Agatha Aries Sandy dikejutkan oleh sebuah buku harian milik Larast, penggemar rahasianya yang tragis meninggal di depannya hingga membawanya kembali ke masa lalu sebagai Kapten Klub Judo di masa SMA.
Dengan kenangan yang kembali, Agatha harus menghadapi kembali kesalahan masa lalunya dan mencari kesempatan kedua untuk mengubah takdir yang telah ditentukan.
Akankah dia mampu mengubah jalan hidupnya dan orang-orang di sekitarnya?
cover by perinfoannn
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noveria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Searching
Hujan mengguyur deras malam itu, menghalangi pandangan Agatha saat sebuah mobil melaju kencang melewatinya. Ia tak bisa melihat jelas apa yang terjadi di dalamnya. Dengan sekuat tenaga, Agatha terus berlari menuju rumah Larast.
Hosh, hosh, hosh…
Napasnya tersengal, pandangannya mulai kabur oleh air hujan yang membasahi wajahnya. Di depan pagar rumah Larast, seorang wanita berdiri memayungi diri dengan payung hitam, tampak gelisah menoleh ke kanan dan kiri. Itu Ibu Larast.
Agatha mempercepat larinya. “Ibu… La-larast sudah pulang?” tanyanya terbata-bata, berusaha mengatur napas.
Ibu Larast menggeleng, memberi isyarat bahwa Larast belum pulang dan ia sangat khawatir. Tangannya bergerak-gerak dengan cepat, jari-jarinya membentuk huruf L, A, R, A, S, T, lalu menunjuk ke arah jalan dengan ekspresi cemas. “Belum pulang, saya sangat khawatir,” jelasnya dalam bahasa isyarat.
Agatha memutar tubuhnya, menatap jalanan yang sepi. “Ibu masuk saja, biar aku cari Larast.” Dibukanya pintu pagar, dituntunnya Ibu Larast masuk ke dalam rumah.
Matanya mengamati sekeliling, mencari petunjuk. “Ibu di rumah saja, jangan khawatir. Aku cari Larast,” ujarnya sambil memberikan isyarat menenangkan. Tangannya membentuk gerakan melindungi dengan merangkum kedua tangannya di depan dada, lalu menunjuk dirinya sendiri dan membuat gerakan mencari dengan tangan terbuka. “Ibu aman di sini, saya cari Larast,” tangannya membentuk gerakan melindungi dan mencari.
Dengan payung di tangan, Agatha kembali menyusuri jalan yang tadi dilewatinya. “Larast!” teriaknya lantang di tengah derasnya hujan. Ia kembali menuruni tanjakan, bertanya pada setiap orang yang berpapasan, berharap ada yang melihat gadis dengan ciri-ciri yang ia sebutkan.
Agatha menghampiri pemilik kedai. “Maaf, Mas, bisa pinjam ponselnya sebentar? Saya mau menghubungi teman,” pintanya dengan sopan.
Tut… Tut… Tut…
Sudah tiga kali dicoba, namun tak ada jawaban.
“Cari siapa, Mas, tengah malam begini?” tanya pemilik kedai.
"Saya… saya mencari teman. Seorang gadis, rambutnya panjang sepinggang. Eh… mungkin dia pakai jaket biru," jelas Agatha.
Pemilik kedai tampak berpikir. "Oh, seorang gadis yang beli ikan bakar sama ayam goreng tadi, ya?”
“Hah? Dia beli makanan di sini tadi?” Agatha terkejut.
“Iya, Mas. Tadi sudah pulang kok. Dia ke arah sana!” Pemilik kedai menunjuk ke arah jalan menuju rumah Larast.
Agatha semakin bingung dan khawatir. Ia yakin tadi tidak melihat tanda-tanda Larast melewati jalan itu. Cahaya di jam tangannya masih terus mengeluarkan cahaya biru dan berkedip, membuat Agatha frustasi.
“Berpikir… berpikir…” Agatha memijat pelipisnya. Ia lalu menekan nomor ponsel ayahnya, berharap ayahnya bisa membantunya mencari Larast.
Tuuuuuuuuuuuttttt… “Halo,” suara ayahnya terdengar.
“Ayah, tolong jemput aku,” ucap Agatha dengan nada gemetar.
“Kamu di mana? Keluyuran tengah malam lagi?” Pertanyaan ayahnya menusuk telinga, membuat Agatha menjauhkan ponsel dari telinganya.
“Te-temanku hi-lang, Yah. Tolong jem-put aku, nanti aku ceritakan.” Suara Agatha semakin tercekat. Ia mengusap kedua tangannya, mencari kehangatan. Tubuhnya benar-benar menggigil.
“Di mana?”
“Di… di kedai, dekat tikungan mau ke rumah Larast, Yah…” jawab Agatha dengan suara serak.
“Tunggu di sana!”
Panggilan terputus. Agatha mengembalikan ponsel pada pemilik kedai, “Terima kasih banyak, Mas,” ucapnya tulus. Ia meminta izin untuk duduk di dalam sambil menunggu ayahnya datang.
“Mas, numpang duduk sebentar.”
“Iya, Mas. Duduk saja.” Pemilik kedai tampak ramah, lalu mulai membereskan kedainya karena sudah hampir tutup.
Tak lama kemudian, suara sirine mobil patroli polisi meraung-raung. Agatha menyadari kedatangan ayahnya. Ia keluar dari kedai, melambaikan tangan.
Ayahnya membuka kaca jendela mobil. “Ayo masuk!” Agatha berlari kecil, dengan pakaian setengah basah duduk di kursi belakang.
“Apa yang kamu lakukan tengah malam di sini?” Ayahnya menoleh ke belakang, menatap tajam.
“Te-temanku hilang,” jawab Agatha, menyilangkan kedua tangannya sambil menggigil.
“Siapa?” Ayahnya memberikan sebotol minuman.
Gleg, gleg, gleg. Agatha meneguknya hingga habis.
“La-larast. Ayah tahu kan…. Kakaknya yang di kantor polisi.”
“Dari mana kamu tahu kalau dia hilang?” Ayahnya tampak penasaran, menyelidik putranya yang akhir-akhir ini terlihat peduli pada seorang gadis.
“Aku sudah ke rumahnya, ibunya sendirian. Dan… jamku…” Agatha ragu apakah ayahnya akan percaya tentang jam tangannya yang akan mengeluarkan cahaya biru jika Larast dalam bahaya.
“Di luar hujan deras, besok sekolah. Ayah akan antar kamu pulang. Setelah itu, nanti ayah coba cari tahu,” kata ayahnya.
Agatha tak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa membatin, ‘Andai saja ia punya mobil sendiri, ia akan membelah kota meski hujan untuk mencari Larast'. Agatha berharap ayahnya menepati janji.
***
Sementara itu, di tempat lain, Larast dibawa ke sebuah klub malam di tengah kota oleh tiga orang penculiknya.
Larast dan ketiga pria itu turun dari mobil.
Musik dentuman bass terdengar hingga ke luar, bercampur dengan suara tawa dan obrolan orang-orang. Asap rokok memenuhi udara, menciptakan suasana pengap dan menyesakkan. Lampu sorot berwarna-warni menari-nari di dinding, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak. Beberapa orang terlihat mabuk, berjalan sempoyongan dan bersandar di dinding.
“Masuk!” Seorang pria mendorong punggungnya, memaksanya berjalan menyusuri lorong, melewati pintu belakang klub.
“Aku tidak mau!” Larast menolak, sekuat tenaga menahan kakinya.
“Masuk! Atau aku seret!” Pria itu kini berdiri di hadapannya. Tubuhnya kekar dan tinggi, sorot matanya tajam dan menakutkan. Banyak luka bekas jahitan di wajahnya, seperti telah berkali-kali diserang namun tetap bertahan hidup.
“Cepat!” gertaknya, mendorong kepala Larast.
Larast mengikuti perintah itu dengan langkah perlahan, matanya mengamati sekeliling.
“Bos, saya bawakan orangnya,” ucap pria itu pada seseorang di balik pintu.
Pintu sedikit terbuka, Larast tak bisa melihat jelas apa yang ada di dalam ruangan itu.
Seorang pria keluar dari balik pintu, tubuhnya limbung dan kurus bersandar di dinding berbeda dengan pria yang menculiknya. Panggilan 'Bos' terasa tidak pantas untuknya.
Pria itu mendekat, hampir menyentuh dagu Larast. Dengan gerakan cepat, Larast menghindar, mundur dua langkah.
Gerakan itu membuat 'Bos' kesal. Ia menarik kedua pundak Larast, hingga tubuh Larast hampir menempel padanya.
“Apa yang kamu mau? Lepaskan!” Suara Larast lantang, dagunya terangkat seolah tak ada rasa takut.
“Anak ini tidak takut mati rupanya,” ucap pria berkumis itu.
“Urusan kalian dengan kakakku, bukan denganku!” Larast kembali mundur.
Pria itu mengeluarkan catatan dari sakunya, menunjukkan pada Larast sejumlah hutang yang belum dibayar kakaknya.
“Kau lihat! Aku akan melepaskanmu setelah hutang ini dibayar!”
Larast meremas jaketnya kuat-kuat. Ia melihat banyak angka terpampang di lembaran kertas itu. "Sembilan puluh delapan juta," gumamnya.
Bersambung.
Bagaimanakah cerita selanjutnya? Akankah Agatha berhasil menemukan Larast kali ini?
eh itu jmnya nyla lgi sprt waktu dia mau pergi ke masa lalu ya .
ada apa iti?