NovelToon NovelToon
Sampai Cinta Menjawab

Sampai Cinta Menjawab

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Penyesalan Suami / Percintaan Konglomerat / Nikah Kontrak
Popularitas:850
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

Demi kabur dari perjodohan absurd yang dipaksakan oleh ayahnya, Azelia Nayara Putri Harrison nekat meminta bantuan dari seorang pria asing yang ditemuinya secara tidak sengaja di jalan.

Namun pria itu bukanlah orang biasa—Zevian Aldric Rayford Steel, pewaris utama keluarga Steel; sosok yang dingin, ambisius, arogan, dan… anehnya, terlalu cepat jatuh hati pada wanita asing yang baru ditemuinya.

Saat Zevian menawarkan pernikahan sebagai jalan keluar dari imbalan yang dia minta, Nayara menyetujuinya, dengan satu syarat: pernikahan kontrak selama 2400 jam.
Jika dalam waktu itu Zevian gagal membuat Nayara percaya pada cinta, maka semuanya harus berakhir.

Namun bagaimana jika justru cinta perlahan menjawab di tengah permainan waktu yang mereka ciptakan sendiri? Apakah Zevian akan berhasil sebelum kontrak pernikahan ini berakhir?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 18: Mengulang kesalahan yang sama

Malam itu, Zevian terlelap dalam ketidaknyamanan yang pekat. Rasa bersalah masih menggerayangi dadanya, membuat tidurnya tidak tenang. Berkali-kali tubuhnya bergerak gelisah, keningnya mengernyit, dan napasnya tak stabil. Di sampingnya, Nayara tertidur dengan posisi memunggungi Zevian. Wajahnya tenang, namun jejak kelelahan dan bekas air mata semalam masih membekas di pipinya yang pucat.

Zevian membuka mata di tengah malam, menatap punggung Nayara dengan mata yang sayu. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya—rasa bersalah, takut kehilangan, sekaligus rasa memiliki yang tak bisa ia kendalikan. Tangannya hampir terangkat untuk menyentuh bahu gadis itu, namun ia urungkan. Ia hanya menatapnya lama, lalu bergumam pelan.

“Maaf... lagi-lagi aku gagal menjadi pria yang bisa kamu percaya.” padahal dia ingat permitaan Nayara di villa itu tentang ketakutan nya pada pria dan merasa ingin di yakinkan, tapi kini Zevian kembali melakukan kebodohan.

Dan malam pun melanjutkan sunyinya, menelan mereka dalam diam yang menggantung penuh luka dan ketegangan. Sampai akhirnya Zevian benar-benar terlelap, masih dalam posisi menyamping, menghadap tubuh Nayara, seakan ingin menjaga tanpa menyentuh.

Keesokan paginya, matahari menyelinap perlahan dari celah-celah gorden kamar. Cahaya keemasan menari-nari di atas selimut dan permukaan tempat tidur yang berantakan. Sorotnya jatuh ke wajah Nayara yang masih tertidur, membingkai wajah mungil itu dalam cahaya hangat, membuat kulitnya terlihat lembut dan bercahaya.

Zevian masih memejamkan mata, meski alisnya sempat bergerak kecil, terganggu oleh cahaya pagi. Tubuhnya berbalik pelan, hingga lengannya secara tak sadar menyentuh bagian samping Nayara. Sentuhan itu membuat Nayara mengerutkan kening, namun dia belum terbangun sepenuhnya. Nafas keduanya masih berirama tenang, seakan dunia luar belum memiliki hak untuk menyentuh kedamaian semu yang mereka rasakan di detik itu.

Namun, keheningan itu benar benar terusik oleh suara alarm yang saling bersahutan dari kedua ponsel mereka. Getarannya memenuhi ruangan, menciptakan gema pelan di antara kesunyian. Meski begitu, tubuh keduanya belum juga bergerak. Mereka masih terjebak dalam mimpinya masing-masing—entah mimpi yang menenangkan atau justru membebani.

Dan pagi itu… menjadi saksi, bahwa walau dunia kembali berjalan, luka semalam masih menggantung di antara dua hati yang belum berdamai.

Sampai akhirnya, suara ketukan terdengar beberapa kali dari arah pintu kamar. Pelan tapi konsisten, ketukan itu memecah kesunyian yang masih melingkupi ruangan. Nayara menggeliat kecil, kelopak matanya bergerak pelan sebelum akhirnya terbuka. Dia menarik napas dalam, seolah baru kembali dari alam mimpi yang belum sempat tuntas.

Ketukan itu terus berulang—tak membiarkannya kembali terlelap.

"Iya... sebentar," gumam Nayara pelan, suaranya serak khas baru bangun tidur. Ia menoleh ke sisi kanan tempat tidur, matanya menangkap sosok Zevian yang masih tertidur pulas. Dada pria itu naik turun pelan dalam irama yang stabil, wajahnya tampak damai, seperti anak kecil yang tertidur tanpa beban, bertolak belakang dengan badai yang semalam mengamuk dalam diri mereka.

Nayara menatapnya beberapa detik. Kenangan tadi malam berkelebat dalam benaknya—begitu nyata, begitu menggores. Ada semburat amarah, rasa sakit, sekaligus luka yang belum sempat sembuh. Namun cepat-cepat ia menggeleng, seolah ingin mengusir segala bayangan yang muncul. Dia menarik selimut, lalu bangkit dari tempat tidur.

Dengan langkah ringan namun terburu, ia berjalan menuju pintu. Sebelum membuka, Nayara kembali menoleh ke belakang. Sekilas. Menatap wajah Zevian sekali lagi. Bagaimana mungkin seseorang yang bisa menyakitimu... terlihat begitu tak berdosa saat tertidur seperti itu? batinnya.

Klik.

Pintu terbuka.

"Good morning, Nayara. Maaf membangunkanmu pagi-pagi," sapa Dira dengan senyum khasnya. Di sampingnya, Valen berdiri santai, Nayara terdiam sejenak, mencoba membentuk senyum di wajahnya yang masih kusut. Rambutnya berantakan, mata bengkak karena tangisan semalam, dan suaranya masih berat.

"Iya, selamat pagi juga. Tidak masalah... maaf, aku kesiangan," ujarnya.

Pandangan Nayara turun, melihat penampilan Dira yang sudah sangat rapi. Dress putih tulang dengan blazer tipis krem, sepatu hak tinggi yang mengilap, dan kacamata hitam yang bertengger anggun di atas kepala, menahan sebagian rambutnya ke belakang. Tas tangan bermerk menggantung santai di pergelangan tangannya.

Sementara Valen—berbeda tipis. Meski wajahnya terlihat seperti dipaksa bangun, tapi dia tetap tampil rapi. Lip balm di bibirnya masih segar, dan bulu mata lentiknya tidak terlihat berantakan.

"Ada apa, Mommy?" tanyanya dengan suara setengah penasaran, setengah takut. Penampilan mereka tidak sesuai dengan jam di dinding yang baru menunjukkan pukul delapan pagi.

"Kakak lupa ya?” seru Vallen dengan ekspresi polos dan mata bulatnya yang membelalak bingung. Nayara memiringkan kepala, alisnya bertaut. Pandangannya menelisik wajah Vallen yang terlihat begitu serius.

“Lupa? Maksudnya… lupa untuk apa?” tanyanya pelan, lembut, mencoba mengingat apakah ada sesuatu yang terlewat.

“Apakah ada yang tak aku ketahui… atau mungkin aku benar-benar melupakannya?” batinnya, mulai diliputi kegelisahan yang samar. Dira yang berdiri di sebelah Vallen menghela napas pendek, kemudian tersenyum kecil, meskipun di balik senyum itu tersirat kebingungan.

“Hari ini kita akan mencoba beberapa gaun pengantin untuk dipakai nanti olehmu dan Zevian, sayang. Apa Zevian tidak memberitahumu soal tanggal pernikahan kalian nanti?” tanya Dira sambil menatap wajah Nayara yang kini mulai memucat.

Nayara diam membeku. Dadanya terasa sesak seketika. Suara Dira seperti gema yang menabrak dinding kesadarannya. Fitting… baju pengantin? Mata Nayara berkedip pelan, menahan kekacauan yang mendadak muncul di pikirannya.

“A-akh… fitting baju… Aku tidak menyangka akan secepat ini…” gumamnya sambil memaksakan senyum. Wajahnya tetap berusaha terlihat tenang, namun di dalam, hatinya remuk. Ada desir rasa bersalah yang menggelayut di dada. Tatapannya jatuh ke lantai, lalu beralih lagi ke Dira. Perempuan itu terlihat begitu bersemangat, penuh harapan—seperti seorang ibu yang sedang menyiapkan momen paling berharga bagi anaknya.

Dan Nayara tahu… ia tak sanggup menghancurkan itu.

Setiap kali niat itu muncul—niat untuk mengatakan bahwa ia sebenarnya tak ingin menikah, bahwa semua ini hanya bentuk balas budi atas kebaikan Zevian—hati Nayara langsung membayangkan wajah kecewa Dira. Membayangkan wanita itu menangis karena kebohongan anaknya sendiri. Membayangkan sorot mata yang hancur.

Sakit. Pasti sakit sekali.

Dan Nayara, seberapa pun ia tersakiti oleh keadaan, pantang menyakiti hati seorang ibu.

Karena itu, ia memilih untuk diam. Menyembunyikan segalanya di balik senyumnya yang palsu. Ia pasrah mengikuti alur kisah hidup yang seperti sudah dituliskan oleh Tuhan untuknya—meski penuh luka, meski tidak ada kebahagiaan di dalamnya.

“Setidaknya… jika aku tidak bisa bahagia, aku tidak akan membuat orang lain menderita karenaku.” Pikir Nayara dalam hati.

“Terasa sedikit cepat, ya? Tapi undangannya sudah kami sebar sejak beberapa minggu lalu. Memang terkesan terburu-buru, tapi waktu itu… kami sudah hampir putus harapan terhadap Zevian. Dia selalu menolak jika diajak membahas tentang pernikahan.” ujar Dira yang membuat Nayara diam menyimak, bibirnya terkatup rapat. Hatinya mencelos pelan. Dira melanjutkan, suaranya kini terdengar lebih tenang, meski ada sisa kegetiran di sana.

“Akhirnya, ayahnya memberi dua pilihan pada Zevian: menikah dengan pilihan kami, atau menikah dengan pilihannya sendiri. Kami memberinya waktu sekitar satu bulan… dan tepat dua minggu lalu, dia datang membawa kamu ke sini.” Ujar Dira menjelaskan semuanya pada Nayara dan Nayara tersenyum tipis, mencoba menahan napas panjang yang hampir lolos dari dadanya.

“Oh, itu ya, Mom? Kami… belum bicara sejauh itu,” ucapnya sambil menyelipkan anak rambut yang tergerai ke belakang telinganya. Gerakannya pelan, nyaris seperti refleks untuk menutupi kegugupan.

“Iya... Maaf kalau ini terasa terlalu cepat, dan mungkin Zevian juga belum mengatakan apa-apa? Atau... bagaimana?” Dira menatapnya lembut, sedangkan Nayara mengangguk pelan, menelan ludah sebelum menjawab.

“Mungkin semalam aku sudah ketiduran lebih dulu karena kelelahan. Setelah mandi, aku langsung tertidur. Mungkin Zevian enggan membangunkanku, makanya belum sempat memberitahu soal itu. Dan… sebelumnya juga mungkin dia lupa.” Nadanya tenang, tapi dadanya sesak. “Kami baru kenal beberapa minggu saja… jadi aku juga cukup terkejut dengan semuanya. Bahkan, aku belum sempat membicarakan ini dengan orang tuaku.” lanjut nya dengan senyum tipisnya nyaris pudar. Hanya topeng, sekadar sopan santun yang nyaris retak di ujung bibir.

“Oh, jadi Kak Nayara itu baru kenal beberapa minggu saja dengan Kak Ze?” tanya Vallen polos, kedua matanya memancarkan rasa ingin tahu yang tulus.

“Iya, mungkin satu bulan atau lebih sedikit.”jawab Nayara tersenyum tipis senyumannya hambar, seperti senyum seorang pesulap yang menyembunyikan luka di balik tirai tipuan. Kebohongan itu mengalir dari mulutnya begitu saja, tanpa ia sadari telah menyusupkan sedikit rasa bersalah ke dalam jiwanya.

“Kakak bertemu kak Zevian di mana? Apa Kakak dulu kerja di kantornya?” tanya Vallen lagi, matanya berbinar penasaran seperti anak kecil yang sedang mendengarkan cerita dongeng.

“Ah, tidak. Aku tidak bekerja di kantor Zevian, kami bertemu di jalan. Lalu… hubungan kami berlanjut. Aku masih kuliah, jadi aku fokus pada itu dulu.” Nayara kembali berbohong sambil menahan napasnya agar tetap terdengar meyakinkan. Kebohongan yang terasa getir itu menempel di lidahnya seperti abu dingin. Tapi ia tetap tersenyum—senyuman yang tidak mencapai matanya.

“Oh begitu ya… cinta yang singkat, tapi luar biasa. Aku kagum, selama ini, tidak ada satu pun wanita yang berhasil mendekati Kak Ze. Tapi Kak Nay berhasil.” ujar Vallen sambil tertawa kecil.

Nayara menoleh perlahan menatap Vallen. Ada perasaan asing menyelinap dalam hatinya. Bangga, bersalah, terharu—semuanya bercampur jadi satu. Ia tahu, Vallen melihat kakaknya seperti seorang pahlawan yang sulit dijangkau. Dan kenyataan bahwa Nayara berhasil mendekatinya… adalah sebuah keajaiban bagi gadis kecil itu. Meskipun kenyataannya tidak demikian.

“Baiklah, tidak apa-apa, kalau Zevian memang belum sempat memberitahu, mungkin memang terlalu pagi Mommy datang ke sini. Tapi, Nay... Mommy minta kamu bersiap, ya. Kita butuh kamu untuk melakukan semuanya.” ujar Dira menenangkan. Nayara menatap wanita itu dengan penuh hormat, lalu mengangguk pelan.

“Iya, Mom. Maaf ya, membuat Mommy dan Vallen menunggu. Aku akan turun sekitar setengah jam lagi setelah bersiap.” ujar nya yang membuat Dira mengangguk.

“Tidak apa-apa, sayang. Oh ya, jika sudah selesai, tolong langsung turun, ya. Bangunkan Zevian juga,” ucap Dira dengan suara lembut, senyumnya hangat mengiringi tangannya yang mengusap perlahan lengan Nayara.

“Iya,” jawab Nayara singkat. Senyum masih bertahan di wajahnya—senyum palsu yang tidak jahat, hanya senyum yang menggambarkan kebingungan dan kelelahan batin.

Begitu calon mertua dan calon adik iparnya meninggalkan kamar, Nayara menutup pintu perlahan. Tubuhnya bersandar sejenak di balik pintu, menghela napas dalam-dalam seolah mencoba mengurai kekacauan yang menumpuk di dadanya. Namun saat ia berbalik dia sedikit tersentak kaget karena melihat Zevian yang ternyata sudah bangun. Pria itu bersandar santai di kepala ranjang, dengan satu tangan menopang kepalanya dan tangan lainnya sibuk menggulir layar ponsel. Wajahnya tenang, nyaris tanpa ekspresi, seolah tak peduli dengan percakapan yang tadi terjadi hanya beberapa meter darinya.

Tatapan Nayara membeku sejenak. Ia tidak tahu sejak kapan Zevian terbangun. Apakah dia mendengar semuanya? Atau memang sejak awal tidak tidur?

Namun Nayara tidak berkata apa-apa. Ia memilih untuk diam, pura-pura tidak peduli sebagaimana Zevian bersikap seolah dia tidak ada. Ia berjalan melewati pria itu dengan langkah ringan namun hati berat. Kakinya membawanya menuju meja rias.

Tangannya meraih ponsel yang semalam ia letakkan di sana. Layarnya sempat mati, namun segera menyala begitu disentuh. Ia mulai mengotak-atik benda pintar itu, membuka kontak, dan menggulir cepat mencari satu nama—satu-satunya orang yang membuatnya merasa punya sandaran.

Begitu nama yang dicari muncul di layar, Nayara langsung menekannya. Jari-jarinya sedikit gemetar saat menunggu nada sambung.

Kamar terasa hening, seolah hanya suara detak jantungnya yang terdengar saat itu. Ia menunggu… berharap panggilannya segera tersambung—karena hanya lewat suara sahabatnya, ia merasa sedikit lebih hidup.

“Halo, Ka… Maaf menganggu pagi-pagi,” ucap Nayara pelan, nyaris seperti bisikan. Ia melirik sekilas ke arah tempat tidur, tempat Zevian masih bersandar santai sambil menatap layar ponsel. Seolah acuh, namun Nayara tahu—dari tatapan matanya yang sesekali mencuri pandang—Zevian mendengarkan dengan teliti. Diamnya menyimpan awas, seakan tak ingin kehilangan satu patah kata pun dari percakapan Nayara.

“Tidak menganggu kok. Aku juga baru siap-siap, hari ini ada kelas akuntansi. Kenapa, Nay?” jawab Razka, suaranya terdengar ramah di seberang sana.

“Ada hal penting yang ingin aku bicarakan, padamu dan juga Vina,” katanya, suaranya semakin lirih. Tatapannya kembali melirik Zevian, yang masih tenggelam dalam layar ponsel. Tapi Nayara tahu betul, pria itu sedang menyimak, bukan mengabaikan.

“Katakan saja, Nay. Kalau butuh apa-apa, jangan ragu. Aku bisa meluangkan waktu lebih banyak untuk ini,” ujar Razka, nada suaranya berubah—ada kekhawatiran dan ketulusan di sana.

“Sebenarnya… ada banyak hal yang ingin aku katakan padamu, Ka. Dan juga Vina,” jawab Nayara. “Tapi… tidak enak jika langsung mengatakannya lewat telepon seperti ini.” Suaranya merendah, nyaris tenggelam di balik perasaan yang ia pendam sendiri.

“Kalau begitu kita ketemu saja. Aku bisa setelah semua urusan ku selesai,” ucap Razka cepat, terdengar ingin segera membantu.

“Sungguh...? Terima kasih…” ucap Nayara, sedikit lega. Wajahnya mengembang sesaat, meski senyum itu tetap lemah, seperti bunga yang enggan mekar di musim dingin.

“Terima kasih untuk apa? Itu sama sekali tidak perlu. Aku sahabatmu,” kata Razka lagi, lalu jeda sejenak sebelum bertanya, “Oh ya, memangnya apa yang ingin kamu katakan? Apa kami harus menjemputmu ke Bogor, Nay?” tambah nya, nada Razka mulai terdengar cemas. Ia tahu betul tempat itu… villa orang tua Nayara. Dan ia tahu juga, tempat itu menyimpan luka yang dalam bagi Nayara.

“Eum… sebenarnya, aku sudah kembali ke Jakarta,” ujar Nayara pelan, kalimat itu seperti keluar dari sela-sela beban yang menyesaki dadanya.

“Hah? Bagaimana bisa? Bukankah kamu ingin menjauh dari Zevian… Tapi kenapa kamu kembali ke Jakarta lagi? Apa terjadi sesuatu?” tanya Razka, suara terkejutnya langsung menyusul seperti rentetan pertanyaan yang tak terbendung.

“Seperti yang aku katakan tadi, Ka… Aku belum bisa ceritakan semuanya sekarang. Itu sebabnya aku ingin bertemu dengan mu dan Vina." jelas Nayara, berusaha tetap tenang, meski suaranya bergetar di ujung kalimat.

“Ahh… Aku paham sekarang. Kapan kamu kembali ke Jakarta?” tanya Razka lebih lembut.

“Malam… aku pulang tadi malam,” ucap Nayara singkat, sorot matanya menunduk menatap jemarinya yang saling menggenggam.

“Aku paham. Baiklah, kirim aja alamatnya, aku pasti datang ke sana. Tapi setelah kelasku selesai, ya. Maaf, Nay…” ucap Razka, terdengar agak menyesal.

“Tidak masalah, Ka. Lagipula, ada hal lain juga yang harus aku lakukan terlebih dahulu. Nanti aku kabari lagi. Aku tutup dulu ya teleponnya,” ucap Nayara pelan. Ia menurunkan ponsel dari telinganya, lalu menatap layar beberapa detik sebelum akhirnya menekan tombol “End”.

Suasana kamar kembali hening. Hanya suara jarum jam yang berdetak pelan di dinding, seakan ikut menandai waktu yang terasa lambat.

Nayara meletakkan ponsel itu di atas nakas di samping tempat tidur, lalu menghela napas dalam-dalam. Udara pagi yang masuk melalui celah ventilasi terasa dingin menyusup ke dada—dingin seperti kenyataan yang kini sedang dihadapinya.

Dengan langkah pelan namun mantap, Nayara berjalan mendekat ke arah Zevian yang sedari tadi hanya duduk diam bersandar di kepala ranjang, tampak tenggelam dalam layar ponselnya. Tidak sepatah kata pun ia lontarkan sejak tadi. Tatapan Nayara menajam, rona wajahnya masih menyimpan jejak kesal—emosi yang semalam belum sempat diluapkan sepenuhnya.

Namun, Nayara memilih untuk menahan diri. Ia tahu, membawa masalah pribadi ke hadapan orang tua Zevian hanya akan memperburuk keadaan. Ia tidak cukup tega memupus sorot harapan yang sempat ia lihat di mata seorang ibu yang begitu menyayangi putranya, meski sang putra sendiri tak tahu caranya menyayangi orang lain.

Sambil berdiri di hadapan Zevian, Nayara mengulurkan tangannya. Suaranya terdengar dingin dan datar, berbanding lurus dengan ekspresi wajahnya yang mulai kehilangan kelembutan.

"Mana kunci mobil anda, Tuan? Aku harus mengambil bajuku di mobil." Ujar nya yang membuat Zevian menoleh pelan. Matanya bertemu dengan tangan Nayara yang terulur, lalu naik menatap wajah calon istrinya itu. Tatapannya tenang, namun tidak bisa sepenuhnya disembunyikan bahwa ia memperhatikan sejak awal.

"Saya sudah membelikanmu pakaian yang baru. Semuanya ada di dalam walk-in closet," ucap Zevian tanpa basa-basi, nadanya terdengar tegas dan serius.

"Semalam barangnya sudah sampai dan langsung ditata di sana," tambahnya, pandangannya tak lepas dari wajah Nayara, mencoba membaca reaksi dari gadis yang kini berdiri di hadapannya.

“Itu tidak perlu. Aku tidak butuh itu. Aku hanya akan mengambil barangku, jadi tolong berikan kunci mobil, Tuan,” ucap Nayara, suaranya datar, namun sorot matanya menyala dingin. Tangan kanannya terulur di depan dada Zevian dengan tegas—tidak gemetar, tidak ragu.

Zevian mendongakkan kepala, menatap wajah calon istrinya yang keras kepala itu dengan sorot tajam. Dia meletakkan ponsel di atas pangkuan, lalu bersandar ke sandaran ranjang, seolah sedang menikmati pertarungan ini.

“Kenapa tidak perlu? Kamu akan menjadi istri saya. Jadi semua kebutuhanmu, mulai sekarang, adalah tanggung jawab saya.” suaranya berat dan dalam, mengandung dominasi yang tak bisa disangkal. Nayara mengerucutkan bibir. Bahunya naik turun karena emosi yang perlahan meletup.

“Tolong diingat, Tuan... aku sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini. Jadi jangan bertingkah seolah anda perduli,” Nada suaranya meninggi, bukan berteriak, tapi cukup untuk menyayat ketegangan di antara mereka.

“Aku hanya berniat membalas budi atas pertolongan anda saat aku dikejar oleh bodyguard ayahku. Bukan berarti aku mau menikah dengan anda. Kalau pada akhirnya harus menikah... apa bedanya? Aku menikah dengan pilihan ayahku ataupun dengan anda... sama saja!” katanya dengan suara tajam seperti pisau, menusuk ruang yang tadinya hening.

Zevian menyeringai kecil—senyuman sinis yang penuh kemenangan, tapi juga kesal. Matanya menyipit menahan emosi, lalu ia membalas:

“Jelas aja ada bedanya. Saya pria yang sudah kaya, tampan, dan tahu apa yang saya inginkan. Lagi pula, memangnya seperti apa penampakan lelaki yang akan dijodohkan denganmu? Tukang kebun yang memakai batik tiap minggu?” Suaranya menggema seperti petir yang menabrak dinding keangkuhan Nayara. Nada bicaranya mengejek—tidak sepenuhnya mengolok, tapi cukup menyulut api dalam dada Nayara. Nayara memejamkan mata, menahan amarah yang hampir meluap. Ia melangkah maju, menatap langsung ke matanya.

“Yang tentunya bukan pria seperti anda. Dan aku tidak peduli dengan ‘tampan dan mapan’-anda itu. Apa anda pikir aku tipe wanita murahan yang akan jatuh hanya karena kekayaan dan wajah tampan?” ujarnya dengan mata berkilat tajam. Nada suaranya naik satu oktaf, penuh pembelaan.

“Aku juga cantik, dan aku punya uang. Dua hal yang anda sebutkan tadi tidak membuatku kagum—karena aku juga punya!” tambah Nayara lantang, seolah ia sedang membela harga dirinya... atau mungkin membela pria yang bahkan belum pernah dia lihat, tapi dijadikan alat oleh ayahnya untuk menjebaknya dalam pernikahan yang tidak dia inginkan.

Zevian terdiam. Ada sesuatu di matanya yang gelap dan nyaris meledak, tetapi masih tertahan oleh logika. Mereka berhadapan dalam diam—dua api yang tak ada satupun mau padam lebih dulu.

“Saya yakin pria yang kamu bela itu teman bisnis ayahmu, yang sudah berusia lanjut, gemuk, dan jelek. Atau mungkin seorang sugar daddy yang punya sugar baby di mana-mana,” ucap Zevian dengan nada bangga, seolah dialah pria paling tampan di dunia ini. Matanya menyipit sedikit, menantang, sambil menyunggingkan senyum sinis.

Nayara hanya diam, menahan diri mendengarkan ocehan Zevian tentang sosok pria yang sama sekali tidak dikenalnya. Bahkan Raina pun tidak tahu rupa pria itu, sebab saat ayahnya berusaha menjodohkannya, dia belum pernah sekalipun melihat wajah lelaki tersebut.

“Sudahlah, Tuan. Aku malas berdebat dengan anda. Berikan kunci mobil anda. Aku hanya ingin mengambil barangku. Dan satu lagi, tidak usah peduli padaku—mau pria itu sugar daddy atau sugar grandpa, itu bukan urusan anda,” ucap Nayara dengan nada kesal yang mulai meninggi. Zevian mengerutkan alis, tapi akhirnya mengalah dengan suara yang berat, penuh kekuasaan.

“Saya akan memberikan kuncinya, tapi dengan satu syarat.” ujar nya yang membuat Nayara menatapnya, setengah penasaran, setengah curiga.

“Syarat apa?” tanya Nayara cepat.

“Turuti semua perintah saya, dan jauhi laki-laki yang barusan kamu ajak bicara,” ucap Zevian dengan nada dingin dan datar, tatapannya menusuk hal itu membuat Nayara mengernyit bingung.

“Laki-laki apa?” tanya nya.

“Yang barusan bicara denganmu,” balas Zevian singkat.

“Berarti Anda menguping pembicaraan orang? Wah, benar-benar tidak tahu sopan santun,” ucapnya, tak habis pikir dengan kejujuran Zevian yang terlanjur terlontar.

“Kamu bicara keras. Saya bukan sengaja menguping, tapi telinga saya memang mendengar dengan jelas,” ujarnya santai, seolah itu hal biasa Nayara menghela napas panjang, jengah.

“Alasan.”jawab Nayara ketus.

“Terserah. Syarat saya itu, dan saya tidak akan memberikannya jika kamu tidak menjauhi pria itu,” ucap Zevian tegas, suaranya berat, tidak mau kalah yang membuat Nayara menyipitkan mata, menantang.

“Laki-laki itu temanku, untuk apa aku harus menjauhinya? Aneh sekali,” ucapnya dengan nada geram, suara bergetar menahan amarah. Zevian maju sedikit, suaranya berubah posesif.

“Mau itu temanmu atau saudaramu, selama dia laki-laki, jauhi dia. Jangan dekati dia. Saya tidak menyukai itu,” ucap Zevian dengan nada tegas dan menuntut, matanya tajam penuh dominasi, seolah mengukuhkan kekuasaannya atas Nayara. Sedangkan Nayara yang mendengar itu langsung tertawa sinis, nada suaranya penuh ejekan.

“Anda gila, ya, Tuan! Mana mungkin aku memilih anda daripada temanku yang sudah bertahun-tahun menemani aku? Aku baru mengenal anda sekarang, lalu aku harus menuruti semua perintah anda begitu saja?” katanya sambil terkekeh, seolah permintaan Zevian itu tidak masuk akal sama sekali. Zevian menatapnya dengan dingin, suaranya berat dan penuh ancaman.

“Saya peringatkan, saya tidak suka kamu berdekatan dengan pria manapun,” katanya, berusaha mengintimidasi Nayara agar menurut. Nayara membalas dengan wajah yang sudah berubah menjadi penuh kemarahan, matanya menyala-nyala.

“Jangan coba-coba mengatur-ku, Tuan. Aku punya hak dan keinginanku sendiri! Apa hak anda melarangku berteman dengan sahabatku sendiri? Anda hanya orang baru, kehadiran anda saja tak pernah aku harapkan!” suaranya bergetar, penuh perlawanan. Zevian tersenyum miring, senyum yang membuat bulu kuduk merinding.

“Saya? Kamu bertanya apa hak saya dalam hidupmu? Kamu salah telah memancing emosi saya, Nayara. Kemari lah, saya akan jelaskan apa hak saya padamu,” ucapnya dingin, penuh misteri dan bahaya yang tersembunyi.

Tanpa peringatan, Zevian tiba-tiba menarik tangan Nayara dengan kuat. Nayara yang tidak siap langsung terjatuh ke pangkuan Zevian. Jantungnya berdegup kencang, dada terasa sesak. Tubuhnya berontak, mencoba melepaskan diri, namun kekuatannya tidak sebanding dengan Zevian yang lebih besar dan lebih kuat.

Zevian melumat bibir Nayara dengan penuh hasrat dan rakus, membuatnya terkejut dan bingung, antara marah dan tak berdaya. Nayara terus berusaha menolak, namun perlahan gelombang emosi dan kekuatan Zevian menekan perlawanan itu.

Nayara terengah, bibirnya basah, matanya menyala karena amarah. Dia segera memalingkan wajah, namun cengkeraman tangan Zevian di pinggangnya tak membiarkannya bergerak. Nafasnya berat, tubuhnya gemetar, bukan karena takut… tapi karena dia muak.

“Lepaskan aku, Tuan! Beraninya anda menciumku tanpa izin! Anda pikir anda siapa, hah?!” desisnya dengan suara menahan gejolak, tubuhnya bergetar karena rasa malu yang bercampur marah. Zevian menatapnya tajam, seakan ingin menelannya hidup-hidup. Jemarinya bergerak naik, mengusap pelipis Nayara dengan tenang—kontras dengan bara di sorot matanya.

“Saya adalah pria yang akan menjadi suamimu, Nayara. Dan saya tidak butuh izin untuk menyentuh milik saya,” bisiknya tajam di dekat telinga gadis itu. Nayara menoleh cepat, tatapan matanya menusuk balik.

“Milik anda? Aku bukan benda yang bisa anda klaim sesuka hati! Ini tubuhku, hidupku, pilihanku!” ucapnya lantang, dadanya naik-turun karena menahan emosi. Zevian menahan rahangnya, giginya mengatup. Ia menunduk sedikit, wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.

“Kamu bisa terus berkata seperti itu sekarang. Tapi cepat atau lambat, kamu akan sadar kalau kamu memang milik saya. Tubuhmu, waktumu, bahkan kemarahanmu ini… semuanya sudah menjadi bagian saya.” ujar nya yang membuat Nayara mendorong dada Zevian kasar.

“Anda gila! Lepaskan aku sekarang juga sebelum aku benar-benar menamparmu!” Nayara berteriak, lalu mencoba meronta lagi. Zevian tidak bergeming. Malah, ia memeluk pinggang Nayara lebih erat, mempererat jerat emosional yang dia tanamkan sejak awal.

“Tampar saja, Nayara, tapi jangan pernah pikir kamu bisa lari dari saya. Kamu boleh membenci saya, mencaci saya… asalkan kamu tetap di sini. Dalam genggaman saya.” ucapnya datar namun dalam.

Plak!

Suara tamparan keras itu menggema di dalam ruangan. Kepala Zevian sedikit menoleh ke samping karena hantaman telapak tangan Nayara yang melayang cepat dan penuh emosi. Suasana seketika hening. Nayara berusaha berdiri dari pangkuannya dengan tubuh gemetar, dadanya naik turun menahan napas yang memburu tapi itu tidak berhasil.

“Aku bukan milik anda, dan tidak akan pernah jadi milik siapa pun!” serunya lantang, matanya menatap Zevian dengan penuh luka dan kemarahan.

Zevian perlahan menoleh, wajahnya masih tenang menatap Nayara yang masih duduk di pangkuan nya… terlalu tenang. Tidak ada bekas merah mencolok di pipinya, namun sesuatu dalam sorot matanya berubah. Senyuman kecil mengembang di sudut bibirnya—bukan karena senang, tapi karena egonya baru saja ditantang dan dilukai.

“Tamparanmu tidak sakit, Nayara… Tapi ego saya… itu lain cerita.” ucapnya pelan, nyaris seperti gumaman.

Nayara menelan ludah. Untuk pertama kalinya, dia merasakan sesuatu yang menyerupai penyesalan. Bukan karena takut akan balasan Zevian, tapi karena dia tahu, pria ini bukan tipe yang akan membiarkan dirinya kalah.

“Kamu menampar saya, karena kamu ingin membuktikan bahwa kamu masih punya kendali, kan? Tapi sekarang kamu akan belajar satu hal penting, Nayara…” ujarnya, suaranya rendah namun menghantam seperti palu. Tatapan wajah nya berhenti hanya beberapa inci dari wajah Nayara. Sorot matanya menusuk, dalam, dan mendominasi.

“Jangan pernah bermain dengan harga diri seorang pria seperti saya, kalau kamu tidak siap menghadapi apa yang datang setelahnya.” ujar nya yang membuat Nayara terdiam. Tangan yang tadi menampar kini mengepal di samping tubuhnya, sementara dadanya terasa sesak oleh tekanan yang mendadak memenuhi ruangan.

“Apa maksud anda?” tanyanya pelan, meski dalam hatinya dia tahu—dia telah menyulut sesuatu yang seharusnya tidak disentuh.

Zevian mendekatkan wajahnya perlahan. Tatapan matanya tajam, seolah ingin menembus lapisan emosi terdalam Nayara. Napasnya hangat dan berat, menyapu pipi Nayara yang kini mulai memucat karena ketegangan. Hidung mereka nyaris bersentuhan, dan aroma parfum maskulin yang mahal itu menyergap indera Nayara, memaksa otaknya berteriak agar segera menjauh.

“Maksud saya…” bisik Zevian dengan suara rendah dan mengikat, “Kamu baru saja menandai dirimu sendiri, Nayara. Dan saya... tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja setelah itu.” lanjut nya, dengan tiba tiba kembali meraih bibir Nayara.

"Eumhh... Lepa... Pas..." suara Nayara lirih, terpotong-potong oleh keterkejutan dan napasnya yang tersengal. Kedua tangannya berusaha mendorong dada bidang Zevian, tapi gerakannya sia-sia. Pria itu terlalu kuat, terlalu terbiasa memegang kendali.

Dengan gerakan cepat dan mengintimidasi, Zevian membaringkan tubuh Nayara ke atas ranjang, menindih tubuh kecilnya tanpa ampun. Ciumannya menghujani bibir dan leher Nayara dengan rakus, seperti pria yang sedang kehilangan kendali atas dirinya sendiri—seolah-olah logikanya mati tertelan amarah dan kecemburuan.

Rasa bersalah yang semalam sempat membuatnya gelisah kini lenyap dibakar ego dan ketakutannya akan kehilangan. Entah mengapa, setiap kali Nayara menantangnya, setiap kali perempuan itu bicara tentang pria lain—sisi gelap dalam diri Zevian muncul, menyeretnya kembali ke titik di mana ia menjadi makhluk yang bahkan ia sendiri benci.

Namun, saat tangannya mulai menyentuh batas yang seharusnya tidak dilanggar, sebuah suara dari balik pintu membuyarkan segalanya.

Tok… tok… tok…

Ketukan itu tidak keras. Tapi cukup untuk membangunkan kesadaran Zevian yang hampir tenggelam. Napasnya terengah, seperti baru saja menyadari ia hampir menabrak dinding yang sama untuk kedua kalinya.

Matanya bergerak, menatap tubuh Nayara yang kini terbaring membeku di bawahnya. Rambutnya kusut, pipinya basah oleh air mata yang masih mengalir pelan. Gaun tidurnya tersingkap, memperlihatkan bagian perut yang seharusnya tidak terlihat.

Zevian menatapnya lama… lalu mengalihkan pandangannya ke samping, membuang napas panjang yang terdengar berat dan penuh penyesalan.

“Bodoh…” gumamnya dalam hati, mengumpat diri sendiri. Jemarinya mengepal kuat, seolah ingin memukul kesombongan dan kelalaiannya sendiri.

‘Apa yang sudah kulakukan?’

Hanya karena kecemburuan… hanya karena satu pria yang bahkan Nayara sebut sebagai sahabat, ia kehilangan kontrol lagi. Ia membiarkan sisi tergelapnya keluar lagi.

Zevian memejamkan mata, menahan desakan emosinya sendiri. Bahunya naik turun menahan gejolak yang belum selesai. Ia berdiri perlahan dari atas tubuh Nayara, menarik selimut dan menutupi tubuh perempuan itu dengan lembut—bukan karena kelembutan hatinya, melainkan karena rasa bersalah yang menggerogoti seperti racun yang telat disadari.

Sementara Nayara masih terisak lirih, menutupi wajahnya dengan tangan, seolah berusaha menghapus semua luka yang baru saja ditorehkan lelaki itu… luka yang lebih dalam dari sekadar kulit.

Saat Zevian masih melamun, matanya terpaku pada tubuh Nayara yang masih meringkuk di tempat tidur, penyesalan menggerogoti pikirannya seperti racun lambat, terdengar suara pintu diketuk lagi dari luar.

Tok... tok... tok...

“Fuck, I’m so stupid…,” gumam Zevian pelan, suaranya nyaris seperti desahan frustrasi yang tertahan di tenggorokannya. Jemarinya menyibak rambutnya kasar ke belakang, gerakannya penuh tekanan. Napasnya tersengal, kacau. Ia membenci dirinya sendiri.

Matanya kembali melirik ke arah ranjang. Nayara masih di sana. Tatapannya kosong, basah oleh air mata, seolah seluruh energi dalam tubuhnya telah dilucuti paksa. Bahunya naik turun perlahan karena tangis yang masih tersisa. Tubuh mungil itu terdiam, tanpa perlawanan, namun justru itulah yang membuat Zevian semakin merasa hancur. Diamnya Nayara lebih menyakitkan dari seribu kata makian.

“Ze, buka pintunya. Mau sampai kapan kamu tidur? Mommy ingin bicara dengan Nayara,” suara lembut namun tegas terdengar dari balik pintu. Suaranya seolah mencambuk kesadaran Zevian.

Zevian menatap Nayara lama—matanya penuh luka yang dia ciptakan sendiri. Tangan mungilnya terkepal rapat—seolah berusaha mempertahankan sisa martabat yang bisa dia genggam.

“Maaf… sungguh-sungguh saya minta maaf… maafkan saya…” bisiknya lirih, penuh ketulusan yang terlambat. Ia membungkuk, mencium kening Nayara sekilas—kening yang dingin, penuh air mata. Lalu ia berdiri, berbalik, dan melangkah pergi.

Saat membuka pintu, dia mencoba menarik napas dalam-dalam, berusaha memasang wajah biasa. Tapi matanya masih merah, suaranya parau saat berbicara.

“Yes, Mom, I’m awake. You don’t have to yell like that (“Iya, Mom, aku sudah bangun. Tidak usah teriak-teriak begitu.”) setengah bercanda, berusaha menutup kekacauan yang baru saja terjadi di dalam kamarnya. Tapi ketika matanya bertemu dengan sorot tajam Dira, ibunya yang berdiri tegak di ambang pintu, jantung Zevian berdegup lebih keras dari sebelumnya.

“Loh, kenapa belum siap-siap? Di mana Nayara?” tanya Dira dengan nada penasaran. Ekspresinya memancarkan kecurigaan, mengingat Nayara tadi hanya meminta waktu setengah jam untuk bersiap. Zevian mengusap wajahnya kasar, menahan gugup yang mulai menjalar ke seluruh tubuhnya.

“Mau apa sih, Mom? Ini masih pagi, tahu,” jawabnya, mencoba terdengar santai meskipun suaranya terdengar jelas goyah.

“Masih pagi dari mana? Ini sudah setengah sembilan,” ujar Dira sambil melirik arlojinya sekilas. Pandangannya langsung turun menelusuri penampilan Zevian yang terlihat acak-acakan. “Dan ya, kenapa bajumu berantakan sekali?” lanjut Dira yang membuat Zevian menelan ludah. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal—gerakan gugup yang tidak bisa ia kendalikan.

“Ah... aku baru saja bangun tidur, jadi belum sempat ke kamar mandi.” ujar nya.

“Kebiasaan buruk! Di mana Nayara? Bukannya dia tadi sudah bangun?” dengus Dira tajam. Ia melangkah sedikit ke samping, mencoba mengintip ke dalam kamar. Zevian langsung berdiri di depan pintu, menyekat pandangan ibunya yang mulai mencurigakan.

“Ya... itu dia... maksudku...” Ucapannya terhenti. Wajahnya memucat, lidahnya kelu. Ia tahu benar bahwa ibunya tidak akan tinggal diam jika tahu Nayara menangis karena ulahnya.

“Itu apa?” tanya Dira, suaranya meninggi, mencium aroma aneh dari sikap sang putra.

“Tidak, tidak ada apa-apa, Mom. Mommy tidak perlu khawatir,” sahut Zevian cepat, namun sorot matanya menghindar. Dira menyipitkan mata, kecurigaannya semakin kuat. Ia melangkah maju.

“Minggir. Biar Mommy yang lihat dia kenapa.” ujarnya yang membuat Zevian merentangkan tangannya di ambang pintu, menahan.

“Tidak... tidak usah, Mom. Nayara hanya... tiba-tiba demam saja.” ujar nya jelas mengarang asal.

“Demam tiba-tiba? Zevian, jangan bohong pada Mommy.” Dira menajamkan nada suaranya.

“Biar Ze saja yang urus...” Ujar nya yang membuat Dira makin curiga.

“Jika benar hanya demam, biarkan Mommy masuk. Mommy harus melihat dia. Kamu pikir dia hanya milikmu saja? Mommy juga punya hak atas dia!” ujar Dira, nadanya meninggi, matanya membara penuh amarah dan khawatir bersamaan. Zevian menunduk, matanya gelisah, tangannya mengepal lemah.

“Mom...” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan memohon.

“Minggir, atau Mommy akan panggil Daddy untuk menyeretmu keluar dari sini.” Dira berkata dingin namun tegas. Zevian terdiam. Nafasnya memburu, jantungnya berpacu. Ia tahu, pertahanan terakhirnya sebentar lagi runtuh.

Hingga akhirnya Zevian mengalah. Tubuhnya bergerak perlahan ke samping, memberikan jalan bagi sang ibu. Wajahnya menegang, rahangnya mengeras. Ucapan Dira barusan tentang memanggil sang ayah—itu cukup untuk meruntuhkan pertahanannya.

Baginya, nama Vince Steel bukan hanya sosok seorang ayah, melainkan simbol kekuasaan dan ketegasan yang tak bisa ditawar. Selama ini, Vince jarang marah, bahkan bisa dibilang sangat sabar menghadapi anak-anaknya. Namun, jika mereka melangkah terlalu jauh dan melewati batas, maka sisi gelap pria itu akan muncul—dingin, keras, dan menakutkan.

Zevian tahu betul seperti apa amarah ayahnya. Sorot mata tajam yang mampu membuat ruangan terasa membeku, nada suara yang tenang namun menusuk, dan cara bicara yang seolah tidak memberi celah untuk perlawanan. Vince bahkan pernah dengan lantang mengatakan bahwa ia rela mempertaruhkan nama baik keluarga Steel, hanya demi membuat Zevian tunduk—entah dengan cara memilih pasangan sendiri, atau menerima pilihan mereka tanpa perdebatan.

Memori itu terpatri jelas dalam benaknya, membuat jantungnya berdegup tidak karuan. Ketakutan bukan karena hukuman fisik, tapi karena tekanan psikologis yang sanggup menghancurkan kepercayaan dirinya dalam sekejap. Dan kini, ancaman halus dari sang ibu sudah cukup mengingatkannya bahwa jika Vince sampai turun tangan, maka tidak akan ada ruang untuk negosiasi.

"All right, masuklah," ucap Zevian sambil menunduk pelan dan menggeser tubuhnya ke samping, memberi jalan untuk ibunya masuk.

Dira langsung melangkah masuk, sorot matanya tajam menyapu ruangan. Pandangannya jatuh pada sosok Nayara yang tengah terbaring di atas ranjang. Gadis itu menyamping, tubuhnya terbungkus selimut hingga ke leher, seolah mencoba melindungi diri dari dunia.

Wajah Dira berubah, dari ekspresi penasaran menjadi lembut penuh kasih. Ia melangkah pelan, mendekat, lalu duduk di tepi ranjang. Tangannya yang halus mengusap kepala Nayara dengan gerakan lembut—seperti seorang ibu sejati yang sedang menenangkan putrinya yang sakit.

"Cepat sembuh, sayang. Jangan lama-lama sakitnya... kamu akan segera menikah," ucap Dira lirih, suaranya mengandung harapan dan kekhawatiran yang tulus. "Ya ampun, pasti kamu terlalu kelelahan kemarin..." gumamnya pelan, mengingat bagaimana semalam Nayara tampak letih setelah perjalanan panjang.

Beberapa detik Dira terdiam, hanya menatap wajah pucat Nayara yang masih membisu. Lalu ia berdiri perlahan, menoleh pada Zevian yang masih membatu di dekat pintu.

"Panggil Joni. Jangan biarkan tubuhnya sakit terlalu lama," ujarnya tegas namun tetap tenang, sebelum berbalik dan melangkah pergi meninggalkan kamar.

Zevian hanya bisa berdiri kaku, diam mematung di tempatnya. Ia menunduk dalam, tak mampu mengangkat wajah, seakan seluruh ruang kamar kini berubah jadi pengadilan sunyi yang menuntut penyesalan dari dalam dirinya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!