NovelToon NovelToon
Paman CEO Itu Suamiku!

Paman CEO Itu Suamiku!

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Duda / CEO / Nikah Kontrak / Beda Usia / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Lee_ya

Nayra Kirana, gadis berusia 22 tahun yang baru lulus kuliah, dihadapkan pada kenyataan pahit, ayahnya sakit keras dan keluarganya berada di ambang kehancuran ekonomi. Ketika semua pintu tertutup, satu-satunya jalan keluar datang dalam bentuk penawaran tak terduga—menikah dengan Arka Pratama, pria terpandang, CEO sukses, sekaligus... paman dari senior sekaligus bos tempatnya magang.

Arka adalah duda berusia 35 tahun, dingin, tertutup, dan menyimpan banyak luka dari masa lalunya. Meski memiliki segalanya, ia hidup sendiri, jauh dari kehangatan keluarga. Sejak pertama kali melihat Nayra saat masih remaja, Arka sudah merasa tertarik—bukan secara fisik semata, melainkan pada keteguhan hati dan ketulusan gadis itu. Ketika Nayra tumbuh dewasa dan kesulitan menghimpit hidupnya, Arka melihat kesempatan untuk menjadikan gadis itu bagian dari hidupnya.

Tanpa cinta, tanpa keromantisan, mereka memulai hidup sebagai suami istri berdasarkan perjanjian: tidak ada kewajiban fisik, tidak ada tuntutan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lee_ya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Paniknya Suami Baru

“Aduh…!!!”

Aku meringkuk di atas ranjang, memeluk bantal sambil menahan rasa nyeri di perut bagian bawah. Keringat dingin mulai muncul di pelipis meski AC kamar menyala. Perutku seperti diremas-remas. Ini hari pertama menstruasi, dan seperti biasa, rasanya seperti kiamat kecil.

Kuketik pesan di ponsel.

Nayra: Maaf, aku nggak bisa turun sarapan. Perutku sakit banget.

Tak sampai semenit, balasan masuk.

Arka: Sakit kenapa? Aku ke atas.

Aku belum sempat membalas ketika pintu kamar diketuk, lalu terbuka perlahan. Arka muncul di balik pintu, wajahnya panik, masih mengenakan kemeja kerja yang belum sempat dilipat rapi. Matanya menyapu ruangan, lalu jatuh padaku yang meringkuk seperti udang rebus.

“Astaga! Nayra? Kamu kenapa?”

Dia langsung masuk dan mendekat ke ranjang.

Aku menggeliat pelan.

"Sakit perut, haid hari pertama...parah banget.”

Arka terdiam sesaat. Sepertinya otaknya mencoba memproses kalimat itu seperti sedang membaca laporan perusahaan yang pakai bahasa planet.

“E-eh, haid?” gumamnya, seolah baru pertama kali dengar kata itu dalam hidupnya.

Aku mengangguk pelan, memeluk bantal lebih erat.

“Sakit banget, sumpah! Biasanya aku minum jamu atau pakai koyo. Tapi aku lupa bawa dari apartemen.”

Arka berdiri mendadak, seperti tentara yang baru dapat perintah darurat.

“Oke...oke. Tunggu. Aku cari koyo! Atau air panas? Bantal panas? Mau kubawa ke rumah sakit?”

Aku menatapnya lemah.

“Enggak perlu sampai rumah sakit. Ini cuma siklus. Tapi memang menyakitkan.”

Dia berputar-putar di kamar, seperti kehilangan arah. Lalu tiba-tiba dia keluar. Beberapa menit kemudian, dia kembali sambil membawa rice cooker.

Aku terbelalak.

“Itu... buat apa?”

“Air panas. Aku masak di sini aja biar cepat,” jawabnya penuh kesungguhan.

Aku tertawa meski nyeri tetap menusuk. “Arka... rice cooker bukan buat bikin bantal hangat.”

“Tapi dia bisa panas, kan?” tanyanya panik, “Atau aku bisa panaskan botol, terus kamu peluk botolnya? Gitu?”

Dia benar-benar seperti CEO yang mendadak jadi OB magang.

***

Akhirnya, dengan bantuan Bu Nani yang muncul seperti penyelamat dari langit, Arka berhasil membawa bantal kompres elektrik dan sebotol jamu kunyit asam. Wajahnya masih panik, tapi kini setidaknya tidak membawa alat masak lagi.

“Nih. Katanya ini bisa bantu. Bu Nani bilang jamu ini manjur banget,” katanya sambil menyerahkan botol itu.

Aku menerimanya dengan senyum lemah. “Makasih, kamu perhatian banget.”

Dia duduk di pinggir ranjang, menatapku sejenak.

"Aku beneran takut, Nayra. Aku pikir kamu kenapa-kenapa. Aku nggak tahu cara ngadepin hal begini.”

Aku memeluk bantal, lalu berkata pelan, “Selamat datang di dunia nyata. Di mana istrimu bukan robot, dan pernikahan bukan presentasi power point.”

Dia tertawa kecil.

"Dan aku pikir menikah itu cuma soal menyatukan dua kepala. Ternyata harus belajar urusan haid juga.”

Aku ikut tertawa meski perutku masih mules. Lalu bertanya pelan,

“Kamu jijik ya, dengar soal menstruasi?”

Dia mengernyit.

"Jijik kenapa? Itu tubuh kamu, bagian dari kamu. Dan kalau itu bikin kamu kesakitan, ya tugas aku buat bantu, kan?”

Kalimat itu membuatku diam. Hati yang tadi dipelintir rasa sakit, kini dipelintir haru.

“Aku nggak minta kamu jadi suami sempurna, Arka,” kataku pelan.

"Tapi yang kayak gini, cukup buat bikin aku merasa nggak sendirian.”

Dia tersenyum kecil, lalu berdiri.

"Aku duduk di sini sampai kamu tidur. Nggak akan ganggu.”

Dan dia benar-benar duduk diam di sofa kecil di pojok kamar. Tangannya memainkan ponsel, tapi matanya sesekali melirikku. Tak ada percakapan. Tak ada pelukan manis seperti di film. Tapi kehadirannya adalah versi cinta dari Arka Pratama yang paling jujur sejauh ini.

***

Beberapa jam kemudian, aku terbangun dari tidur sore. Perutku masih nyeri, tapi sudah tidak setajam pagi tadi. Di meja samping tempat tidur, ada secangkir cokelat panas, dan selembar kertas kecil.

Tulisan tangan Arka.

“Aku ke kantor sebentar. Nggak lama. Minum ini ya. Katanya cokelat bantu naikkan mood. – A”

Aku tersenyum kecil. Lalu meminum cokelat itu perlahan.

Mungkin aku belum sepenuhnya mencintai Arka.

Tapi hari ini, aku tahu dia sedang belajar caranya mencintaiku.

Dengan caranya sendiri.

***

“Kamu suka telur mata sapi setengah matang atau matang banget?”

Pertanyaan itu datang dari arah dapur, dan jujur, aku butuh waktu lima detik untuk percaya bahwa itu Arka.

Aku duduk di meja makan, mengenakan piyama tidur dan hoodie lusuh. Rambutku masih berantakan karena semalam tidur tanpa sempat mengikatnya. Tapi pagi ini berbeda, pagi ini aku bangun karena bau roti panggang dan suara pria yang biasanya hanya bicara soal rapat dan kontrak.

“Setengah matang, kalau bisa.”

Aku berdiri dan melongok ke arah dapur.

Dan di sanalah dia CEO Arka Pratama yang dikenal dingin itu, sedang berdiri di depan kompor dengan celemek bergambar kartun ayam. Tangannya memegang spatula, wajahnya serius seperti sedang negosiasi proyek milyaran.

“Kamu beneran masak?” tanyaku tak percaya.

Dia melirik.

“Kalau kamu bisa mules parah karena haid dan tetap bisa senyum, masa aku nggak bisa bikin telur ceplok?”

Aku tertawa.

“Logika yang aneh, tapi manis juga sih.”

Dia menyerahkan piring berisi dua potong roti panggang, telur, dan irisan alpukat.

“Sarapan dulu sebelum kamu mulai aktivitas sebagai nyonya rumah CEO.”

“Aktivitas nyonya rumah? Nyiram tanaman dan ngelus-ngelus kucing hayalan?” jawabku sambil duduk.

Dia duduk di seberangku.

“Kucing bisa dipikirkan nanti. Tapi kamu tetap harus punya rutinitas. Mau kuliah lagi? Atau kerja di perusahaanku?”

Aku tertegun. “Kamu beneran nggak keberatan kalau aku kerja?”

“Selama kamu nggak kerja sebagai stuntwoman atau penyelam hiu, aku nggak keberatan.”

Aku tertawa, hampir menyembur jus jerukku.

Dia melanjutkan,

“Tapi serius, Nay. Aku nggak mau kamu merasa hidupmu berhenti setelah menikah denganku. Aku mungkin bukan pria romantis, tapi aku nggak akan jadi suami yang membelenggu.”

Kata-katanya membuat sarapan pagi itu terasa lebih hangat dari biasanya.

***

Dua minggu berlalu sejak kami menikah, dan sedikit demi sedikit, rumah itu mulai terasa seperti rumah.

Kami tidak tidur sekamar, tapi pintu di antara kami makin jarang tertutup rapat.

Kami tidak selalu bicara soal cinta, tapi obrolan kami mulai menyentuh hal-hal kecil, seperti makanan kesukaan, kebiasaan buruk, dan bahkan mimpi buruk masa lalu.

Arka memang bukan tipe pria yang bicara banyak, tapi dia mendengarkan.

Sampai suatu sore, saat aku sedang menyiram tanaman di balkon, ponselku berdering.

Nomor tak dikenal.

Awalnya kupikir spam. Tapi saat kubaca pesan yang masuk setelahnya, jantungku mencelos.

“Kamu tahu nggak, Nayra? Arka bukan orang yang kamu kira. Dia punya rahasia besar. Hati-hati.”

Aku membeku. Lalu membaca ulang pesan itu. Tak ada nama. Tak ada konteks. Hanya ancaman samar yang cukup membuat perutku mual.

Kupencet tombol panggil. Tapi nomor itu langsung tidak aktif.

Aku menyimpan ponsel ke meja dan mencoba mengatur napas. Tapi pertanyaan mulai berdesakan di kepalaku.

Apa maksudnya? Siapa pengirimnya? Dan apa benar Arka menyembunyikan sesuatu?

***

Malamnya, saat Arka pulang dari kantor, aku tidak langsung menanyakannya. Tapi aku mengamati geraknya, suaranya, matanya. Semuanya terlihat normal. Tapi bukankah yang paling berbahaya adalah hal-hal yang terlihat biasa, padahal menyimpan sesuatu?

“Kamu kenapa?” tanyanya saat aku terlihat diam lebih lama dari biasanya.

Aku menggeleng.

"Nggak. Cuma pusing sedikit.”

“Besok kita libur. Mau pergi ke luar kota sebentar? Aku ada vila di Lembang. Tenang, nggak ada Dira atau Mama.”

Aku menatapnya. “Kamu ngajak aku liburan?”

Dia mengangguk.

“Kita butuh jeda. Biar rumah ini nggak terasa kayak museum.”

Aku tersenyum kecil. “Oke.”

Dan malam itu, aku tidur sambil memeluk rahasia kecil yang belum berani kuceritakan. Bukan karena aku tak percaya, tapi karena aku belum siap tahu, apa yang akan berubah setelah aku tahu kebenarannya.

1
Dini Aryani
mohon maaf, karakter istri egois. dia menuntut suami yg diinginkan semua istri, sedangkan dia tidak melakukan kewajiban sebagai istri apalagi sedang hamil, ketaatan pd suami yg baik. sudah jadi istri lho. tolonglah ada unsur edukasi buat istri, agar tdk ada yg meniru sesuatu yg buruk. saya sbg istri malu
Lee_Ya: terimakasih kak buat komentarnya, stay tune terus ya buat tau cerita selanjutnya....lope sekebon 😍😍😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!