Davian Meyers ditinggal oleh istrinya kabur yang mana baru saja melahirkan putrinya bernama Cassandra Meyers.
Sayangnya Cassandra kecil justru menolak semua orang, selalu menangis hingga tidak mau meminum susu sama sekali.
Sampai dimana Davian harus bersedih hati karena putri kecilnya masuk rumah sakit dengan diagnosa malnutrisi. Hatinya semakin hancur saat Cassandra kecil tetap menolak untuk menyusu. Lalu di rumah sakit Davian menemukan putrinya dalam gendongan seorang wanita asing. Dan mengejutkannya Cassandra menyusu dengan tenang dari wanita tersebut.
Akan tetapi, wanita tersebut tiba-tiba pergi.
Demi kelangsungan hidup putrinya, Davian mencari keberadaan wanita tersebut lalu menemukannya.
Tapi bagaimana jika wanita yang dicarinya adalah wanita gila yang dikurung oleh keluarganya? Akankah Davian tetap menerima wanita itu sebagai ibu susu putrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26. TERLAMBAT
Davian duduk seorang diri di ruang kerjanya. Lampu meja yang remang hanya menerangi sebagian wajahnya yang muram, sementara kertas-kertas laporan terbengkalai tanpa sempat disentuh. Jemarinya mengetuk permukaan meja dengan resah, pikirannya dipenuhi kekacauan yang lebih berat daripada urusan bisnis sebesar apa pun.
Ia baru kembali memutar obrolan mengenai hasil konsultasi Olivia dengan psikiater. Sebuah kebenaran yang menusuknya tanpa ampun: Olivia sama sekali tidak gila. Tidak ada catatan medis yang menunjukkan adanya delusi, skizofrenia, atau kelainan jiwa lainnya. Semua yang selama ini Davian percayai tentang kondisi Olivia runtuh begitu saja, bagai menara kaca yang dihantam badai.
"Tidak," gumamnya pelan, suara nyaris serak. "Jika Olivia tidak memiliki gangguan mental lalu semua ini apa? Jelas dia kehilangan pikirannya. Dan kurasa akulah yang membuatnya benar-benar gila."
Kenangan bermunculan, satu per satu. Tatapan Olivia yang penuh ketakutan saat ia dipaksa jauh dari Cassandra. Tangisan yang tak pernah berhenti setiap kali bayi itu dibawa ke kamar lain. Amarahnya yang tampak berlebihan, yang Davian artikan sebagai tanda kegilaan, ternyata hanyalah jeritan seorang ibu yang direnggut dari anaknya.
Namun yang paling membuatnya tercekik adalah ingatan akan pengakuan Olivia sendiri, bahwa Cassandra adalah putrinya. Saat itu, Davian menuduh Olivia berbohong, menganggapnya halusinasi semata. Padahal Olivia mengetahui kebenaran yang tidak berani ia ucapkan dengan gamblang: Cassandra adalah darah daging Davian, bukan Olivia.
Davian mengusap wajahnya kasar. Ada sesal, ada marah pada dirinya sendiri. Keputusan yang ia anggap benar demi keselamatan Cassandra ternyata justru menjadi pisau yang menusuk hati Olivia perlahan-lahan.
Pintu ruang kerja berderit pelan. Emily, pengasuh muda yang dipercaya untuk merawat Cassandra, melangkah masuk dengan ragu. Di tangannya ada selimut bayi kecil berwarna putih, namun Cassandra tidak bersamanya. Emily menunduk hormat.
“Maaf, Mr. Davian, boleh saya bicara?" suaranya bergetar, seolah takut.
Davian mengangkat wajahnya, sorot matanya tajam namun lelah. "Ada apa, Emily?"
Wanita muda itu menelan ludah, lalu memberanikan diri. "Ini tentang Miss. Olivia. Saya ... saya tidak tega melihat keadaannya. Sejak dipisahkan dari Cassandra, dia hampir tidak makan. Malam-malamnya hanya diisi dengan menangis. Kadang saya mendengar ia bicara sendiri, memanggil-manggil nama Cassandra, lalu terdiam lama sekali seakan jiwanya kosong. Para pelayan juga merasa kasihan padanya."
Davian terdiam. Kata-kata itu menusuk batinnya lebih dalam.
Emily melanjutkan, suaranya semakin lirih, "Sir, saya tahu ini bukan wewenang saya, tapi ... tolong kembalikan Cassandra kepada Miss. Olivia. Biarkan Beliau merawat bayi itu. Cassandra juga lebih tenang setiap kali berada di pelukan Nyonya. Bukankah itu alasan kenapa Anda membawa Miss. Olivia ke rumah ini?"
Davian menunduk, menekan keningnya dengan tangan. Pikirannya berkecamuk. Di satu sisi, ia ingin melindungi Cassandra dari kebohongan dan ketidakstabilan Olivia. Di sisi lain, hatinya mulai runtuh menyadari betapa keputusannya telah menyiksa perempuan itu. Dan benar, Davian membawa Olivia ke rumah ini walau tahu dulu Olivia 'gila', semata karena Cassandra.
Emily berbisik lirih, "Sir, saya takut kehilangan Miss. Olivia sepenuhnya jika terus seperti ini. Mungkin dia berbuat salah, tapi bukankah dia tidak pernah menyakiti siapa pun di rumah ini?"
Kata-kata itu bagai cambuk terakhir yang membuat dada Davian sesak. Ia berdiri, kursinya bergeser kasar ke belakang. Wajahnya menegang, namun bukan karena marah pada Emily, melainkan pada dirinya sendiri.
"Aku akan bicara dengan Olivia sekarang. Terima kasih sudah mau memberi masukan, Emily," ucapnya mantap, meski suaranya parau.
Emily menunduk penuh harap. "Terima kasih, Sir."
Davian menatap kosong ke arah pintu yang baru saja ditutup Emily. Untuk pertama kalinya, seorang Davian Meyers yang selalu tegas dan berkuasa itu merasa rapuh. Ia merasa seperti seorang pria yang baru sadar telah menghancurkan sesuatu yang seharusnya ia lindungi dengan nyawa. Merasa ia adalah pria paling bodoh.
Ia berbalik, melangkah keluar dari ruang kerjanya. Malam itu, ia berniat mengembalikan posisi Olivia di sisi Cassandra. Ia ingin meminta maaf, sekali pun mungkin jika ia harus memohon.
Lorong menuju kamar Olivia sunyi, hanya diterangi cahaya lampu dinding yang meredup, menebarkan bayangan panjang di lantai marmer. Jam dinding berdentang pelan menandai jam kini pukul sembilan malam, namun suasana terasa terlalu hening untuk sekadar disebut malam biasa.
Davian melangkah dengan langkah mantap, meski di dalam dadanya ada riak kegelisahan yang tak bisa ia redam. Semakin dekat ke kamar Olivia, semakin kuat perasaan aneh yang menggerogoti benaknya. Seperti ada sesuatu yang tidak beres.
Ia berhenti sejenak di depan pintu. Tangannya terulur, hendak mengetuk, namun tiba-tiba terhenti ketika ia menyadari sesuatu; sunyi. Terlalu sunyi. Biasanya, dari balik pintu kamar Olivia, terdengar suara isak tangis lirih atau helaan napas berat. Tetapi malam ini, tidak ada apa pun.
Davian mengetuk pelan. "Olivia?" panggilnya rendah.
Tak ada jawaban.
Ia mengetuk lagi, lebih keras. "Olivia, aku ingin bicara."
Tetap tak ada balasan. Jantung Davian berdetak lebih cepat. Naluri seorang pria yang terbiasa menghadapi bahaya seakan memberi tanda peringatan. Tanpa berpikir panjang, ia memutar gagang pintu. Terkunci.
"Olivia?!" serunya, kali ini lebih keras, campuran panik mulai terdengar dalam suaranya. Ia menempelkan telinga ke pintu, berusaha menangkap suara dari dalam. Hening.
Tanpa menunggu lagi, ia membuka pintu itu. Lupa kalau pintu selalu Davian kunci saat malam. Segera ia mengambil kunci dan membukanya. Pintu terbuka lebar.
Namun pemandangan yang ia lihat membuat darahnya serasa berhenti mengalir.
Di lantai, tepat di bawah ranjang, Olivia tergeletak tak sadarkan diri. Gaun tidurnya basah oleh darah yang menggenang di sekitarnya. Pergelangan tangan Olivia terluka dalam, pisau kecil tergeletak tak jauh dari tubuhnya. Wajahnya pucat pasi, matanya terpejam, bibirnya nyaris membiru.
"OLIVIA?!" jerit Davian, suaranya menggema di seluruh ruangan. Ia berlari menghampiri, berlutut, lalu mengangkat tubuh wanita itu ke pangkuannya. Darah hangat mengotori bajunya, namun ia tidak peduli. "Olivia?! Bukalah matamu! Jangan lakukan ini padaku!"
Suara langkah kaki panik terdengar dari lorong. Emily yang mendengar teriakan itu datang berlari bersama beberapa pelayan lain. Begitu mereka melihat Olivia bersimbah darah, pekikan histeris pecah.
"Ya Tuhan!" Emily menutup mulutnya dengan tangan, matanya membelalak. "Miss. Olivia!"
"Cepat panggil ambulance!" Davian berteriak, nadanya perintah sekaligus permohonan. "Sekarang juga!"
Salah satu pelayan segera berlari ke telepon rumah, sementara yang lain kebingungan menatap pemandangan itu.
Emily menghampiri, berlutut di samping Davian, air mata mengalir deras. "Sir. Dia kehilangan terlalu banyak darah," bisiknya dengan suara gemetar.
Davian menekan luka di pergelangan tangan Olivia dengan kain apa saja yang bisa ia capai, berusaha menghentikan aliran darah. Tubuhnya gemetar, wajahnya tegang. Ia tidak pernah merasa seputus asa ini, bahkan ketika menghadapi ancaman bisnis atau musuh yang ingin menghancurkannya.
"Bertahanlah, Olivia ...." suara Davian parau, seakan merintih. "Aku salah ... aku terlalu bodoh menjauhkanmu dari Cassandra. Maafkan aku. Bertahanlah, jangan tinggalkan Cassandra dan kami semua."
Emily menunduk, terisak. "Napasnya semakin menghilang, Sir."
Davian menggeleng keras, menolak kenyataan itu. "Tidak! Dia akan bertahan! ambulance akan datang! Aku tidak akan membiarkan dia mati!"
Detik-detik itu terasa panjang. Suasana kamar penuh kepanikan. Pelayan berlarian mencari bantuan, Emily terus menangis, sementara Davian tetap memangku Olivia erat-erat, seolah takut jika ia melepaskannya, wanita itu akan benar-benar hilang selamanya.
Darah terus mengalir meski telah ditekan. Napas Olivia teramat lemah, nyaris tidak terdengar. Di antara kesadarannya yang samar. Tubuh wanita itu mendingin.
Air mata yang selama ini tertahan di mata Davian akhirnya jatuh. Untuk pertama kalinya, pria itu menangis tanpa mampu menahannya.
"Jangan pergi, aku mohon. Aku salah, Olivia. Aku salah. Maafkan aku. Kumohon jangan pergi. Kau boleh bersama Cassandra, kau boleh menjadi ibunya," ucap Davian dalam isakan, mengiba pada Tuhan agar tidak mengambil wanita malang ini karena kesalahan Davian.
Namun Olivia hanya diam, tenggelam dalam ketidakberdayaan.
Suara sirine mobil medis akhirnya terdengar dari luar, namun bagi Davian, setiap detik terasa seperti hukuman. Malam itu, ia menyadari dengan kejam bahwa penyesalannya datang terlambat, dan nyawa Olivia kini berada di ujung tanduk.
Casie mungkin anaknya Davian dengan Olivia?,,dan mungkin ini semua permainan Raymond?
kau yang berjanji kau yang mengingkari
kalo sampe Raymond tau wahh abis citra mu piann, di sebar ke sosial media dengan judul
" PEMBISNIS MUDA DAVIAN MAYER, MENJADI MENYEBABKAN SEORANG WANITA BERNAMA OLIVIA MORGAN BUNUH DIRI " tambah bumbu pelecehan dll wahh habis karir 🤣🤣🤣
bisa diskusi baik² bisa di omongin baik² , suka banget ngambil keputusan saat emosi