Casanova seorang gadis cantik. Namun sayang sekali dengan parasnya yang cantik ia memiliki kekurangan. Kedua matanya buta. Meski ia buta ia merupakan kembang desa. Karena kecantikannya yang luar biasa. Walaupun ia buta ia memiliki kepandaian mengaji. Dan ia pun memiliki cita cita ingin menjadi seorang Ustadzah. Namun sayang...cita cita itu hanya sebatas mimpi dimana malam itu semuanya telah menjadi neraka. Saat hujan turun lebat, Casanova pulang dari masjid dan ditengah perjalanan ia dihadang beberapa pemuda. Dan hujan menjadi saksi. Ia diperkosa secara bergantian setelah itu ia dicampakan layaknya binatang. Karena Casanova buta para pemuda ini berfikir ia tidak akan bisa mengenali maka mereka membiarkan ia hidup. Namun disinilah awal dendam itu dimulai. Karena sifat bejad mereka, mereka telah membangkitkan sesuatu yang telah lama hilang didesa itu.
"Mata dibayar mata. Nyawa dibayar nyawa. Karena kalian keluarga ku mati. Maka keluarga kalian juga harus mati.
Yuk...ikuti kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wida_Ast Jcy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18 HILANG NYA KAYANO
Hujan deras mengguyur malam itu tanpa ampun, menambah dingin dan ketegangan yang menyelimuti rumah kecil Bu Rahmi. Angin bertiup kencang, membuat ranting-ranting pohon di luar jendela berderit nyaring, seperti jeritan yang tertahan di kegelapan malam.
Casanova terbangun dengan napas memburu, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Jantungnya berdegup cepat, mengguncang dadanya seolah ingin meloncat keluar. Tubuhnya gemetar hebat. Mimpi buruk barusan begitu nyata bayangan malam kelam itu kembali hadir, membelenggu pikirannya.
Ia meringkuk dalam selimut, memeluk tubuh sendiri, menangis terisak seiring gelegar petir yang menggetarkan langit. Ketakutan itu belum mau pergi. Kilatan cahaya dan gemuruh guntur membawanya kembali ke malam penuh luka, malam di mana hidupnya berubah menjadi mimpi buruk.
Malam di mana ia menjadi korban… malam yang membuatnya trauma hingga hari ini. Tangisnya perlahan mereda. Setelah beberapa saat, tubuhnya yang lelah mulai tenang. Casanova mencoba memejamkan mata kembali.
Meskipun ia tak bisa melihat dunia, namun ia masih bisa merasakan waktu dan malam yang belum berakhir. Namun, tepat saat ia hendak terlelap kembali, terdengar suara ibunya menerobos keheningan malam.
“Kayano? No, kamu di mana Nak?” teriak sang ibu.
Suara Bu Rahmi terdengar panik, nyaris putus asa. Casanova yang tak mampu melihat hanya bisa mengandalkan indera lainnya. Dan saat ini, ia merasakan aura tegang yang menyelimuti rumah. Suasana berubah. Ketegangan menggantung di udara.
Ke mana Kayano? Mengapa di tengah hujan deras dan malam kelam begini, adiknya tak berada di rumah?
"Ceklekk.
Pintu kamar terbuka perlahan. Bu Rahmi masuk dengan wajah cemas, lalu duduk di tepi ranjang Casanova.
"Casanova, maafkan ibu, Nak. Ibu tidak bermaksud membangunkanmu. Tadi ibu panik... teriak-teriak sendiri," ucapnya lirih, menatap putrinya yang terbangun dengan wajah pucat.
Casanova menggeleng pelan. Suaranya masih lemah, tapi kali ini ia berusaha tenang.
"Tidak apa-apa, Bu. Tapi... Kayano ke mana? Apa dia tidak ada di kamarnya bu? kemana dia pergi? " tanya Casanova panik.
Bu Rahmi menghela napas berat, lalu menggeleng. Ia mulai menceritakan kegelisahannya sejak tadi.
"Hujan deras tadi membuat genteng rumah sebelah bocor. Ibu mau geser dipan, tadinya mau minta tolong Kayano adikmu. Tapi waktu ibu ketuk pintu kamarnya... dia tidak ada di dalam. " ucap Bu Rahmi.
"Padahal, terakhir jam sepuluh malam tadi, adikmu masih mengobrol bersama ibu." ucapnya lagi.
Casanova membatu. Kabar itu langsung membuat tubuhnya kaku. Ada kecemasan yang perlahan menyelinap dalam hatinya. Ia tahu, malam ini bukan malam biasa.
"Ibu... tolong bantu aku ke ruang tamu," pintanya lirih. "Aku mau tunggu Kayano di sana."ucapnya.
Dengan tubuh lemah, Kayano berusaha bangkit. Bu Rahmi memapahnya dengan sabar. Tapi tiap langkah yang diambil Casanova terasa perih. Luka yang belum pulih di tubuhnya masih menyiksa, mengingatkan pada malam kelam yang telah merenggut segalanya.
Namun bagi Kayano, rasa sakit di tubuh tak sebanding dengan luka yang menganga di hatinya. Luka karena penghinaan, kehilangan, dan kehancuran hidup yang belum selesai.
Mereka berdua akhirnya duduk di ruang tamu, menanti dalam diam yang penuh kecemasan. Detik demi detik berlalu. Hujan masih deras, angin masih meraung, namun Kayano tak kunjung pulang...Hujan di luar belum juga reda.
Petir terus menyambar-nyambar, mengguncang langit malam yang kelam. Suaranya seperti raungan marah, seolah alam pun ikut menjerit karena sesuatu yang tak beres tengah terjadi.
Casanova dan Bu Rahmi duduk di sofa tua yang dingin dan lembap, di ruang tamu yang hanya diterangi cahaya temaram dari lampu minyak. Suasana terasa tegang dan mencekam. Hening bukan lagi sebuah ketenangan, tapi berubah menjadi jerat waktu yang menghimpit dada.
Bu Rahmi mondar-mandir gelisah. Tatapannya tak lepas dari pintu rumah yang masih tertutup rapat, berharap Banu akan tiba-tiba muncul dari balik hujan basah, tapi selamat.
Casanova duduk diam, memeluk selimut tipis yang tak mampu menghangatkan tubuhnya yang masih lemah. Ia berusaha menenangkan ibunya, meski suaranya sendiri terdengar goyah.
"Bu… mungkin Kayano hanya pergi sebentar. Siapa tahu dia numpang berteduh di rumah temannya."ucap Casanova.
Tapi Bu Rahmi menggeleng dengan sorot mata panik. "Nak… ini sudah hampir jam tiga. Dia tidak pernah keluar tanpa pamit. Apalagi di tengah hujan begini..." jawab Bu Rahmi dengan suaranya yang serak.
Matanya menatap nanar ke arah jendela, tempat hujan masih menghajar bumi tanpa jeda. Setiap tetesan yang membasahi kaca jendela terasa seperti ketukan maut yang tak henti-hentinya menggugah kecemasan.
Dalam benaknya, ketakutan demi ketakutan saling bertubrukan. Ia tak bisa melupakan bagaimana Senja dulu menghilang dalam hujan dan kilat malam. Trauma itu masih menganga. Dan sekarang, Kayano… anak laki-lakinya satu-satunya, tak pulang juga.
Kesunyian malam berubah menjadi perang batin. Saat keadilan tak berpihak, ketika suara mereka diabaikan dan penderitaan mereka dianggap angin lalu, satu-satunya yang tersisa hanyalah harapan yang kian menipis seiring detik berlalu.
Jam dinding berdentang pelan. Tiga kali. Dini hari. Waktu seolah enggan bergerak. Casanova menggenggam tangan ibunya yang dingin. Ia mencoba menyalurkan sedikit ketenangan meski tangannya sendiri gemetar. Jantungnya berdebar kencang, pikirannya terus-menerus membayangkan kemungkinan buruk.
"Ibu… mau salat tahajud dulu ya nak. " ucap Bu Rahmi perlahan, suaranya bergetar tapi penuh keyakinan.
"Kamu mau ikut tak?" tanya nya lagi.
Casanova tak langsung menjawab. Ia hanya menatap kosong ke arah lantai. Sejak malam nahas itu, sejak tubuh dan jiwanya dicabik oleh kebiadaban manusia, ia belum pernah lagi menengadahkan tangan. Sholat pun terasa jauh baginya.
Tapi malam ini... ketakutan yang melingkupi hati membuatnya bertanya-tanya: masihkah Tuhan mendengarkan?
Bu Rahmi memahami, tak mudah bagi Casanova untuk langsung kembali beribadah. Luka yang dipikulnya terlalu dalam. Casanova dulu adalah gadis yang selalu taat, tak pernah meninggalkan salat, tak pernah lalai dari zikir.
Tapi sejak malam kelam itu, semuanya berubah. Ia seperti terputus dari cahaya dari Tuhan, dari dirinya sendiri. Meski begitu, Bu Rahmi tidak pernah kehilangan harapan. Ia yakin, putrinya akan kembali menemukan jalannya. Cepat atau lambat. Sebab, ia tahu, hati Casanova masih hidup. Masih terluka, tapi belum mati.
Benar saja, saat Bu Rahmi mengajak sholat malam, Casanova hanya menggeleng perlahan. Ia menunduk dalam diam, menahan air mata. Bukan karena tak ingin, tapi karena merasa belum pantas.
Mulutnya kelu untuk menyebut nama Tuhan. Baginya, tubuh ini terlalu kotor. Jiwanya terlalu luka. Ia merasa tercemar, hina, dan tak layak bersujud. Bu Rahmi mengusap lembut pundak anaknya. Tak ada paksaan, tak ada kata-kata.
Hanya sentuhan kasih seorang ibu yang menyimpan ribuan doa dalam diam. Lalu ia berdiri dan melangkah menuju bilik kecil di ujung rumah, mengambil air wudu, dan mulai menegakkan salat malam.
Dalam sujudnya yang panjang, ia menangis dalam hening. Memohon petunjuk. Memohon keselamatan untuk anak-anaknya untuk Casanova, dan untuk Kayano yang belum juga pulang.
BERSAMBUNG..
mampir juga yuk kak ke karyaku