"Perjodohan memang terlihat begitu kuno, tapi bagiku itu adalah jalan yang akan mengantarkan sebuah hubungan kepada ikatan pernikahan," ~Alya Syafira.
Perbedaaan usia tidak membuat Alya menolak untuk menerima perjodohan antara dirinya dengan salah satu anak kembar dari sepupu umminya.
Raihan adalah laki-laki tampan dan mapan, sehingga tidak memupuk kemungkinan untuk Alya menerima perjodohannya itu. Terlebih lagi, ia telah mencintai laki-laki itu semenjak tahu akan di jodohkan dengan Raihan.
Namun, siapa sangka Rayan adik dari Raihan, diam-diam juga menaruh rasa kepada Alya yang akan menjadi kakak iparnya dalam waktu dekat ini.
Bagaimana jadinya, jika Raihan kembali dari perguruan tingginya di Spanyol, dan datang untuk memenuhi janjinya menikahi Alya? Dan apa yang terjadi kepada Rayan nantinya, jika melihat wanita yang di cintainya itu menikah dengan abangnya sendiri? Yuk ikuti kisah selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lina Handayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 : Selalu Salah
..."Bukan tidak bisa menahan luka, tapi rasanya begitu sakit jika di biarkan saja. Semua yang menyakitkan memang sudah sepantasnya mendapatkan perlawanan."...
...~~~...
Raihan seakan tidak perduli dengan rasa sakit dan ringisan dari sang istri. Ia malah semakin sengaja mengungkapkan kekesalannya, dengan mengobati luka Alya cukup kasar, sehingga membuat sang istri begitu tersiksa dalam rasa sakitnya.
"Mas udah! Jika Mas tidak ikhlas untuk mengobati Alya, biar Alya saja yang obatin sendiri. Aaaww!" ucap Alya karena tidak kuat lagi merasakan sakit begitu Raihan menekan luka memarnya.
"Udah diam saja! Tanggung sedikit lagi," jawab Raihan dengan nada yang ketus.
"Aaaaw! Sakit banget Mas! Udah jangan di tekan-tekan kayak gitu luka memarnya," seru Alya dengan berkata jujur.
"Tahan saja sebentar, ini juga hampir selesai," balas Raihan yang tidak menghiraukan ucapan dari Alya.
"Udah Mas! Ini sakit banget. Aaaaww!" rintis Alya sembari memejamkan kedua matanya, karena semakin ke sini rasanya semakin sakit saja.
"Udah selesai. Lagian, kamu ceroboh banget sih, sayang? Bisa-bisanya sampai terpeleset kayak gitu," kata Raihan begitu ia telah selesai mengobati luka di kaki Alya.
Alya masih terdiam dengan merintis kesaktian, karena kakinya sekarang terasa semakin sakit setelah di obati oleh Raihan. Bukannya mereda, ini malah semakin sakit saja.
Secara tiba-tiba, Raihan memangku tubuh Alya, dan membawanya untuk kembali ke kamar mereka berdua, sembari mendengarkan penjelasan dari Alya.
"A--aku habis ambil air ke dapur, Mas. Teko yang di kamar sudah kosong jadi aku berniat untuk mengisinya lagi, tapi airnya tumpah jadi Alya bersihin, tapi malah jadi terpeleset karena lantainya masih licin," jelas Alya dengan menahan rasa takut dan sakit akan Raihan yang marah nantinya.
"Ya itu salah kamu sendiri, sayang! Makanya kalau ngepel lantai itu yang bener! Biar enggak terpeleset kayak sekarang ini. Pastikan harus bersih dulu dan enggak licin, sehingga tidak sampai mencelakakan orang lain dan kami sendiri," balas Raihan dengan mendudukkan Alya di kasur.
"Ya kan, Alya enggak tahu Mas. Belum biasa lakuin pekerjaan rumah," sahut Alya dengan melakukannya pembelaan.
"Ya makanya belajar! Mas kan sudah bilang jadi istri itu harus serba bisa, jangan serba enggak bisa! Kamu ini, ngepel saja enggak becus! Padahal itu hal yang gampang," ucap Raihan dengan terus memojokkan sang istri.
"Cukup, jangan terus salahin Alya, Mas!" tegas Alya dengan kedua mata yang berkaca-kaca dan air mata yang sudah membahasi kedua pipinya sedari tadi.
Sontak Raihan terkejut dengan ucapan sang istri yang berani meninggikan suara di depannya, sehingga membuat kedua matanya menatap tajam kepada Alya.
"Memang kamu itu salah, sayang! Mas bilang kayak gini itu untuk kasih tahu kamu, kamu seharusnya dengerin dengan baik bukan malah marah-marah kayak gini kepada suami," sahut Raihan dengan kesal kepada Alya yang tidak menanggapi ucapannya dengan benar.
"Terus saja, Mas salahin aku terus. Dan Mas yang selalu bener, sedangkan aku selalu salah di matamu, Mas!" ucap Alya dengan amarah yang memuncak, karena tidak bisa menahannya lagi.
"Ya jelas, karena kamu salah. Mas wajib salahin kamu dan kamu pun tidak akan bisa mengelak karena kamu salah," jawab Raihan tidak melihat Alya yang sudah lelah dengan tuduhannya itu.
"Mas egois! Mas hanya mau bener saja, sedangkan Alya yang selalu di salahkan. Alya juga ngepel tadi belajar untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, tapi apa yang Mas lakukan? Menyalahkan semua yang terjadi kepadaku, aku harus bagaimana Mas? Di sini aku hanya serba salah," ucap Alya dengan menahan sesak di dadanya.
Deg.
Raihan tertegun dengan ucapan sang istri yang cukup menohok. Dan di hadapannya sekarang, terlihat wajah cantik Alya yang sudah berlinang air mata.
"Hiks! Mau Mas apa, hah? Marahi terus Alya ...," lirih wanita itu dengan mengungkapkan semua kata yang sebelumnya tidak bisa di ungkapkan.
"Maaf sayang, maafkan Mas. Mas hilang kendali," ucap Raihan dengan langsung memeluk tubuh Alya yang terisak.
"Hiks! Kalau Alya ada salah sama Mas, bicarakan baik-baik. Jangan kayak gini Mas," tutur Alya dengan masih terisak dan bahu bergetar.
"Iya maaf, sayang. Mas tidak bermaksud untuk buat kamu menangis, Mas hanya ingin kamu tahu, dan memberikan pengertian," ujar Raihan sembari mengusap punggung Alya yang sudah bergetar.
"Hiks!" Hanya suara isak tangis Alya saja yang terdengar, sedangkan wanita itu tidak sama sekali bergeming di pelukan Raihan.
"Sudah jangan menangis! Kamu cengeng tahu kalau sudah kayak gini," seru Raihan berniat untuk menenangkannya.
Bukanya diam, Alya malah semakin kejer menangis. Ucapan sang suami memang begitu menyakitkan, walupun hanya sekedar candaan.
Dan di balik pintu kamar yang masih terbuka, terlihat seorang laki-laki yang ternyata mendenger obrolan pasangan suami istri itu di dalam.
"Bang Raihan terlalu menekan Alya. Sampai dia menangis kayak gitu masih saja ucapan menyakitkan keluar dari mulutnya," ucap Rayan di dalam hatinya sembari menatap sendu kepada Alya.
Namun, begitu Alya membaringkan tubuhnya di atas kasur, dengan Raihan yang hendak berjalan menutup pintu kamarnya. Dengan segara, Rayan pergi dari depan pintu, lalu masuk ke dalam kamarnya.
Dengan menutup pintu kamar, Rayan sedetik termenung di balkon kamar yang langsung terlihat pemandangan pinggir halaman rumah yang luas, dengan di temani oleh angin malam, dan pemandangan pepohonan yang indah.
"Entah kenapa, aku merasa tidak tenang membiarkan Alya dengan Bang Raihan. Padahal dia itu Abangku sendiri, tapi enggak tahu kenapa, rasanya aku belum bisa merasakan kelegaan melihatnya bahagia bersama pilihannya itu. Apa mungkin ini karena aku masih memiliki rasa kepada Alya, atau karena memang aku belum ikhlas melepasnya bersama Bang Raihan?" gumam Rayan yang tengah dilema dengan perasaanya sendiri.
***
Sampai matahari menerpa masuk ke dalam jendela kamar, Rayan tidak sama sekali tidur. Niat untuk beristirahat, ia malah tidak sempat tidur, karena ia tidak bisa tidur selamalaman ini. Bahkan, setelah salat subuh di masjid terdekat, Rayan masih saja tidak bisa memejamkan matanya, meskipun sudah berada di atas tempat tidur.
"Sudah pukul tujuh pagi, aku belum sama sekali tidur. Dan hari ini aku harus ke Studio Foto, karena ada pemotretan nanti jam sepuluh. Lelah rasanya tubuh ih pegal-pegal, karena tidak bisa tidur semalaman, malah teringat perlakuan Bang Raihan kepada Alya," ucap Rayan dengan menatap jam yang ada di ponselnya, sembari duduk di atas tempat tidur.
Tok! Tok!
"Rayan, udah pagi nih. Ayo kita sarapan dulu di bawah sama-sama," ucap Bunda Zahra sembari mengetuk pintu kamar sang putra, karena belum turun lagi setelah dari masjid.
"Iya Bun, nanti Rayan nyusul," sahut Rayan dari dalam dengan beranjak dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi.
.
.
.