Niat hati Parto pergi ke kampung untuk menagih hutang pada kawannya, justru mempertemukan dia dengan arwah Jumini, mantan cinta pertamanya.
Berbagai kejadian aneh dan tak masuk akal terus dialaminya selama menginap di kampung itu.
"Ja-jadi, kamu beneran Jumini? Jumini yang dulu ...." Parto membungkam mulutnya, antara percaya dan tak percaya, ia masih berusaha menjaga kewarasannya.
"Iya, dulu kamu sangat mencintaiku, tapi kenapa kamu pergi ke kota tanpa pamit, Mas!" tangis Jumini pun pecah.
"Dan sekarang kita bertemu saat aku sudah menjadi hantu! Dunia ini sungguh tak adil! Pokoknya nggak mau tahu, kamu harus mencari siapa yang tega melakukan ini padaku, Mas! Kalau tidak, aku yang akan menghantui seumur hidupmu!" ujar Jumini berapi-api. Sungguh sekujur roh itu mengeluarkan nyala api, membuat Parto semakin ketakutan.
Benarkah Jumini sudah mati? Lalu siapakah yang tega membunuh janda beranak satu itu? simak kisah kompleks Parto-Jumini ya.
"Semoga Semua Berbahagia"🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wanita Pemilik Salon
Baik Parto maupun si wanita pemilik salon itu sama-sama terkejut saat mereka bertemu di toko.
“Jadi, kamu kenal sama Walji?” tanya Parto kemudian.
“Ya kenal lah Mas. Orang seperti dia itu pasti dikenal semua orang!” terang Si wanita pemilik salon. “Tapi semenjak kejadian itu—”
Wanita itu menghela napas, matanya tertunduk, namun menerawang jauh sesaat, lalu menggeleng kecil kemudian, seakan tak ingin mengingat sesuatu yang tak seharusnya diungkap kembali.
“Ke-kejadian itu?” balas Parto menekankan pada ucapan terakhir wanita itu, berharap mendapatkan penjelasan lebih.
“Ah, bukan apa-apa. Jangan dipikirkan, justru saya yang penasaran, Mas kok bisa kerja di sini, cara bicaranya sih agak berbeda dengan orang sini, apa mas ini pendatang?”
“Hmm, saya teman kerjanya Walji, sebelum Walji resign. Karena suatu hal, saya mencarinya, lalu —”
Belum selesai Parto menjelaskan lebih, wanita itu segera memotong ucapannya. “Sambil menunggu mas Walji pulang, Mas’e diminta mengelola toko ini, benar begitu?”
Parto membulatkan mata, terkejut dengan benarnya tebakan wanita cantik itu. “Oh? Bagaimana bisa ketebak dengan mudah seperti itu?”
“Aih, sebelum Mas’e, ada juga seorang wanita yang mengelola tempat ini, kalau nggak salah namanya itu Utari, tapi entah kenapa hanya beberapa hari saja lalu udah nggak kelihatan lagi,” terang wanita pemilik salon. “Oh, iya, Saya Linda, Mas-nya siapa namanya?”
“Saya Parto mbak,” keduanya pun berkenalan dengan bersalaman. “Eh, tapi apa mbak Linda ini bukan asli orang daerah sini? Soalnya kok penampilannya beda.”
“Halah, bilang aja kok nama saya kayak orang kota gitu ya, Mas?” sahut Linda sedikit terkekeh. “Sebenarnya nama saya itu Sulinah, tapi masa iya pemilik salon namanya ndeso, jadi saya mulai mengubah panggilan jadi Linda,” jelasnya kemudian dengan sedikit malu-malu.
Parto hanya tersenyum menanggapi hal itu. Tepat saat itulah, dari jendela, sudut matanya menangkap sekelebat orang berjalan tergesa di jalan samping tokonya. Reflek Parto menatap ke luar.
‘Muncul juga bocah itu, jam segini, dia baru bangun, dasar pemalas!’ batinnya saat menyadari orang itu adalah Lasmi.
“Ya sudah, Mas. Saya mau beli minyak goreng saja,”
Wanita itu segera menyelesaikan tujuannya, lalu pergi setelah berpamitan.
“Kejadian itu, apa ya yang sebenarnya terjadi, pertama warga di pos ronda malam itu yang mengatakan hal seperti itu,” Monolog Parto mencoba memikirkan beberapa hal. “lalu Lasmi juga mengatakan hal yang sama. Oh? Dimana bocah itu, kok nggak masuk-masuk sih?”
Parto keluar untuk melihat Lasmi, karena ia mengira Lasmi hanya sedang duduk di teras atau berhenti di halaman untuk melakukan sesuatu hal. Namun tak ada siapapun di depan toko, bahkan saat Parto melihat ke samping hingga melongok ke jalan pun, ia tak menemukan Lasmi, bahkan bayangannya pun.
Parto kembali masuk ke toko sambil berpikir, “Apa aku salah lihat?” gumamnya. “Ah, bikin mie dulu lah, laper juga.”
“Kamu nggak niat kulakan, To? Barang daganganmu banyak yang kosong gitu loh.” Jumini yang sejak tadi bermain dengan si kucing di tangga, kini beranjak berjalan-jalan di sekitar rak-rak tempat dagangan tertata rapi.
“Aku tidak pernah melakukan hal seperti itu sebelumnya, aku nggak yakin tahu caranya,” sahut Parto lesu. “Lagian, tabunganku —rasanya sayang kalau aku gunakan ditempat ini.”
“Pakai uang toko aja, kan ada lumayan itu, puter aja uang yang ada, nanti aku tunjukkan tempatnya!” seru Jumini begitu antusias.
Parto berhenti tepat di ambang pintu yang mengarah ke dapur, ia berpikir sejenak. “Ada benarnya, jika keuntungan yang kudapatkan lumayan, aku bisa membeli ponsel baru tanpa harus mengurangi tabunganku sendiri.”
“Tuh, lihat, toko ini paling komplit, makanya banyak yang belanja ke sini.”
Parto menuju ke meja kasir, lalu membuka brangkas tempat Walji menyimpan uang. Ia ingat betul saat beberes toko waktu itu, ada uang sekitar tiga juta lebih tersimpan rapi di nakas dibawah meja kasir, dengan kunci tergantung begitu saja.
“Loh? Uang toko nambah jadi empat juta,” monolog Parto setelah menghitung uang yang ada disana.
“Kalau untuk hal itu, siapa lagi pelakunya kalau bukan Lasmi. Kan dia adiknya Walji, jadi tahu cara mengelola toko ini,” sahut Jumini yang duduk di meja kasir, sambil mengawasi beberapa pembeli yang masih memilih kebutuhan mereka.
“Ah, benar juga.”
“Mas, aku beli ini aja, nggak usah pakai kantong plastik ya, aku bawa tas ini dari rumah.” Seorang pelanggan meletakkan beberapa barang di meja kasir.
Jumini beringsut sambil cemberut, mau bagaimana lagi, manusia lain tak bisa melihat dirinya, jadi bukan salah pelanggan itu jika asal menempatkan barang belanjaannya di tempat ia sedang duduk bersantai.
Setelah beberapa pelanggan selesai berbelanja, Parto segera menutup toko, lalu mencatat barang-barang yang stoknya tinggal sedikit, atau bahkan habis, lalu bersiap menuju ke tempat yang akan ditunjukkan Jumini.
“Tempatnya di deket pasar, di seberang terminal, jadi kalau nggak sekarang, nanti nggak bisa pulang karena bis jalur ke sini hanya sampai jam 7 malam.” ujar Jumini yang akhirnya membuat Parto menurut.
……..
Di ujung jalan, dua anak buah pak Ngatnu tengah mengintai toko-nya Parto. Setelah melihat Parto pergi dan menutup tokonya, mereka pun bergerak.
“Aku akan mencari tahu lagi ke dalam tokonya, siapa tahu pencuri itu kembali kesana, dan kamu ikuti kemana si Parto itu pergi!” ujar si gondrong memberi perintah pada rekannya.
“Hm, jangan sok-sokan memerintah, itu adalah ucapan bos Ngatnu, buat apa kamu harus mengulangnya, bodoh!” protes si plontos dengan kesal.
Kini keduanya berpisah dengan tujuan masing-masing. Si gondrong tentunya bisa masuk ke toko lagi dengan mudah, karena ia mengantongi kunci cadangan yang diberikan pak Ngatnu.
Ia masuk perlahan dan sangat berhati-hati setelah memastikan tak ada orang yang melihatnya.
Si gondrong langsung ke lantai dua, kembali mencari, barangkali ada sesuatu yang bisa digunakannya untuk mencari tahu siapa pencuri yang sebenarnya.
Klek!
Si gondrong terkejut bukan main, saat seseorang di luar menggerakkan gagang pintu yang menghubungkan kamar itu dengan balkon belakang.
Tak ada tempat untuk sembunyi, lantai dua hanya ada satu ruangan yang langsung terhubung dengan tangga tanpa pintu.
Si gondrong melihat lemari pakaian yang tak begitu besar, jika ia —yang badannya besar itu, memaksa masuk dan bersembunyi di sana, mungkin saja cukup jika pintu lemari tu tak ditutup.
‘Satu-satunya jalan hanya harus bersembunyi di bawah!’ pikirnya, lalu bergegas menuruni tangga dengan berlari cepat tanpa menimbulkan suara.
Si gondrong menunggu dibalik dinding di lantai satu,menunggu saat yang tepat untuk melihat siapa yang datang.
Kriet!
Pintu pun terbuka, si gondrong masih berdiam diri di tempatnya, masih tak berani bergerak.
Dari tempatnya, si gondrong melihat sekelebat bayangan, yang artinya seseorang itu telah masuk, lalu melakukan sesuatu di kamar Parto.
Namun beberapa saat kemudian, terdengar suara televisi dihidupkan, seakan seseorang itu telah terbiasa dengan tempat itu, bahkan si gondrong mendengar suara langkah kaki menuruni tangga dengan santai, membuatnya kalang kabut untuk bersembunyi.
‘Siapa sih itu?’ batin si gondrong mengawasi dari balik rak, sambil bersembunyi.
Berpakaian serba hitam, mengenakan jaket tebal juga berwarna hitam, serta sebuah topi yang dipakai hingga menenggelamkan wajahnya, membuat si gondrong pun kesulitan mengenali orang itu.
Dengan santai orang itu berjalan mengambil beberapa makanan ringan di antara rak, lalu berjalan menuju ke meja kasir, entah apa yang dilakukannya.
‘Membayar? Apa dia membayar? Aneh, pencuri masa membayar?’ pikir si gondrong masih berusaha mengenali orang itu.
Si gondrong masih bersembunyi diantara rak. Jantungnya berdetak semakin cepat, tatkala pria itu berjalan ke arahnya.
‘Sial! Harusnya aku yang menangkapnya, tapi kenapa rasanya aku justru yang akan tertangkap? Apa aku muncul saja?'
“Pergi! Atau kau mati!”
Sesuatu diarahkan tepat di kepala si gondrong, membuatnya tak berani menoleh, meski hanya untuk sekedar melihat wajahnya.
‘P-pistol?!’ pekik ketakutan si gondrong dalam hati.
“Tetap sambil jongkok, bergerak menuju pintu, dan pergi dari sini!” gertak orang itu.
Si gondrong sangat ketakutan dan tak punya pilihan selain menurut, lalu segera pergi berlari mencari pak Ngatnu.
...****************...
Bersambung....
dua orang cewek dari masa lalumu dan masa depanmu sedang melarangmu pergi.
gimana to...? jadi pergi atau tetap bertahan walaupun menakutkan?
siapa yg di rulo dan siapa yg di ikuti coba
apa mingun =Sasongko???🤔🤔🤔