Mimpi bukan selesai saat sudah meraihnya, tapi saat maut telah menjemput. Aku tidak meninggalkan teman ataupun orang yang ku sayang begitu saja, melainkan mencetak sebuah kenangan terlebih dahulu. Walaupun akan meninggalkan bekas di situ.
Maaf jika aku pergi, tapi terimakasih atas semua kenangan yang kita cetak bersama. Suara tawamu akan selalu bergema, dan senyumanmu akan selalu menjadi canduku. Rela itu tidak semudah sebuah kata saja. Tapi hati yang benar-benar tulus untuk melepaskannya.
Mengikhlaskan? Harus benar-benar melepaskannya dengan merelakannya setulus mungkin.
Seperti biji-biji dandelion yang berhamburan tertiup angin, setelah usai di suatu tempat. Mereka akan kembali tumbuh di berbagai tempat. Entah kita akan dipertemukan kembali atau tidak, setidaknya aku pernah berbahagia karena dirimu.
Ada sebuah kata-kata yang bertuliskan "Di setiap pertemuan pasti ada perpisahan," tapi dengan perpisahan bukan berarti aku dapat melupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elok Dwi Anjani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CSSP?
..."Aku mengorbankan waktuku untuk dirimu. Walaupun tidak ada gunanya juga memikirkan orang lain yang tidak memikirkan kita"...
...•...
...•...
Suasana malam yang tenang, kebersamaan yang diidam-idamkan, dan kebahagiaan terbalut kehangatan serta mengharukan. Sudah lama mereka tidak mengumpul seperti ini. Suara petikan Darren yang menemani keheningan dan mereka yang diam tapi meramaikan suasana dengan kehadirannya.
Ini yang Kezia, Adara dan Zea inginkan, bukan suasana malam yang tenang dengan menyendiri. Tapi bersama-sama dengan ketenangan. Bintang sang penghias langit menjadi aksesoris air di permukaan lautan yang memantulkan. Suara gemuruh ombak yang membentur dan gelombang air tenang. Bulan utuh itu sangat mencolok di atas sana, bahkan terlihat dari pantulan air laut.
Semilir angin terasa dingin karena hari telah malam. Ingin sekali mereka tetap berada di sini dengan kebersamaan dan kehangatan ini. Tapi mustahil, karena mereka harus berpisah dan kembali ke tempat masing-masing.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh, tapi mereka sudah sangat nyaman seperti ini. Di sisi lain, Arsa dan Arden sudah terlelap di atas karpet dengan tidur terlentang. Kezia menyandarkan kepalanya di bahu Sean dan merasakan aroma wangi parfum laki-laki tersebut.
Walaupun terasa berat, Sean justru menyunggingkan senyumannya yang membuat lesung pipi itu muncul. Sheila di sebelah kanannya dan Kezia di sebelah kirinya, keduanya saling menyandarkan kepala. Sosok laki-laki seperti Sean menggantikan Ezra yang telah tiada, walaupun tidak selalu ada di sisinya. Tapi Sean selalu ada untuk tempat mengutarakan isi kepala Kezia.
Ezra dan Sean seolah-olah memiliki ikatan yang sangat kuat. Janjinya permintaan keduanya dengan Zea juga ia lakukan untuk menjaga gadis yang ia sayangi, yaitu Kezia. Sheila bahkan bersyukur karena menyukai laki-laki yang memiliki jiwa-jiwa hangat dan perhatian seperti Sean. Ia juga sedikit iri dengan Arsa yang serumah, padahal itu adiknya Sean.
Sementara itu, Darren sedikit cemburu karena Kezia menyandarkan kepalanya di bahu Sean, bukan bahunya. Padahal ia berada di samping Kezia, tapi justru gadis itu bersandar pada laki-laki yang lain. Adara dan Ara hanya tersenyum sejak tadi. Mereka menikmati semilir angin dan keindahan laut malam yang menyenangkan.
Naufal tidak pernah ketinggalan dengan kameranya. Ia malah memotret indahnya laut dan langit di atas sana. Tidak lupa, ia juga memotret teman-temannya dan kedua bocah yang sedang tidur di atas karpet itu. Naufal menyunggingkan senyumnya saat dapat menangkap gambar Zea tersenyum dengan menutup matanya. Cantik memang.
"Fotoin kita juga, Fal!" pinta Arzan yang bersiap-siap dengan ide posenya dan juga Garrel di sebelahnya.
Naufal memotret kedua temannya dan menunjukkan hasil pengambilan gambar itu. Arzan mengacungkan jempolnya saat melihat gambar tersebut. "Elo emang yang paling jago ginian!"
Sebuah senyuman terbit saat itu juga. Naufal menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan mulai memotret lagi. Sheila, Sean dan Kezia juga tidak mau kalah. Justru mereka yang terus-terusan meminta Naufal untuk memotretnya. Bahkan, Adara dan Ara juga sama halnya. Ide-ide berpose mereka seakan-akan tiada habisnya, pasti ada-ada saja idenya.
"Fotoin gua sama Kezia, bang!" Kali ini Darren yang memintanya. Ia menarik bahu Kezia dan langsung tersenyum ke arah kamera.
Sebelum Kezia memberontak, Naufal langsung memotretnya. Darren tersenyum senang dan melihat hasil foto tersebut, ia tidak menggubris tatapan kesal dari Kezia di sana. "Sekali-kali."
"Sekali-kali apaan? Foto aib lo banyak di hp gua," balas Kezia.
"Nggak apa-apa, calon pacar gua harus simpen banyak-banyak foto pacarnya."
"Cieee..." Yah! Mulai lagi godaan dari Adara dan Ara.
Sean terkekeh melihatnya. Sementara itu, Zea diam dengan pikirannya sendiri menatap luasnya laut dan bentangan langit yang luas pula. Ia jadi mengingat Ezra yang dulu selalu bersamanya di gazebo rumah untuk menatap langit. Tapi laki-laki itu telah tiada dengan kehangatannya.
Tidak kalah dengan Ezra, sosok Nathan juga terlintas di benaknya. Laki-laki yang baru saja ia temui setelah sekian lama dan merasakan pelukan hangatnya juga telah tiada. Pria yang selalu perhatian dan tersenyum ke arahnya saat pagi hari juga telah tiada, sosok Zayan yang pernah menggantikan posisi ayahnya di hatinya.
Kini, hanya kenangan yang telah tertinggal. Sementara kehangatan dan senyuman mereka ikut tertimbun tanah.
"Kenapa bengong?" tanya Garrel
Zea menggeleng. "Nggak ada."
...••••...
Malam yang seharusnya dihabiskan untuk bersenang-senang dan menghabiskan waktunya seperti remaja-remaja seusianya di luar sana hanyalah bualan. Arlan justru berkutik dengan laptopnya untuk belajar dan buku catatannya di samping laptop tersebut. Ia tidak sendiri, Variel juga menemaninya di atas kasur sedang membaca buku.
Bocah itu juga ingin keluar dan bersenang-senang. Ia bosan dengan bahasa-bahasa baku yang ia baca setiap hari hanya karena sebuah tekanan itu. Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur dan menatap atap kamar abangnya dengan nanar.
"Pengen takoyaki yang baru jualan di taman. Katanya rasanya itu enak banget, apalagi kalau dimakan pas lagi hangat-hangatnya," kata Variel.
Arlan memutar kursinya menatap adik kecilnya. "Jam segini udah tutup, Riel."
"Kalau sore juga nggak akan boleh keluar."
Lagi-lagi Arlan terhenti untuk membalas ucapan Variel. Kata-kata yang selalu adiknya lontarkan selalu membuatnya mati kutu tidak bisa menjawab sangking benarnya.
"Besok pulang sekolah Abang beliin." Benar saja, Variel langsung mengembangkan senyumannya dan menegakkan tubuhnya menatap Arlan dengan gembira.
"Beneran?" Arlan mengangguk.
Variel berseru gembira dan loncat-loncat di atas kasur yang menimbulkan sedikit suara decitan. "Beneran, ya? Bener-bener beneran, ya?"
Arlan hanya tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya. Ia jadi ikut merasakan kegembiraan adiknya yang sangat ingin memakan takoyaki.
...••••...
CSSP.
Sebuah ukiran kayu di atas penutup kotak yang Zevan bawa dari gudang. Ia sudah lama tidak melihat singkatan itu. Singkatan itu berasal dari nama Cassiopeia yang digunakan teman-temannya untuk menamai gengnya yang terdahulu. Nama itu seakan-akan telah lenyap dan tidak pernah menampakkan diri. Bahkan, orang-orang yang dulunya senang dengan kedatangan CSSP sudah mendadak lupa apa itu geng CSSP yang dibuat oleh Nathan dan Zevan di masa lalu.
Zevan membersihkan debu-debu yang menempel di kotak tersebut dengan kain dengan mulutnya yang terus meniup-niup debu di bagian kotak kayu tersebut. Ia membuka kotak tersebut dan mengembangkan senyumannya, foto-foto masa SMP-nya dengan Nathan banyak sekali di dalamnya. Tidak hanya dirinya dan Nathan, tapi 5 anggota lainnya juga banyak di sana.
Sebuah senyuman yang tulus dengan bocah-bocah desa yang mereka ajak bermain dulunya saat sedang memberikan bantuan kepada warga yang tidak mampu di desa tersebut. Lino tampak bahagia dengan seorang bocah yang menaikinya di punggung dengan memegangi rambutnya, lebih persis ke menjambak rambut sebenarnya jika dilihat-lihat.
Apa ini? Linda sedang menyuapkan makanan kepada seorang lansia yang lumpuh dan berumur yang sudah tidak dapat bergerak karena kondisi tubuhnya yang sudah tidak bisa digerakkan karena sebuah penyakit. Di CSSP hanya Linda dan Yora saja yang perempuan, selainnya hanya 7 laki-laki yang mendominasi. Mengapa demikian? Karena kedua gadis tersebut bergabung, memang geng tersebut hanya terdapat anggota laki-laki sahaja. Tapi semenjak mereka bergabung, geng ini menjadi bercampur.
Terkadang, Retha juga ikutan saat sedang melakukan penyantunan kepada yang membutuhkan. Bahkan, Retha biasanya juga hanya ikut-ikutan saja karena bosan di rumah.
Zevan mengambil sebuah bet logo CSSP yang telah tidak pernah dipakai, bahkan dilihat orang-orang. Walaupun di usianya yang sangat muda, geng ini selalu memberikan pencerahan dan memiliki inisiatif sendiri untuk selalu membantu orang-orang yang kurang mampu dalam menjalani kehidupan.
"Kangen?" tanya Retha yang tiba-tiba ada di sampingnya.
"Banget," jawab Zevan menatap bet CSSP tersebut.
Nathan yang dulunya selalu menghidupkan kegiatan dan selalu membuat sebuah jadwal bulanan untuk anggotanya. Sekarang telah tiada dan hanya Zevan yang sebagai perwakilan. Ia menatap nanar bet tersebut. Apa ia harus menghidupkan kembali Cassiopeia ini?
Anggota CSSP ini sering dijuluki Zevan dengan nama Caspe. Bukankah itu nama makanan? Entahlah, Zevan selalu mengada-ada saat memberikan julukan.
"Kenapa nggak kayak dulu lagi?" tanya Retha lagi.
"Karena pemimpin udah nggak ada."
"Hidupin lagi, dong! Kan, ada wakilnya. Masa karena pemimpinnya udah nggak ada mau berhenti gitu aja?"
Ucapan Retha ada benarnya. Zevan mengambil bet tersebut dan menutup kembali kotak kenangan itu. Ia menatap dirinya di depan kaca dengan jaket kulit hitam milik CSSP yang telah usang. Bahkan logonya saja sudah samar-samar. Zevan menempelkan bet itu di bagian logo yang mulai memudar dengan jarum pentul dan tersenyum ke arah cermin.
Walaupun telah hilang dari pikiran orang-orang, CSSP akan selalu ada di dadanya. Retha tersenyum dengan mengacungkan jempolnya. "Ganteng banget kalau kayak gini wakil Caspe."
Zevan terkekeh dan mengenakan resleting tersebut. Tiba-tiba tawa Retha pecah karena resleting itu tiba-tiba lepas, alias rusak. Zevan pun hanya menatap resleting tersebut dan menggubrisnya. Hanya karena bajunya saja yang rusak tidak membuatnya kendor untuk terus tersenyum menatap dirinya dengan jaket yang pernah menjadi kebanggaan bagi orang-orang yang menyukainya.
"Nggak apa-apa, yang penting bukan Caspe-nya yang rusak," ujar Retha.
Zevan mengangguk. Setelah melihat pantulan dirinya dengan jaket kulit CSSP, ia jadi ingin menghidupkan kembali geng ini untuk kembali kepada orang-orang di luar sana yang membutuhkan. Mereka tidak membutuhkan imbalan, selain senyuman tulus dan kegembiraan yang mereka bantu.
Hanya sebuah senyuman saja mampu membuat rasa lelah mereka terbayarkan. CSSP tidak menginginkan sebuah barang atau benda, melainkan hanya senyuman tulus yang selalu pemimpin mereka perlihatkan. Senyuman yang indah dari sosok laki-laki bertubuh tegap yang memiliki nama Nathan, Nathaniel Arsenio itu telah kembali kepada sang pencipta karena melindungi orang yang ia sayangi.
"Gimana?"
Zevan melirik adiknya sebentar dan kembali menyunggingkan senyuman menatap pantulan dirinya. "Ya, gitu."
...••••...
...TBC. ...