"semua orang memiliki hak untuk memiliki cita-cita,semua orang berhak memiliki mimpi, dan semua orang berhak untuk berusaha menggapainnya."
Arina, memiliki cita-cita dan mimpi tapi tidak untuk usaha menggapainya.
Tidak ada dukungan,tidak ada kepedulian,terlebih tidak ada kepercayaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tulisan_nic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 Kesulitan
"Kalian ini kenapa?" Arina menatap Arkan dan Evan bergantian
"Kalau kalian mau ribut,aku nggak mau ikutan...merepotkan saja" Arina melepas tangan yang di pegang Evan dengan cepat.Lalu melangkah keluar dengan sedikit menghentakkan kaki.sementara itu,dua cowok tadi secara bersamaan pandangannya beralih mengikuti perginya Arina.
Evan mengikuti Arina,sedang Arkan diam saja duduk di bangku dengan menyilangkan kaki dan menyenderkan punggung.
Di luar kelas matahari menampar kulit dengan sinarnya yang tajam. Udara seolah berhenti bergerak, membuat peluh menetes dari pelipis.
Arina memilih duduk di kursi yang terlindungi oleh rindangnya pohon waru.Wajahnya masih menekuk,terbawa kejadian di kelas tadi.
"Dua cowok itu,tingkahnya aneh-aneh. Yang satu ngambekan,yang satu nggak tahu aturan...seenaknya saja"
"Sendirian lebih membuat aku merasa nyaman"
Arina menurunkan tubuhnya perlahan di kursi kayu itu. Telapak tangannya menekan sisi dudukan, menopang tubuh yang terasa lelah. Bahunya sedikit merosot, sementara jemarinya mencengkeram ujung kursi seolah mencari keseimbangan.
"Ini untuk mu" Evan sudah berdiri di dekatnya,mengulurkan kotak bekal berwarna hijau ke arah Arina. Ujung jarinya sedikit gemetar, sementara pandangannya tak berani lama menatap Arina. “Aku… bikin sendiri,” ucapnya pelan.
Arina ragu-ragu menerima kotak itu,masih tersisa rasa kesal tadi.Tapi demi menghargainya,ia tetap menerimanya.
"Apa karena aku kamu jadi bersikap seperti tadi Van?"
"Boleh aku jawab jujur?"Evan menjatuhkan tubuhnya di kursi yang sama dengan Arina duduki.
"Tentu saja kamu harus jawab jujur" ujung mata Arina mengikuti setiap gerakan Evan di sampingnya.
Evan menatap kosong ke arah lapangan, jari-jarinya mengetuk lututnya pelan tanpa irama. Sesekali ia menarik napas panjang, lalu mengacak rambutnya sendiri dengan kasar.
"Aku tidak suka kamu dekat-dekat dia,apa lagi melihat kamu pergi dan pulang bareng dia.Aku nggak tahu,hatiku merasa sakit setiap melihat itu" Ia mengembuskan napas pelan tanpa tahu apa yang sebenarnya ia rasakan.
"Begitu ya?...apa aku harus menjaga hatimu supaya tidak sakit?"Suara Arina terdengar hati-hati
"Aku tidak tahu Arina,tolong jangan tanyakan sesuatu yang aku tidak mengerti harus menjawabnya apa" Ia mencoba memalingkan wajahnya,dia yakin kalau saat ini ada semburat rona di pipi.Evan sudah tahu,jika berdekatan dengan Arina...dia sering merasakan itu
"Hidup ku sudah sangat susah Van,aku akan sangat kerepotan jika harus melakukan nya untukmu" Suara Arina sedikit bergetar,tatapannya jauh kedepan.Ia menelan ludah sebentar baru melanjutkan "Aku harus memikirkan bagaimana cara untuk tetap juara kelas meski hanya di posisi dua,lalu mencari cara supaya aku bisa memenangkan lomba karna aku mau beasiswa gratis uang sekolah meski hanya dua bulan saja,dan aku juga harus memikirkan bagaimana aku bisa membeli..."Arina terdiam,
Kata-kata itu terhenti di tenggorokannya. Bibirnya bergetar, matanya berkaca-kaca. Ia menunduk, menarik napas dalam, tapi suaranya tak kunjung keluar. Hanya gemetar halus di dagunya yang mengisyaratkan betapa keras ia berusaha menahan air mata.
Evan melirik Arina,perubahan suaranya membuat hati Evan juga ikut bergetar.Rasa sesak juga memenuhi ruang jiwanya.Hingga tatapan itu semakin dalam,seakan ingin tahu lebih banyak lagi dengan apa yang terjadi pada Arina
"Membeli apa?Kasih tahu aku Arina"
Arina menggeleng, cepat-cepat iya menyusut ujung matanya yang mulai berair.
"Kamu mau beli kabel USB baru?"
Mata Arina membulat,menatap Evan heran
"kok kamu tahu?"
"Jadi aku benar?,kamu masih belum membelinya? Itu bukan barang mewah Arina...kenapa hanya seperti ini saja,seakan-akan membuatmu berada pada kesulitan??
Kalimat itu meluncur ringan dari bibir Evan, tapi terasa seperti pisau di dada Arina.
Gadis itu terdiam. Jemarinya yang sedari tadi memegang tepi kursi mulai meremas membentuk genggaman. Pandangannya menunduk, menatap sepatu yang sudah mulai pudar warnanya. Ada sesuatu yang menekan di dadanya.Antara rasa malu, sakit hati, dan keinginan untuk membela diri.
Evan baru sadar setelah melihat raut wajah Arina yang berubah. Tatapan gadis itu kosong, tapi matanya bergetar halus, seolah menahan sesuatu yang nyaris pecah.
"Kenapa? Apa aku menyulitkanmu?"
Arina menatap Evan lama, rahangnya mengeras. Ia menarik napas pelan, mencoba menenangkan degup jantungnya yang mulai tak teratur.Lalu ia berdiri...
“Aku tidak butuh ucapanmu tadi,” ucapnya akhirnya, suaranya bergetar tapi tetap terjaga. “Aku hanya akan berusaha sendiri, karena cuma aku yang tahu urusanku sendiri.”
Tatapannya menusuk, tapi di balik sorot itu terselip luka yang tak bisa ia sembunyikan. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, lalu perlahan ia longgarkan seolah berjuang menelan rasa perih yang datang dari kebenaran ucapan Evan barusan.
Evan terdiam. Ia bisa melihat bagaimana Arina menunduk sebentar, menegakkan bahu lagi, seakan sedang menegakkan harga dirinya yang sempat goyah.
“Bahkan orang sulit sepertiku ini,” suara Arina nyaris hanya bisikan, namun tiap katanya menancap tajam, “Tidak berhak menjadi lebih dari temanmu. Itu yang Mamamu peringatkan padaku.”
Evan menegang. Kata 'Mamamu' membuat pikirannya tersentak.
Arina menatap lurus ke depan, matanya memerah tapi tetap menolak jatuh. “Apa orang seperti aku nggak boleh berharap hidup lebih mudah? Kenapa orang-orang yang hidupnya mudah seperti kamu dan Mamamu, nggak mengizinkan kemudahan itu juga untukku?”
Suara itu pecah di akhir kalimat, separuh getir, separuh pasrah.
Evan terpaku. Mulutnya terbuka, tapi tak satu pun kata keluar. Matanya menatap Arina, mencari penjelasan...antara tak percaya, bingung dan takut kalau apa yang Arina bicarakan adalah benar. Ia melangkah setengah maju, tapi berhenti lagi, tak tahu harus mulai dari mana.
Arina membalikkan tubuhnya,melangkah cepat.Meninggalkan Evan sendirian yang kebingungan,dan merasa bersalah karna menyepelekan kesulitan Arina.
***
Di ruang OSIS. Vivian dan ketiga siswa lain sedang fokus menyusun Mading.Mereka nampak saling bekerja sama satu sama lain.
"Abang tahu kamu haus,ini minumlah dulu" Fadil menyerahkan sebotol air mineral pada Vivian.Cuaca yang terik membuat tenggorokan terasa cepat kering.
"Terimakasih Bang" Senyum Vivian terukir malu-malu sambil menerima botol itu.Ketiga siswa lain melirik sebentar lalu berbisik-bisik
"Lihat tuh mereka,seperti pacaran"
"Apa iya Bang Fadil menyukai Vivian?"
"Iya lihat aja itu,perhatian banget"
Mendengar itu Vivian menaikkan alisnya sebentar,lalu menatap mereka dengan senyum samar
"Hei kalian ini,kenapa jadi ngomongin aku?"
"Hehe...kami tidak ngomongin kok"
" Aku dengar kalian ngomong apa"
"Maaf Vivian,tapi.. Apakah benar kalian paca...."
"Tidak ada yang pacaran,kalian ini jangan bikin gosip"
Belum selesai siswa itu bicara,Vivian sudah memotong menjawab dengan tegas
Tapi,jawaban Vivian tadi terdengar menyakitkan buat Fadil yang sedang berusaha menarik perhatian Vivian.
"Jadi,bukan apa-apa ya..." suaranya lirih,berbicara pada dirinya sendiri.Ia merasa kekecewaan sedang menghampiri.
Vivian menoleh,tatapannya bertemu dengan mata Fadil yang menyembunyikan kecewa.
"Aku memang menyukai mu Bang,tapi...aku lebih mempercayai diriku sendiri. Setelah banyak kekecewaan yang aku hadapi,aku takut jika harus tersakiti lagi"