Jika Esok Kita Menikah
“Makasih ya, pak,” ujar Rindu agak berteriak turun dari ojek online. Setengah berlari menuju pintu masuk cafe.
Tiga puluh menit lagi dia harus tampil. Semoga saja cukup waktu untuk bersiap. Seharusnya tidak akan seperti ini, datang terlalu mepet dengan penampilan belum rapi. Ada drama di rumah sebelum ia berangkat. Motornya dipakai Maman -- sepupu. Alasannya hanya sebentar, mau beli pulsa.
Memasuki cafe, tujuannya langsung ke toilet. Merapikan rambut dan sedikit bersolek. Rindu Anjani, gadis berusia dua puluh tiga tahun itu bekerja apapun yang dia bisa. Menyanyi di cafe atau acara pesta. Kadang freelance menjadi SPG suatu produk. Selama halal, tentu saja akan dijalani.
Sejak masih di SMP, dia tinggal bersama keluarga Pakdenya. Ayah Rindu entah kemana, sedangkan Ibunya sudah tiada. Tentu saja Rindu sadar diri sudah menumpang dan dibesarkan oleh kerabat dari ibunya.Sebagian penghasilan dia serahkan pada bude Sari, meski Pakde Yanto melarangnya.
“Anggap saja uang sewa dan uang makan, ini pun kurang karena kami mengasuh kamu tanpa pamrih.” Kalimat itu sering disampaikan oleh Bude Sari.
Padahal Rindu bukan gadis malas. Sejak tinggal di pondok milik pakdenya, ia tidak pernah berpangku tangan. Pekerjaan rumah, sebagian besar dia yang lakukan. Kecuali memasak.
Bukan tidak ingin mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, tapi bisa kerja apa dengan ijazah SMA. Kuliah baru sampai semester empat dan sudah cuti sampai sekarang belum dilanjutkan.
“Loh, kok nggak ada.” Rindu mengacak tasnya mencari parfum dan deodorant, sepertinya lupa dibawa. Mana mungkin tidak menggunakan dua produk itu. Meskipun sudah mandi, tapi perjalanan dari rumah ke tempat ini menggunakan motor tentu saja menimbulkan aroma lain. Bau apek, knalpot dan entahlah.
“Ck, gimana kalau ada customer minta lagu. Kalau ada cowok ganteng apalagi keturunan sultan, bisa ilfill dah. Gagal dong jadi menantu pengusaha,” keluh Rindu.
Sudah berganti kaos dengan blouse peplum dengan bawahan celana model pensil dan wedges. Masih ada waktu untuk ke minimarket membeli produk tadi. Melewati meja kasir, Rindu berpapasan dengan rekan duetnya.
“Mau ke mana lo, bentar lagi mulai.”
“Bentar doang, tenang aja bang. Aman kok.”
Gedung minimarket bersebelahan dengan Cafe, hanya terjeda area parkir yang agak luas. Beruntung tidak ramai di antrian kasir. Mendapatkan deodoran dan parfum merk lain karena darurat.
Keluar dari minimarket, pandangan Rindu tertuju pada kemasan parfum. Membaca komposisi, meski tidak paham. Tidak menyadari langkahnya, ia menabrak seseorang.
“Jalan yang bener dong,” cetus Rindu, padahal dia sejak tadi menunduk.
“Lah, coba. Dia yang nabrak, dia yang galak.”
Rindu menatap pria di hadapannya. Kalau nilai maksimal dari ketampanan adalah sepuluh, Rindu menilai pria itu seribu. Namun, gengsi di atas segalanya, raut wajahnya langsung berubah ketus.
“Makanya kalau jalan pakai mata.”
“Busyet, teori dari mana neng. Dari jaman firaun sampai sekarang, jalan itu pakai kaki karena mata dipakai untuk melihat. Situ AI ya?”
Rindu hanya mencibir lalu bergegas kembali ke cafe. Sedangkan pria tadi hanya menggeleng mendapati gadis itu pergi.
“Cantik, tapi galak.” Ponsel pria itu berdering. “Halo.”
“Di mana lo, bilang udah dekat belum nyampe juga.”
“Apa sih Bay, nggak sabar banget. Udah kangen ya. Gue di sebelah café, beli rokok dulu.” Terdengar percakapan di ujung sana.
“Mada, gue nitip ya.”
“Nitip apa?” tanya Mada sambil mendorong pintu mini market.
Sudah kegiatan rutin ketiga sahabat itu untuk bertemu. Bersahabat sejak mereka SMA, sudah seperti trio kwek-kwek. Mada, Bayu dan Erlan (Siapa yang ingat, Bayu dan Erlan ada di judul mana). Bayu nasibnya lebih baik, sudah menikah bahkan sudah punya bayi.
“Nitip salam buat mbak kasir,” seru Erlan lalu terbahak di ujung sana.
Mada langsung ke kasir menyebutkan merek rokok masih dalam panggilan.
“Mbak, teman saya salam nih. Namanya Erlan, orangnya lumayan ganteng, tapi lebih ganteng saya. Diterima nggak salamnya?”
Gadis yang berjaga di kasir hanya tersenyum sambil memindai produk yang dibeli mada.
“Ada lagi mas?”
“Ada lagi nggak?” tanya Mada pada Erlan.
“Bener-bener si Mada. Cepetan kemari, Bayu nggak bisa lama-lama.” Panggilan pun berakhir.
“Yah, ditutup mbak. Ngambek dia. Mbak sih, nggak mau terima salam dari teman saya.”
“Maunya salam dari mas aja,” ujar gadis itu lalu terkekeh.
“Saya nggak punya salam mbak, dipake mama saya masak sayur asem.” Mada mengeluarkan satu lembar uang warna merah. “Kembaliannya ambil aja, buat beli es teh.”
“Makasih ya mas.” Mada tersenyum kemudian berlalu.
Sampai di café ia berdecak mendapati Bayu dan Erlan mengambil meja di dalam ruangan.
“Lo berdua dengar gue tadi beli rokok ‘kan?” tanya Mada setelah menghempaskan tubuhnya di kursi.
Erlan menggeleng dan Bayu mengedikan bahu.
“Otak gue udah ngebul, seharian ini rapat mulu. Pengen ngerokok makanya beli ginian. Malah pilih meja di sini. Emang nggak ada akhlak lo berdua.”
“Lo yang nggak ada akhlak. Ngapain ngirim link video aneh-aneh, mana gue klik pas bareng istri.”
Mada terbahak dengan keluhan Bayu. “Bagus dong, biar bisa sekalian praktek. Gue dapat dari Erlan, langsung gue kirim ke lo.”
“Gue boleh dapat dari grup, tapi lo klik juga ‘kan?” tanya Erlan sambil menepuk lengan Mada.
“Nggaklah, zina mata itu. Memang gue jomblo, tapi nggak putus asa sampai nonton film begituan. Udah pesen belum?” tanya Mada.
“Udah beres, kita sudah pesan dari tadi. Nah, tuh datang,” sahut Erlan.
Pelayan meletakan makanan dan minuman di atas meja. Terdengar suara wanita dan petikan gitar.
“Sore gaes, selamat datang di blue cafe. Mengawali sore ini, satu lagu untuk kalian.”
“Nah, ini nih. Dari tadi ditungguin baru mulai. Gila, cantik banget sih,” tutur Erlan bahkan sambil berdecak kagum.
Mada menyesap americano ice sambil menoleh ke belakang. Kebetulan posisinya membelakangi stage. Mulutnya langsung menyemburkan es kopi yang masih berada di dalam mulut, saat melihat gadis di atas stage sedang berdendang.
“Mada, lo malu-maluin aja,” keluh Bayu karena ulah Mada menjadi perhatian dari meja di sekitar.
Sejak tadi mereka bertiga memang menjadi perhatian, karena pesonanya. Namun, kali ini menjadi perhatian karena semburan naga dari mulut Mada.
“Busyet, dia bisa nyanyi. Kirain Cuma bisa ngomel gak jelas.”
\=\=\=\=\=
Hai ketemu lagi dengan karya dtyas, ikuti terus sampai tamat ya dan jangan lupa tinggalkan jejak
... 🥰🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Felycia R. Fernandez
Bayu Benci benci tapi rindu
Erlan adiknya siapa itu kk nya yang nikah ma asisten ayahnya ...aaaah maaf kk Thor yang ini aku lupa judulnya 😆
2025-07-21
2
Dwi ratna
walaupun udh ketinggalan 2 novel yg blm ku baca tak apalah kesini dlu aja yg msh on go
2025-07-22
0
Felycia R. Fernandez
waaaah...
akhirnya novel Mada launching juga kk Thor...
semangat kk Thor Dtyas 💖
2025-07-21
0