Haisya, gadis cerdas berhati teguh, meraih beasiswa ke Negeri Fir'aun, namun hatinya telah terpaut cinta pertama dari pesantren. Di Inggris, ia bertemu seseorang yang awalnya membencinya karena perbedaan, namun berubah menjadi cinta mendalam. Kembali ke tanah air, Haisya dijodohkan. Betapa terkejutnya ia, lelaki itu adalah sosok yang diam-diam dicintainya. Kini, masa lalu kembali menghantuinya, menguji keteguhan hati dan imannya. Ikuti perjalanan Haisya menyingkap simpul-simpul takdir, dalam kisah tentang cinta, pengorbanan, dan kekuatan iman yang akan memikat hatimu hingga akhir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Simun Elthaf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengukir Jejak di Tanah Asal
Pagi itu, mentari tak penuh menyinari, sinarnya tertutup awan mendung yang mengandung uap air. Awan-awan tebal itu seolah mendukung bila tiba saatnya tetesan air jatuh membasahi bumi. Di sisi lain, hati Haisya diselimuti ombak rindu yang terus menggulung, terpecah menabrak karang-karang kenangan masa kecil yang menggunung. Hari ini, ia akan kembali menyambangi tempat di mana sebagian besar masa remajanya ia habiskan.
"Pyar!"
Tepat di depan gerbang utama Pondok Pesantren Khoirurrohim, Cilacap, Jawa Tengah, Indonesia, Haisya kini berdiri. Sebuah papan nama besar terpampang jelas, mengukir kembali memori-memori lama. Dengan langkah mantap, ia berjalan masuk melewati lapangan pondok yang luas, tempat para santri biasa berolahraga dan berkumpul.
Kehadiran Haisya segera menarik perhatian. Beberapa santri yang sedang beraktivitas di sekitar sana saling berbisik.
"Ustadzah Isha, kan?" seorang santri menunjuk ke arah Haisya dengan mata berbinar.
"Oh iya, itu Ustadzah Haisya. Masya Allah, tambah cantik aja beliau ya," santri lainnya menanggapi dengan takjub, melihat perubahan pada sosok yang dulu menjadi guru mereka.
"Assalamualaikum," sapa Haisya, melontarkan senyum ramah kepada para santri.
"Waalaikumussalam, selamat datang kembali di Pondok Nur Rohman, Ustadzah," balas seorang santri dengan senyuman tulus dan takzim, mewakili teman-temannya.
"Makasih... oh ya, tolong jangan panggil saya Ustadzah ya, saya bukan seorang Ustadzah," Haisya berusaha merendah, merasa canggung dengan panggilan itu.
"Tapi kan antum pernah mengajar di sini, jadi tidak masalah kalau kami memanggil dengan panggilan Ustadzah, bukan?" timpal santri lainnya, dengan nada sopan namun penuh hormat. Haisya hanya tersenyum tipis, mengalah.
"Abah dan Ummu ada?" tanya Haisya, merujuk pada Kiai dan Bu Nyai pengasuh pondok.
"Ada di ndalem (rumah Kiai), Zah. Mari kami antar," tawar seorang santriwati dengan sigap.
"Makasih..." Haisya mengangguk, mengikuti mereka menuju kediaman Kiai.
***
DI HALAMAN BELAKANG RUMAH Haisya, SORE HARI.
Sementara Haisya mengenang masa lalunya di pesantren, di rumah, suasana santai nan akrab mengisi sore hari. Pohon mangga di taman belakang begitu rindang, daunnya lebat meneduhkan. Buahnya pun menggantung, besar-besar dan begitu menggoda, siap dipetik. Fatimah dan Anggun sedang bermain riang dengan bunga-bunga kesayangan mereka di sudut taman, sesekali tertawa renyah. Sedangkan Dika dan kedua kakaknya, Dayat dan Putra, sedang bermain bola di halaman yang lebih luas, teriakan riang mereka memenuhi udara.
Di teras, Syakila, Anto, Imam, beserta suami dan istri mereka mengawasi anak-anak dengan senyum di wajah. Mereka menikmati secangkir teh hangat dan beberapa camilan, mengisi waktu dengan obrolan ringan seputar keluarga.
"Gimana nih, Mas? Isha mau berangkat lagi," ucap Syakila, memecah keheningan, nadanya sedikit cemas namun juga bangga.
"Iya, Mbak. Anak itu memang benar-benar semangat belajar, sampai tidak sadar umurnya sudah semakin bertambah," timpal Anto, menggelengkan kepala pelan.
"Iya yah, dulu aku seumuran dia sudah punya anak," celetuk Imam, suaranya mengandung tawa.
"Lah kamu sih nggak heran, sekolah juga pacaran mulu," goda Anto, menyikut lengan Imam.
"Ha... ha... ha..." mereka semua tertawa renyah, godaan Anto selalu berhasil memancing tawa. Syakila kini jadi bahan bullyan para kakaknya. Mereka memang bukan anak kecil lagi, namun mereka suka menyelipkan candaan renyah saat bersama, sebuah kebiasaan yang tak pernah hilang.
Obrolan mereka beralih pada masa depan Haisya. "Putranya Pak Hasyim, dia orang yang baik, agamanya juga bagus," ucap salah satu dari mereka, mulai menyebutkan kandidat. "Atau Gus Ahmad, putra Pak Kiai Balkhi juga boleh, dia berpendidikan tinggi, sudah Hafiz 30 juz lagi."
"Entahlah, Bapak belum memutuskan," sahut Rohman, ayah Haisya, yang baru bergabung dari dalam rumah. Ia duduk di kursi kayu, menyesap tehnya. "Bapak itu masih menunggu pemuda yang diceritakan Hasnan, katanya Haisya juga mencintainya, makanya Bapak tidak mungkin gegabah mengambil keputusan."
"Tapi bagaimana bila ternyata pemuda itu tidak segera mengkhitbah Haisya kita?" Syakila bertanya, raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang beralasan. Pertanyaan itu menggantung di udara, membuat mereka semua terdiam sejenak.
***
DI SEBUAH RUMAH MEWAH, JAUH DARI KAMPUNG HALAMAN Haisya.
PADA SAAT YANG HAMPIR BERSAMAAN.
Di sebuah rumah mewah yang megah, Fa'i, seorang pemuda tampan dengan mata sendu, sedang berhadapan dengan kakek dan neneknya. Suasana di ruang tamu terasa tegang. Mereka duduk di sofa mahal, Fa'i di tengah, wajahnya menunjukkan kegelisahan.
"Fa'i, kamu harus menerimanya," kata sang Kakek, suaranya tegas. "Abahmu telah menjodohkanmu dengan putri dari Pak Rohman. Pak Rohman itu punya hubungan baik dengan keluarga kita. Abahmu sudah bersahabat dengannya sejak kecil, sebelum keluargamu pindah ke Bandung."
"Tapi, Kek, Fa'i tidak mengenal gadis itu," Fa'i mencoba beralasan, suaranya lirih. "Fa'i sudah punya pilihan sendiri, tolong Kek, Nek, mengertilah!"
Sang Kakek menghela napas. "Siapa yang kau pilih, hah? Perempuan yang sudah menjadi milik laki-laki lain itu? Untuk apa kamu mengharapkannya lagi?" Ada nada kekecewaan dalam suaranya. Mereka tahu, Fa'i masih memendam perasaan pada cinta lamanya.
"Saya yakin suatu saat nanti Haisya bisa menerimaku, Kek," Fa'i mengatakan itu, namun sebenarnya ia juga ragu bila itu mungkin terjadi. Hatinya perih mengakui kenyataan.
"Putri Pak Rohman lebih baik untukmu, Fa'i. Dia gadis yang solehah, baik akhlaknya, berpendidikan tinggi, sudah Hafizah, dan yang penting sudah jelas bibit, bebet, dan bobotnya, kami mengenal keluarganya sejak lama," bujuk sang Kakek, mencoba meyakinkan Fa'i dengan segala kebaikan gadis itu.
"Iya, Fa'i, dengarkan Kakekmu itu," nenek Fa'i menambahkan, tangannya mengelus lengan Fa'i. "Kamu itu anak tunggal, usiamu sudah cukup untuk menikah. Sampai kapan kami harus menunggu untuk memiliki momongan dari keturunanmu? Jangan kecewakan kami semua, Nak." Bujukan penuh perasaan dari sang nenek sedikit menyentuh hati Fa'i, namun tetap saja ia belum bisa menerimanya sepenuhnya. Ada pertarungan batin yang sengit di dalam dirinya.
Tak sanggup lagi menahan tekanan, Fa'i bangkit. Ia pergi mengendarai mobil pribadinya untuk menenangkan diri. Ia melaju tanpa tujuan pasti, membiarkan pikirannya berputar. Akhirnya, ia tiba di kompleks Masjid Al-Azhar di Jakarta, tempat ia sering mencari ketenangan. Ia membaca beberapa ayat-ayat Al-Quran di ruwaq (serambi) Masjid Al-Azhar. Suasana disana begitu menenangkan, bisikan doa dan dzikir memenuhi udara. Sesaat ia bisa melupakan masalah-masalah yang ia alami. Ia bersimpuh dan memohon kepada Allah SWT agar diberikan jalan yang terbaik untuknya.
Saat Fa'i sedang khusyuk dalam doanya, sebuah suara mengagetkannya. "Assalamualaikum, akhi Rifa'i."
Fa'i mendongak, matanya sedikit terkejut melihat sosok di depannya. "Waalaikumussalam, Carlysca? Madza ta’malina? (Apa yang kamu lakukan?)"
"Nggak, tadi kebetulan lewat, terus lihat antum disini," jawab Carlysca, tersenyum ramah.
"Boleh minta waktunya sebentar?" tanya Fa'i, melihat kesempatan untuk mencari tahu tentang Haisya.
"Of course," jawab Carlysca.
Carlysca dan Rifa'i kemudian duduk di sebuah kedai kopi kecil dekat Masjid Al-Azhar. Fa'i ingin membicarakan sekaligus mencari informasi tentang Haisya. Carlysca adalah teman dekat Haisya, mungkin ia juga mengetahui tentang perasaan Haisya yang sesungguhnya. Pertemuan tak terduga ini mungkin menjadi kunci bagi Fa'i.
***
Siang itu, di sebuah aula sederhana Pondok Pesantren Khoirurrohim, Kyai sedang mengajar para santri. "Ma iku opo as-sunanu utawi piro-piro shalat sunnah, at-tabi’atu kag anut lil faraidhi ing piro-piro sholat fardhu?" Kiai membacakan penggalan kitab Al-Mabadi’ Al-Fiqhiyah, suaranya berwibawa.
Gadis berkerudung putih itu—Haisya—memperhatikan wajah Kiai yang selalu menyayanginya dengan mata berkaca-kaca. Ia melihat betapa Kiai begitu tulus mencurahkan ilmunya. Haisya sedikit maju, memperhatikan dirinya yang kini telah dewasa. Pengajian itu terhenti saat Kiai, dengan pandangan tajamnya, telah mengetahui kedatangannya. Sebuah senyum merekah di wajah Kiai.
"Masya Allah... benarkah itu dirimu, Nak? Abah tidak sedang bermimpi, bukan?" Kiai berdiri, tangannya terulur. Haisya mendekatinya dan menyalaminya dengan penuh takzim, mencium punggung tangan Kyai dan Bu Nyai, layaknya seorang anak dengan ayahnya sendiri.
"Assalamualaikum, Bah, njih niki Isha, Abah mboten ngimpi," (Iya, ini Isha, Abah tidak bermimpi) jawab Haisya, matanya berkaca-kaca.
"Ya, mengajinya cukup sampai sini dulu ya, besok kita lanjutkan lagi," ucap Kiai kepada para santrinya, disusul doa kafaratul majelis, dan para santri pun meninggalkan tempat itu, memberi ruang bagi Haisya dan gurunya.
Haisya menginap selama tiga hari di pondok itu. Selama tiga hari pula ia bercerita banyak hal dengan Kyai dan Bu Nyai, mengenang masa lalu dan berbagi pengalaman. Ia menceritakan pengalaman-pengalaman baru yang telah ia dapatkan selama tinggal di negeri Firaun, tentang studi, teman, dan segala pelajaran hidup. Seperti keluarganya, Kyai dan istrinya juga sangat bangga kepada Haisya, melihatnya tumbuh menjadi wanita berilmu.
Namun, sayang sekali, Haisya tidak bisa berlama-lama lagi bersama mereka. Setelah tiga hari yang berharga, ia harus pamit karena ia harus menyiapkan keperluannya yang akan ia bawa ke London, untuk melanjutkan studi.
"Saya pamit, Bah, Mi," ucap Haisya, suaranya sedikit berat.
"Hati-hati ya, nduk," Bu Nyai mencium kening Haisya dengan penuh kasih sayang, melepasnya dengan berat hati.
Haisya pulang menuju kampungnya dengan menaiki bus antar kota. Di dalam bus, gelang batu atau yang biasa disebut oleh umat Muslim sebagai tasbih itu terus ia putar di jemarinya, bibirnya komat-kamit seperti sedang membaca mantra, namun sebenarnya ia terus berzikir dan selalu mengingat nama Allah SWT. Zikir adalah penenang jiwanya.
***
Beberapa jam kemudian, Haisya turun di kompleks Dusun Kedung Waru, kampung halamannya. Ia melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Letak rumahnya tidak jauh lagi, dan ia mempercepat langkahnya karena matahari semakin terik dan mulai membakar kulitnya yang putih.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Suara Hasnan terdengar dari seberang. "Halo, Mas Hasnan! Lagi di luar, kan? Tolong pulangnya bawain martabak manis kesukaanku ya!" Haisya berseru tanpa basa-basi, tahu betul kebiasaan Hasnan.
"Mana uangnya?" Hasnan langsung bertanya, pura-pura pelit.
"Yaelah sama sepupu sendiri pelit amat, pakai uangnya Mas lah hehehe... katanya baik..." Haisya tertawa kecil, menggoda Hasnan.
"Capek deh, nih anak ya kebiasaan banget. Untung saudara kalau bukan sudah aku jitak nih," Hasnan menggerutu di ujung telepon, namun ada senyum di bibirnya. Ia menutup telepon.
DI ALUN-ALUN CILACAP, PADA SAAT YANG SAMA.
Hasnan muter-muter alun-alun kota Cilacap untuk mencarikan pesanan adik sepupunya itu. Keramaian kota siang itu membuatnya sedikit kesulitan. Tak sengaja, saat ia melintas di dekat sebuah toko buku, ia melihat sosok gadis yang sepertinya tidak asing baginya, sedang berdiri mematung. Ia mendekatinya perlahan dan menepuk pundak gadis itu dari arah belakang. Gadis itu pun menoleh, terkejut.
"Amanda, kan?" tanya Hasnan, memastikan.
"Iya, Kak," jawab Amanda, adik Ridwan, suaranya sedikit gugup.
"Kok kamu ada di Cilacap? Bukannya keluargamu sudah pindah ke Madura ya?" Hasnan mengerutkan kening, bingung.
"Emm, ceritanya panjang, Kak," Amanda tergagap, sorot matanya menunjukkan kegelisahan.
"Terus bagaimana kabar keluargamu?" Hasnan bertanya lagi, mulai merasakan ada yang aneh.
"Alhamdulillah baik, Kak," jawab Amanda, menunduk.
"Oh ya, Ridwan ikut ke Cilacap enggak?" Hasnan akhirnya menanyakan hal yang paling ingin ia ketahui.
Mendengar nama Ridwan, Amanda semakin gugup. "Kak Ridwan... emm... i... ik... ikut kok." Suaranya hampir tak terdengar, gemetar.
"Ada apa dengan Ridwan? Kenapa kamu jadi gugup gitu?" Hasnan langsung menyadari keganjilan ini.
"Enggak apa-apa kok, ya sudah aku pergi dulu ya, Kak," Amanda beralasan, berusaha mengakhiri percakapan.
"Eeh, tunggu dulu, Nda... aku belum selesai bicara," Hasnan mencoba menahan, namun Amanda sudah berbalik.
Amanda berlari meninggalkan Hasnan begitu saja, menghilang di keramaian alun-alun. Ia tak ingin Hasnan mengetahui keadaan kakaknya yang sebenarnya, keadaan yang sangat memilukan.
"Ada apa dengannya? Apa ada yang sedang ia sembunyikan dariku? Oke, aku harus mencari tahunya." Hasnan segera membeli martabak manis pesanannya dan pergi, pikirannya dipenuhi tanda tanya.
Sepanjang perjalanan pulang, ia masih juga memikirkan kejadian tadi. Ada banyak kejanggalan di sini. Pertama, Ridwan bilang akan segera ke Cilacap untuk mengkhitbah Haisya. Yang kedua, Ridwan sampai saat ini tidak memberikan kabar kepadanya, bahkan dihubungi juga tidak bisa. Dan sekarang ia tadi bertemu Amanda adiknya Ridwan, ia bilang Ridwan sudah ada di Cilacap. Tapi kenapa ia belum juga ke rumah Om Rohman? Sudah gitu Amanda seperti sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Hasnan mempercepat laju motornya, rasa penasaran dan khawatir bercampur aduk. Ia harus segera mencari tahu kebenarannya.