"aku...aku hamil Rayan !!" teriak frustasi seorang gadis
" bagaimana bisa laa" kaget pemuda di depannya.
Laluna putri 19 tahun gadis desa yatim piatu yang tinggal bersama neneknya sejak kecil.
Rayyan Aditya 22 tahun mahasiswa semester akhir anak orang berada asal kota.
Alvino Mahendra 30 tahun CEO perusahaan besar AM grup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rizkysonia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 18.
" ayo pah, tom kita sarapan" ajak Bu Meri ketika melihat suami beserta anaknya datang
" Lo kok tumben Luna tidak sarapan bareng kita" tanya Tomi
" katanya sudah sarapan tadi, gak tau sekarang kemana mungkin di taman belakang " sengaja berbohong karena tau suami dan anak nya sayang sama Laluna.
" Ouh kirain sakit, syukur lah kalau dia baik-baik saja"
" sudahlah ayo sarapan nanti terlambat lagi "
Luna yang awal nya mau lewat mengurungkan niatnya, ia mendengar kan apa yang di katakan mertua nya itu...
Luna mematung di tempatnya, napasnya terasa sesak mendengar kalimat yang barusan keluar dari mulut sang mertua. Hari pertama tanpa Rayyan sudah cukup membuat hatinya sepi, tapi kini... ia benar-benar merasa sendirian di rumah itu.
Ia menatap kosong ke lantai, mencoba menelan rasa getir yang tiba-tiba menggenang di tenggorokan. “Jadi begini rasanya,” batinnya lirih, “baru sehari Rayyan pergi, dan semuanya berubah secepat ini.”
Luna mundur perlahan, tak ingin ketahuan menguping. Setiap langkahnya terasa berat, seolah udara di sekelilingnya menolak keberadaannya. Ia berjalan menuju taman belakang—tempat terakhir yang masih terasa sedikit menenangkan.
Angin pagi berembus lembut, tapi tak mampu menyejukkan hati yang mendadak panas oleh kecewa dan rasa sakit.
Ia duduk di kursi kayu dekat kolam kecil, menatap pantulan wajahnya di air yang tenang. Mata itu tampak lelah, bibirnya kaku menahan tangis. “Kenapa harus secepat ini, Tuhan?” gumamnya pelan. “Aku bahkan belum sempat berbuat apa-apa, tapi sudah dianggap salah.”
Air mata pun jatuh, membasahi jemarinya yang dingin. Ingatan akan senyum Rayyan sebelum berangkat kembali muncul — senyum yang penuh janji untuk menjaga hatinya. Tapi janji itu kini terasa jauh, terlalu jauh untuk ia genggam di tengah rumah yang tidak lagi terasa seperti rumah.
Dalam diam, Luna menatap ke arah langit yang mulai diselimuti awan tipis. Ia berusaha meyakinkan diri, meski hatinya retak:
“Tak apa... aku kuat. Aku harus kuat.”
Namun di balik kalimat itu, ada getar halus yang tak bisa disembunyikan,ketakutan kecil bahwa mungkin, hari-hari berikutnya akan jauh lebih berat daripada hari ini.
...****************...
hari ini Luna mengerjakan semua pekerjaan rumah, dari mulai lapin guci guci, nyapu, pel jug bersihin kaca yang memang masih bersih. Luna mengerjakan semua nya walau dikit-dikit istirahat karena badannya kurang sehat, bi Ida art yang tersisa sudah di ancam akan di pecat kalau ketahuan membantu Laluna.
"huuhh cape nya.." Luna duduk di meja dapur meraih air minum
" ayo makan dulu.. Sebelum nyonya datang dari tadi kamu bekerja terus" bi Ida menyodorkan makanan ke hadapan Luna
" aku belum lapar bi" tolak Luna halus emang ia tidak selera makan
" tapi kamu harus makan, biar ada tenaga takut nya nanti nyonya datang dan dia nyuruh nyuruh kamu lagi, bagaimana?"
" baiklah Bi Luna makan" akhirnya Luna mencoba untuk makan walau semua terasa hambar, ia juga harus ingat dengan bayi yang ada di perut nya.
Bu Meri pergi setelah memberi perintah juga tugas-tugas yang harus dilakukan Laluna di rumah ini. Luna juga dilarang mengadu pada Rayyan atau pun yang lainnya, hanya bi Ida yang tau semuanya tapi dia juga di ancam untuk tidak melaporkan kepada siapapun.
...****************...
Hari-hari berikutnya terasa semakin berat bagi Luna. Setiap pagi ia terbangun lebih awal dari siapa pun di rumah itu, menyiapkan sarapan, menyapu halaman, mencuci pakaian, hingga mengurus kebun kecil di belakang rumah. Semua itu ia lakukan dalam diam, dengan tubuh yang kadang lemas dan pusing.
Bi Ida sesekali menatapnya dengan iba, namun tak bisa berbuat banyak. “Sabar ya, Nduk... semua akan berlalu,” ucapnya lirih suatu pagi saat melihat Luna hampir jatuh karena kelelahan.
Namun kesabaran Luna benar-benar diuji ketika Bu Meri mulai mencari-cari kesalahan sekecil apa pun. Sedikit saja ada debu di meja, ia akan memanggil Luna dengan suara keras hingga terdengar ke seluruh rumah, Bu Meri berani melakukan itu kalau semua orang tak ada di rumah.
“Kalau begini terus, bagaimana kamu mau jadi istri yang baik untuk anak saya?” kata Bu Meri tajam, membuat dada Luna sesak.
Setiap malam Luna hanya bisa menangis pelan di kamarnya, meraba perutnya yang mulai terasa menonjol. “Kuatlah, Nak... jangan sampai bunda kalah,” bisiknya pada bayi dalam kandungannya.
Ia merindukan Rayyan, suaminya, yang masih di luar kota. Pesan singkat dari Rayyan jarang datang, dan sekalinya ada, hanya berisi kalimat pendek, “Kamu baik-baik aja kan, Luna?”
Ia tak berani jujur. Ia hanya membalas, “Iya, Mas... aku baik.”
Janji Rayyan pulang tiap akhir pekan nyatanya tidak terjadi, sudah hampir 2 bulan sejak Rayyan pergi dan tak pernah pulang.. Di sana Rayyan sedang sibuk-sibuknya tugas-tugas akhir semester yang membuat Rayyan tidak ada waktu untuk pulang.
Luna selalu bilang ia baik-baik saja Padahal hatinya hampir hancur menahan perlakuan di rumah itu, Luna akan bisa istirahat dengan tenang kalau pak Robi atau Tomi ada di rumah, karena Bu Meri akan memperlakukan nya dengan baik, berbeda dengan tidak ada siapapun maka Bu Meri akan bersikap semena mena pada luna. Satu-satunya yang membuatnya bertahan hanyalah harapan bahwa suatu hari Rayyan akan pulang dan melihat sendiri bagaimana ia berjuang sendirian.
Malam itu, saat hujan turun pelan, Luna duduk di tepi ranjang, memandangi jendela.
“Berapa lama lagi aku harus begini…” bisiknya lirih.
Tapi entah kenapa, di balik rasa sakit dan lelah, ada sedikit cahaya kecil di hatinya keyakinan bahwa semua ini akan berubah suatu hari nanti.
...****************...
Siang hari Luna sedang duduk menyendiri di bawah pohon belakang rumah, tiba-tiba Tomi duduk di sebelah nya.
Ya Tomi pulang untuk ngambil berkas yang ketinggalan, tapi pas mau ambil minun ke belakang ia melihat Luna yang duduk sendiri dari kaca.
" kenapa melamun aja?" Tomi bertanya lembut
" kangen suami ya?" imbuh nya lagi
" ehh kak kok tumben sudah di rumah?" bukan nya menjawab, Luna malah bertanya balik karena Heran tidak biasa nya Tomi ada di rumah
" tadi nya ada perlu, tapi lihat kamu disini jadi mau ikut duduk aja disini kayaknya enak panas-panas gini ngadem di bawah pohon"
" ia sih kak enak disini tenang" ucap Luna memandang jauh entah kemana
" kamu kok kaya kurusan lun, katanya orang hamil tuh cepet gemuk"
Luna diem sebelum menjawab nya..
" hemm mungkin aku belum aja kak... Baru juga jalan 4" jawab Luna pelan
" Ouh ya kakak dengar kalau hamil tuh ada ngidam, kok aku belum pernah dengar kamu ngidam "
.
.
.
Hemmm bagaimana ceritanya??
terimakasih ya untuk yang selalu nungguin kisah Laluna... 🤗🤗
jangan lupa like dan komen dan vote biar author semangat nulisnya..
love
You
😍