnya tegas tanpa ragu.

Sorot mata Devan langsung meredup. Ia terdiam, pandangannya jatuh ke tanah, dada terasa hampa. “Kenapa?” tanyanya pelan, hampir tak terdengar.

Jovita sempat menatapnya lama, wajahnya datar tanpa emosi. “Kenapa?” ulangnya, seolah tak percaya pertanyaan itu masih juga keluar dari mulut Devan. Ia menarik napas panjang, lalu berkata dingin, “Karena gak ada untungnya buat aku.”

Devan kembali menundukkan kepala. Keheningan sempat menggantung di antara mereka, sampai akhirnya Jovita kembali bicara. “Udah, kan? Kamu udah tau jawabanku, sekarang kita gak ada hubungan apapun lagi,” katanya, lalu berbalik hendak pergi.

Namun langkahnya tertahan ketika suara Devan terdengar pelan di belakangnya. “Gimana dengan Adam? Kamu baik-baik aja?”

Tubuh Jovita menegang. Napasnya naik turun, luka lama yang coba ia tutupi kembali dibuka oleh Devan. Perlahan ia memutar badan, menatapnya lagi. “Apa hubungannya dengan ini?” suaranya rendah, tapi penuh emosi.

“Bukannya kamu setuju jadi pacarku karena mau nunjukin padanya? Kamu baik-baik aja tanpanya,” ucap Devan, kini berdiri berhadapan dengannya.

Mata Jovita bergetar, emosinya mulai memuncak. Devan tahu betul cara memancingnya. “Aku lagi emosi saat itu,” ujarnya berusaha tenang. “Tapi sekarang gak perlu lagi. Aku akan ngurusnya sendiri.” Ia melangkah pergi, tapi Devan buru-buru menahan tangannya.

“Kumohon, bantu aku,” suara Devan terdengar serak. Matanya memohon, tapi Jovita tak menoleh. Ia hanya menarik napas panjang dan melanjutkan langkahnya.

“Jo, kali ini aja. Untuk terakhir,” ucap Devan lagi, sedikit lebih keras, seolah berharap suara itu bisa menghentikan langkah Jovita.

Namun perempuan itu akhirnya berhenti juga. Bahunya naik turun, menahan emosi yang sudah di ujung batas. Perlahan, ia berbalik. Wajahnya tegang, matanya menatap Devan tanpa ragu.

“Devan,” panggilnya dengan nada dingin. “Selesaikan masalahmu sendiri. Kenapa aku harus masuk ke dalamnya?”

Kata-katanya tajam, menembus hening di antara mereka. Devan hanya terpaku di tempat, bibirnya terbuka tapi tak ada suara keluar.

“Jangan cari aku lagi,” ujar Jovita pelan tapi tegas. Tanpa menunggu reaksi, ia berbalik dan pergi, meninggalkan Devan yang hanya bisa menatap punggungnya menjauh, bersama sisa harapan yang ikut hilang bersamanya.

To be continued

1
Nindi
Hmm jadi penasaran, itu foto siapa Devan
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Blueberry Solenne
🔥🔥🔥
Blueberry Solenne
next Thor!
Blueberry Solenne
Tulisannya rapi Thor, lanjut Thor! o iya aku juga baru join di NT udah up sampe 15 Bab mampir yuk kak, aku juga udah follow kamu ya😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!