Terkadang orang tidak paham dengan perbedaan anugerah dan kutukan. Sebuah kutukan yang nyatanya anugerah itu membuat seorang Mauryn menjalani masa kecil yang kelam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DessertChocoRi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab- 18 Perlawanan Pertama
Langkah mereka menembus hutan basah. Nafas terengah, ranting-ranting patah di bawah kaki. Cahaya obor musuh menari-nari di kejauhan, semakin mendekat.
Mauryn nyaris jatuh ketika kakinya tersangkut akar. Revan segera menangkapnya sebelum ia terjerembab.
“Hati-hati,” bisiknya.
“Aku… aku bisa.” Mauryn mengangguk, meski wajahnya pucat.
Ardan di belakang mereka bergumam penuh panik.
“Kita tidak bisa terus begini! Mereka lebih banyak, mereka punya anjing pelacak, senjata…”
Revan berhenti mendadak, membuat keduanya hampir menabraknya. Ia menoleh, suaranya rendah tapi tajam.
“Kamu ingin terus lari sampai kehabisan napas, atau kamu ingin punya peluang menang?”
“Menang? Dengan apa? Kita bahkan tidak punya senjata selain pisau bututmu itu!” Ardan membelalak.
Revan mengangkat pisaunya, matanya menyala.
“Kadang pisau lebih mematikan dari senapan… asal dipakai di tempat yang tepat.”
Mauryn menatapnya lekat.
“Revan… kamu serius? Kamu ingin melawan mereka sekarang?”
Revan menatap balik, sorot matanya keras tapi penuh keyakinan.
“Kita tidak akan pernah aman kalau hanya lari. Mereka akan terus menemukan kita. Jadi ya, saatnya mereka merasakan sakitnya berburu orang yang salah.”
“Bagaimana caranya?” Mauryn menelan ludah, tubuhnya bergetar.
Revan menatap sekeliling, mengamati pepohonan rimbun dan tanah becek. Senyum tipis muncul di wajahnya.
“Hutan ini bisa jadi kuburan mereka.”
“Astaga, kau benar-benar gila…” Ardan mendecak.
Revan menepuk bahunya keras.
“Kamu ikut gila bersamaku, atau kamu mati lebih cepat. Pilih.”
Ardan menunduk, mengumpat pelan, tapi akhirnya mengangguk.
“Baiklah… tapi jangan harap aku jadi pahlawan.”
“Kumpulkan ranting besar, daun basah. Mauryn, kamu tetap di dekatku.” Revan bergerak cepat.
Mauryn menuruti tanpa banyak tanya, meski jantungnya berdebar hebat. Tangannya gemetar saat mengumpulkan ranting, tapi ia memaksa dirinya fokus.
Tak butuh lama, Revan sudah menyiapkan jebakan sederhana. Ranting-ranting dipasang longgar di jalur sempit, ditutupi dedaunan.
Lubang kecil yang digali cepat jadi jebakan kaki. Lalu, batang pohon kering disandarkan, siap dijatuhkan untuk menghalangi jalan.
“Tidak sempurna,” gumam Revan
“Tapi cukup bikin mereka kacau.”
Mauryn menatapnya, takjub sekaligus ngeri.
“Kamu… pernah lakukan ini sebelumnya?”
Revan menoleh, tersenyum tipis tanpa humor.
“Lebih sering dari yang kau kira.”
“Aku mulai benar-benar takut padamu.” Ardan menelan ludah.
“Bagus. Rasa takut bisa membuatmu lebih awas.” Revan menepuk bahunya sekali lagi.
Suara langkah semakin dekat. Obor mulai terlihat di antara pepohonan. Suara kasar terdengar.
“Jejak mereka ke sini! Cepat!”
“Mereka datang…” Mauryn merapat ke Revan, tubuhnya kaku.
Revan menaruh jarinya di bibir.
“Diam. Ikuti rencanaku.”
Musuh pertama masuk jalur sempit. Ia melangkah percaya diri, lalu tiba-tiba kakinya terperosok ke dalam lubang jebakan. Jeritannya memecah malam.
“ARGHH!”
Pria di belakangnya terkejut, melompat ke samping tepat menabrak batang pohon yang jatuh dengan keras. Ia terhantam, tubuhnya tergeletak tak bergerak.
Suasana seketika ricuh.
“Apa yang terjadi?! Waspada! Mereka ada di sekitar!”
Ardan menahan napas, menatap Revan dengan mata melebar.
“Itu… berhasil.”
“Baru permulaan.” Revan berbisik dingin.
Dengan cepat ia meraih batu sebesar kepalan tangan, lalu melemparkannya ke arah berlawanan. Batu itu menghantam semak, menimbulkan suara keras.
“Di sana! Mereka lari ke arah itu!” Para musuh teralihkan.
Sebagian dari mereka berlari ke arah salah. Revan segera menarik Mauryn dan Ardan ke jalur lain yang lebih gelap.
“Revan… bagaimana kamu bisa begitu tenang?” Mauryn berbisik, nyaris tak terdengar.
Revan menoleh, tatapannya tajam tapi lembut saat menyentuh matanya.
“Karena kalau aku panik, kita semua mati. Kamu mengerti?”
Mauryn mengangguk, menelan rasa takutnya.
Namun mereka belum aman. Satu musuh tersisa ternyata tidak terkecoh. Ia muncul dari balik pohon, mengangkat busur dengan anak panah terpasang.
“Aku dapat kalian!”
Mauryn menjerit kecil, tubuhnya membeku.
Revan bergerak lebih cepat dari pikirannya sendiri. Ia mendorong Mauryn ke tanah, lalu melempar pisaunya lurus ke arah pria itu. Pisau menancap di bahu musuh, membuatnya menjerit dan menjatuhkan busur.
Ardan langsung meloncat maju, meski wajahnya penuh takut, dan menghantam pria itu dengan kayu besar. Musuh ambruk, pingsan.
Ardan terengah, menatap kayu di tangannya.
“Astaga… aku… aku benar-benar melakukannya.”
Revan menepuk bahunya singkat.
“Bagus. Sekarang kamu tidak hanya jadi beban.”
Ardan mengumpat pelan, tapi jelas ada secercah bangga dalam matanya.
Mauryn masih gemetar, tapi Revan menolongnya berdiri.
“Kamu baik-baik saja?”
“A-aku… aku kira panah itu akan mengenai kita…”
Revan menatapnya dalam, suaranya pelan tapi tegas.
“Tidak. Selama aku di sini, tidak akan ada panah yang menyentuhmu.”
Mauryn menatapnya lama, dadanya bergetar hebat. Kata-kata itu bukan sekadar janji kosong ia bisa merasakannya.
Suara teriakan dari jauh kembali terdengar.
“Hei! Kalian kemana?! Temukan mereka!”
Revan menarik napas panjang, lalu berkata cepat.
“Kita tidak bisa tinggal di sini. Mereka masih banyak. Kita bergerak lebih dalam ke hutan. Sekarang.”
Mauryn mengangguk, meski tubuhnya masih lemas. Ardan mengikuti, masih menggenggam kayu dengan erat seolah itu satu-satunya penyelamatnya.
Mereka kembali berlari menembus kegelapan. Tapi kali ini, untuk pertama kalinya, Mauryn merasa mereka bukan sekadar buruan. Mereka mulai melawan.
Dan di genggaman erat Revan yang tak pernah terlepas, Mauryn tahu meski malam penuh bahaya, mereka masih punya harapan.
Bersambung…
Jangan lupa support othor dengan like, komen dan vote sebanyak-banyaknya yah 🥰