Pertemuan pertama begitu berkesan, itu yang Mada rasakan saat bertemu Rindu. Gadis galak dan judes, tapi cantik dan menarik hati Mada. Rupanya takdir berpihak pada Mada karena kembali bertemu dengan gadis itu.
Rindu Anjani, berharap sang Ayah datang atau ada pria melamar dan mempersunting dirinya lalu membawa pergi dari situasi yang tidak menyenangkan. Bertemu dengan Mada Bimantara, tidak bisa berharap banyak karena perbedaan status sosial yang begitu kentara.
“Kita ‘tuh kayak langit dan bumi, nggak bisa bersatu. Sebaiknya kamu pergi dan terima kasih atas kebaikanmu,” ujar Rindu sambil terisak.
“Tidak masalah selama langit dan bumi masih di semesta yang sama. Jadi istriku, maukah?” Mada Bimantara
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 - Rencana (1)
[Pagi sayang. Aku, otw ke tempat kamu. Tunggu aku, ya]
Mada tersenyum membaca pesan yang dikirim pada Rindu. Ternyata rasanya seru juga punya pacar. Ada yang dihubungi dan saling berkabar. Ponselnya tidak lagi berisi urusan pekerjaan dan keluarga besarnya.
“Ish, pagi-pagi udah aneh, ketawa sendiri,” ejek Gita mendahului Mada lalu menuruni anak tangga.
Mada mengejar dan mensejajarkan langkah mereka bahkan merangkul bahu adiknya itu.
“Ish, lepas!”
“Sombong amat, kamu harusnya seneng dipeluk aku. Nanti jarang lo dimanja sama kakakmu yang paling ganteng ini.”
“Yey, masih ada Kak Gilang, juga papa. Lagian mau kemana gitu?”
“Pertanyaannya bukan mau kemana, tapi siapa yang aku mau manjakan,” sahut Mada lalu terkekeh sendiri.
“Nggak jelas, aku aduin Kak Moza.” Gita langsung menempati kursinya di meja makan untuk sarapan. Arya dan Sarah belum terlihat.
“Bik, mana bekal aku?”
Bibi pun ke dapur dan kembali membawakan goodybag lalu menyerahkan pada Mada.
“Makasih Bik, semoga bibi panjang umur dan makin cantik ya.”
“Mas Mada ini ada-ada aja, bibi udah tua mana mungkin makin cantik.”
“Jangan dengerin Bik, dia tukang gombal. Kayak lagi jatuh cinta aja,” ejek Gita.
“Nah, tuh tahu.”
“Hah, serius kak? Sama siapa, jangan bilang sama Arba. Nggak nyangka kakakku yang ngaku tampan nggak ketulungan se-frustasi itu sampai harus menerima Arba.”
“Idih, ogah amat. Bukan Arba lah, tertarik juga nggak. Nanti kamu juga tahu,” seru Mada lalu mengacak rambut adiknya itu. “Makan yang banyak biar sehat. Aku jalan, kasih tahu mama ya.”
Sampai dimobil Mada meletakan goody bag di atas jok penumpang di samping kemudi, kembali tersenyum mengingat momen yang akan terjadi di mana Rindu akan menyuapinya sarapan.
Membuka ponsel karena ada notifikasi balasan pesan dari Rindu.
[Padahal nggak usah repot, saya bisa berangkat sendiri]
“Astaga, emang susah bikin Rindu termehek-mehek. Di mana-mana cewek tuh seneng diantar jemput pasangannya, ini malah mau jalan sendiri. Mandiri banget sih.”
Hampir satu jam perjalanan akhirnya mobil Mada sudah terparkir tidak jauh dari guest house, ia memperhatikan salah satu mobil lain yang begitu ia kenal. Tentu saja milik orang yang dipercaya untuk mengawasi Rindu.
Mengetuk pintu kamar, tidak lama keluarlah Rindu.
“Langsung jalan yuk,” ajak Mada. “Eh itu barang-barang kamu udah siap mau pindah?”
“Iya, tadinya saya mau mampir ke kosan dulu simpan ini terus ke pameran. Kalau sekarang ke kosan ya nggak keburu, saya bisa telat pak.”
“Halah, baru jadian kemarin udah ngomongin telat. Aku belum ngapa-ngapain loh.” Mada sampai mengangkat kedua tangannya.
“Pak Mada, apaan sih.”
“Ya udah gampanglah itu, ayo ini tasnya kita bawa.”
Mada membawa dua tas besar sedangkan Rindu membawa ransel kerjanya berisi pakaian ganti dan perlengkapan make up. Hampir sampai di mobil, Mada memanggil orang kepercayaannya.
“Dia siapa pak?” tanya Rindu lirih mendapati pria yang kemarin menolongnya menghampiri.
“Orangku,” jawab Mada lalu memberikan tas Rindu. “Bawa ini ke kosan Rindu, yang kemarin kita datangi. Kunci kamar tanya aja sama penjaga kosan.”
“Siap, bos.”
“Pak, nggak pa-pa dia disuruh begitu, biar saya aja yang bawa,” ujar Rindu saat pria itu sudah kembali ke mobil.
“Iya nggak masalah, memang dia direkrut untuk disuruh-suruh.”
“Hah!”
“Ayo, masuk!” Mada membuka pintu mobil untuk Rindu.
Mobil Mada perlahan bergerak melaju menembus jalanan kota Jakarta menuju lokasi pameran. Hari ini terakhir kegiatan, sudah mendapat laporan sementara kalau penjualan keseluruhan seminggu ini meningkat. Bukan hanya senang karena pencapaian itu, juga karena gadis yang duduk di sampingnya. Serasa mendapatkan rejeki double.
“Ah iya, tolong buka itu,” titah Mada menunjuk goody bag yang dipangku oleh Rindu. “Kamu udah sarapan belum?”
“Hm, belum sih.”
“Itu bekal untuk kita berdua karena aku lagi nyetir jadi suapin ya.”
“Nggak menepi dulu pak, takutnya kagok kalau sambil makan,” usul Rindu.
“Makanya suapin aku.”
Rindu membuka kotak bekal dan melakukan apa yang diminta Mada. Menyuap ke mulutnya sendiri juga untuk pria itu. Sempat merona dan tersenyum karena rayuan gombal sang kekasih.
“Untuk kamu aja,” seru Mada karena Rindu menawarkan orange juice dalam cup lalu mengambil botol air mineral di pintu mobil saat berhenti karena lampu lalu lintas.
“Hari ini Pak Mada di pameran?”
“Hm, sebentar doang, lihat kondisi lalu ke kantor. Paling sore balik lagi ke pameran. Kenapa?”
“Ah, nggak, tanya aja”
“Nggak usah ragu kalau mau hubungi aku dan nggak usah takut orang kemarin datang lagi.” Rindu mengangguk saat Mada menoleh sekilas dan kembali fokus pada kemudi dan jalanan di depan.
“Aduh Rin, padahal kita lagi deket begini, tapi kok aku rindu terus ya.”
“Masa sih, lebay deh.”
“Serius.”
Sedangkan di tempat berbeda, Pakde Yanto memijat dahi dan mendengus kesal karena sejak tadi istrinya terus mengoceh. Mengeluhkan nasib mereka saat ini. Putra mereka pun tidak kalah menyebalkan hanya bisa berbaring malas sambil bermain ponsel. Tinggal di kontrakan petak dengan kondisi menyedihkan hanya beralas tikar dan karpet.
“Iya bu, aku ingat. Nggak usah diulang terus. Sekarang kita harus cari solusi daripada ngoceh terus.”
“Aku begini karena kamu, Mas.”
“Karena kita. Bukan hanya aku yang buat kita terjerat hutang begini. Karena anakmu yang rajin itu, juga gaya hidupmu.”
“Kalau mas nggak suka judi kita nggak akan sulit.”
“Hah, berisik banget sih! Dari kemarin saling menyalahkan terus. Sekarang gimana solusinya, aku nggak mau terus-terusan tinggal di sini. Banyak nyamuk mana nggak ada kasur,” keluh Maman beranjak duduk bersandar pada dinding yang catnya mulai koyak. Benar-benar kontrakan tidak layak. “Emang nggak bisa kita minta uang lagi sama bapaknya Rindu?”
“Orangnya ada di mana juga kita nggak tahu, sudah lost kontak. Lagi pula uang yang pernah dikasih untuk menghidupi Rindu sampai lulus kuliah. Kalau tau Rindu bahkan tidak kuliah dan uangnya kita habiskan, bisa habis juga nasib kita,” tutur Yanto.
“Ah, aku ada ide,” ujar Sari dengan wajar berbinar. “Rindu itu cantik, kita manfaatkan dia saja untuk menolong kita. Gimana?”
mendingan Rindu la,jaaaauuuh banget kelakuan kamu dan Rindu...
gimana mau jatuh cinta ma kamu
😆😆😆😆
kamu gak masuk dalam hati Mada Arba,lebih baik sadar diri...
jauh jauh gih dari Mada
babat habis sampai ke akarnya...
🤬🤬🤬🤬🤬