“ARRRGGGHHH! PANAAS! SAAKIIITT!”
Sekar Arum tak pernah membayangkan, setelah dipaksa menjadi gundik demi melunasi hutang orang tuanya, ia justru mengalami siksaan mengerikan dari para perempuan yang iri dan haus kuasa.
Namun, di saat dirinya berada di ambang hidup dan mati, sosok gaib mendekatinya—seorang sinden dari masa lalu yang menyimpan dendam serupa.
Arum akhirnya kembali dan menggemparkan semua orang-orang yang pernah menyakitinya. Ia kembali dengan membawa semua dendam untuk dibalas hingga tuntas.
Namun, mampukah Sekar Arum menumbangkan musuhnya yang memiliki kuasa?
Atau justru ia akan kembali terjerat dalam luka dan nestapa yang lebih dalam dari sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DG 18
Tubuh Pima terkulai lemas di tiang kayu, lehernya masih terlilit cambuk berlumur darah. Nafas terakhirnya telah lepas dalam jeritan yang tak sempat selesai.
Sri menjerit pilu menyaksikan sahabat sekaligus sekutunya menghembuskan napas terakhir dengan mata membelalak dan mulut ternganga. Tangisnya pecah. Tubuhnya gemetar hebat.
“Jangan! Kumohon ... jangan aku ... a-aku hanya ikut-ikutan. Itu semua atas suruhan Nyai!” Teriak Sri parau ketika Larasmi menatapnya dengan sorot mata yang memancarkan dendam terpendam bertahun-tahun.
Langkah Arum mendekat, menggema di lantai kayu tua. Suara cambuk diseret menyapu tanah yang basah oleh darah yang mengalir seperti air.
“Lucu,” ucapnya dengan suara berat. “Saat berita kehamilan ku membuat Juragan senang dan berujung membawaku jalan-jalan keliling kota—kalian begitu murka. Sepulangnya aku dari luar kota, kau dan Pima menelanjangiku, menyiram ku dengan air lubang jamban, mencaci makiku seperti binatang—sekarang ... kau merengek meminta ampun seakan tak memiliki dosa?!”
Sri menggeleng keras, menangis sesenggukan. “Aku takut, aku ... aku tidak tau harus apa, Laras. Aku—”
“Dan sekarang kau pun akan tau,” potong Larasmi datar. “Rasa takut itu ... sama menyiksanya dengan luka yang kalian beri.”
Secepat kilat, Larasmi kembali melingkarkan cambuk—kali ini di leher Sri.
Wajah Sri memucat. “Tunggu! A-aaku—”
Dengan satu gerakan cepat, Larasmi menarik cambuk itu sekuat tenaga—membuat Sri tak mampu menyelesaikan ucapannya. Tubuh Sri langsung tersentak, kakinya menendang-nendang lantai berdebu, namun sia-sia.
Beberapa detik kemudian, Sri pun diam. Matanya mendelik lebar, kepalanya terkulai miring bersandar di bahu.
Larasmi menatap tubuh yang tak bernyawa dengan senyum dingin di wajahnya, lalu berbalik badan perlahan—menatap ke arah pintu gudang yang setengah terbuka.
Dari celah itu, terpancar cahaya senja yang muram. Di baliknya, berdiri Wagiman—diam, seperti patung. Ia memang diperintahkan menjaga di luar, tanpa izin untuk masuk.
“Masuklah, Wagiman.” Panggil Larasmi yang perlahan berubah wujud—kembali menjadi Arum.
Wagiman sesaat tersentak, lalu ia pun masuk ke dalam gudang beraroma debu dan darah. Matanya membelalak melihat pemandangan di hadapannya, dua gundik rumah besar—mati dalam keadaan mengenaskan. Namun, Wagiman memilih abai dengan apa yang baru saja ia lihat—seolah itu adalah pemandangan yang sudah biasa ia lihat.
“Ada yang Anda perlukan, Nona?” tanya Wagiman dengan lutut yang nyaris goyah.
“Bawa jasad mereka ke dalam hutan. Pastikan tak seorang pun menemukannya. Biarkan anjing-anjing hutan dan binatang buas menyelesaikan sisanya.”
Sejenak, Wagiman terpaku di tempat. Namun beberapa detik kemudian, ia mengangguk cepat—matanya tak berani menatap wajah Arum.
“Baik, Nona. Akan saya urus malam ini juga,” jawabnya.
Tanpa berkata lagi, Arum berbalik meninggalkan gudang. Gaun putihnya bergoyang lembut tertiup angin sore. Di belakangnya, Wagiman masih berdiri dengan tubuh kaku, menatap dua mayat yang kini menjadi bagian dari sejarah kelam rumah besar Juragan Karta.
...****************...
Senja itu, udara panas dari tungku dapur membuat keringat mengucur dari dahi. Beberapa pelayan berlalu-lalang membawa bahan makanan, sementara suara sendok kayu beradu dengan wajan menggema pelan. Di sudut dapur, Yuyun, salah satu gundik yang jarang bicara, tampak datang tergopoh-gopoh, napasnya tersengal. Wajahnya pucat pasi.
“Sari! Sari!” serunya panik, menarik tangan salah satu gundik lain yang tengah mengulek sambal.
Sari menoleh cepat, heran dengan ekspresi sekutunya yang terlihat ketakutan setengah mati.
“Kenapa, Yun? Kau kelihatan seperti habis dikejar setan!” Gumam Sari datar, masih mengulek.
“Aku habis dari gudang tua. Aku penasaran sama hukuman yang Pima dan Sri dapatkan dari Si Lont* itu. Jadi, aku coba ngintip dari lubang gudang reyot itu. Kau tau apa yang aku lihat, Sar?” Suara Yuyun tercekat. Ia menarik napas panjang. “Pima dan Sri ... mereka MATI, Sar!”
Sari sontak berhenti mengulek. “Ha?! Mati?”
“Iya! Mati! Dicekik pakai tali cambuk!” Yuyun menggenggam tangan Sari erat-erat. “Dan ada satu hal lagi, Sar. Yang melakukan perbuatan keji itu bukan Arum—”
“Lalu siapa? Wagiman?” ekspresi wajah Sari bercampur takut dan juga penasaran.
Yuyun menggeleng cepat. “LARASMI. Gundik istimewa Juragan—yang sepuluh tahun silam pernah kita siksa di gudang tua itu.”
Sari menyeringai kecil, lalu menghempaskan genggaman tangan Yuyun. “Ah, ngawur, jangan bohong. Kau halusinasi kali, Yun!”
“Sumpah, Sar! Inyong ora bohong! Aku ngeliat pakai mata kepala ku sendiri! Wajahnya Arum berubah—menjelma menjadi Larasmi! Bahkan dia bilang sendiri, kalau dia lah Larasmi yang akan menjemput ajal mereka!”
Sari menelan ludah. Ia mulai gelisah. “Ah, yang benar kau, Yun?! Jangan main-main!”
“Sumpah, rela aku disambar geledek! Itu beneran Larasmi, Sar!” Tubuh Yuyun mulai gemetar.
“Sstt! Sudah! Jangan disebut-sebut lagi nama keramat itu. Lagian nggak mungkin lah, Mbah Sosro kan sudah menyegel arwahnya dulu!”
Yuyun memeluk dirinya sendiri, tubuhnya gemetar. “Ya ampun, Sar. Aku nggak ngarang. Aku ngeliat mereka dicekik sampai tewas. Aku dengar suara tawanya. Itu bukan suara Arum. Sar—secepatnya kita harus ngadu sama Nyai. Kita harus kasih tau!”
Sari menatap Yuyun dalam diam. Ada rasa takut dalam matanya, tapi ia belum sepenuhnya percaya. Namun satu hal yang sudah jelas—bibit teror kini sudah tumbuh di antara mereka.
*
*
*
ku rasa bokor itu masih di dasae danau deh
atau tusuk konde ya udah nggak ada di dalam bokor lagi...???
ehh kan si juanidin yg kena tusuk keris
klo sate tusuk daging kambing mah nyosss yaa kann 🤣🤣🤣