NovelToon NovelToon
Aku Bukan Siapa-Siapa

Aku Bukan Siapa-Siapa

Status: sedang berlangsung
Genre:Transmigrasi ke Dalam Novel
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Febbfbrynt

Ketidaksengajaan serta pengorbanan dalam sebuah kecelakaan membuat Alena langsung meninggal dan malah mengantarkan nyawa gadis itu dengan bertransmigrasi ke dalam salah satu novel favoritnya. Alena hanya menjadi adik dari salah satu teman protagonis pria—figuran. Dia hanya seorang siswi sekolah biasa, tanpa keterlibatan novel, dan tanpa peran.

Tapi, plotnya hancur karena suatu alasan, hidupnya tidak semulus yang dia bayangkan. Dia membantu masalah semua tokoh, namun di tengah itu, hidupnya tidak aman, ada orang yang selalu ingin mencelakainya.

____

"Aku memang bukan siapa-siapa di sini, tapi bukan berarti aku akan membiarkan mereka menderita seperti alurnya."—Alena.

~•~
note:
- author 'I Am A Nobody' di wp dan di sini sama

- Tokoh utama cerita ini menye-menye, lebay, dan letoy. Jadi, ga disarankan dibaca oleh org yg suka karakter kuat dan ga disarankan untuk org dewasa 20+ membacanya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Febbfbrynt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pemilik Tubuh Asli

Makasih, ya," ucap Alena menyaksikan Andreas membayarkan tagihan bakso itu untuknya.

"Hmm."

Keempat teman Andreas sudah menaiki kendaraannya masing-masing, lalu disusul Ravael yang akan membonceng Alena.

"Gue bonceng dia?" tanya Andreas menunjuk Audrey yang diangguki teman-temannya.

"Lo searah 'kan sama Audrey?" tanya Ravael yang diangguki Andreas dengan kaku.

"Kenapa lo? Gak mau bonceng gue?" sewot Audrey.

Ingat ya, Audrey masih kesal karena Andreas tidak membolehkannya menumpang saat pulang sekolah tadi.

Karena tidak terbiasa dengan perubahan wajah Audrey yang dingin, Andreas hanya menggeleng.

"Kalo gitu cepet! Gue gak ikhlas kalo Alena yang di bawa sama cowok kaya lo," ketusnya sambil menaiki motor Andreas.

Itu hanya menjadi alasan untuknya. Sebenarnya jantung Audrey berdegup kencang saat ini, namun wajahnya menunjukan ekspresi dingin.

Kedua tokoh itu tidak sadar dengan perubahan sikap mereka satu sama lain yang biasanya tidak dekat. Walaupun beradu mulut, sekarang mereka sedikit akrab.

***

Ketika keduanya sampai di depan rumah, Alena turun dan jalan terlebih dahulu diikuti Ravael.

Tiba-tiba, Alena menghentikan langkahnya dan menoleh ke kakaknya. "Kak Rava duluan aja, deh."

Ravael langsung menolak. "Nggak! Kuping kakak udah capek dengerin omelan Mamah."

Dengan pasrah Alena jalan terlebih dahulu memasuki pintu rumahnya dengan was was, tapi yang menyambutnya adalah pelukan hangat membuat dia tersentak kaget.

"Alena ... hiks. Kamu kenapa selalu bikin Mamah khawatir?" tangisan Berliana terdengar.

Dengan rasa bersalah Alena membalas pelukannya seraya mengusap punggung mamahnya lembut. "Maafin Alena, Mah. Alena kan gak mau ngerepotin mereka ... Alena juga gak tau di daerah itu gak ada taksi."

"Hiks, apa Mamah perlu kurung kamu?! Kenapa kamu selalu luka? Selalu aja ada hal lain di luar sana yang buat Mamah khawatir sama kamu ...."

"Ish, emang Mamah tega kurung aku? Gak bakal aku ulangi, kok. Aku akan berusaha jaga diri baik-baik."

Berliana menjadi sedikit tenang mendengar ucapan Alena, lalu ia melepas pelukannya dan menoleh ke arah Ravael yang sedari tadi menonton. 

Berbeda saat menghadapi Alena, ekspresinya langsung galak. "Sekarang Alena berangkat pulang sama kamu! Kamu harus jagain Alena 24 jam! Kalo ada apa-apa, Mamah potong uang jajan kamu!"

Salah gue lagi, batin Ravael merengut.

Alena meringis mendengar itu. Dia menatap Ravael simpati, yang ditatap mendengus kesal, tapi Ravael tetap mengangguk. 

Walaupun kesalahan Alena, omelan yang seharusnya untuk Alena selalu dia yang tanggung, namun Ravael tak pernah membenci Alena, justru dia sangat menyayangi adiknya itu.

"Ada apa ini?" Pertanyaan seseorang yang baru saja memasuki pintu membuat ketiga orang itu menoleh. 

Alena yang sudah lelah tidak mau memperpanjang dan membahas lagi setelah melihat papa nya. Ia langsung berpamitan. "Alena istirahat dulu, ya."

Tanpa menunggu jawaban dari yang lain, dia berlari menuju kamarnya, disusul Ravael yang letak kamarnya sama-sama di atas.

"Mah, ada apa?" Devian kembali bertanya kepada istrinya yang bermata bengkak karena menangis. 

Berliana tidak mengatakan apa-apa. Ia memeluk suaminya itu yang langsung dibalas. 

Keluhan yang ia tahan semalaman ini langsung keluar. "Pah ... Alena tadi sore sempat hilang, dan dia baru pulang barusan. Mamah gak sempet kabarin Papah karena keadaan panik. Mamah khawatir banget sama dia, Pah. Alena selalu aja dalam keadaan gak aman kalo ada di luar rumah ...."

"... Pak Adi bilang remnya blong, padahal paginya baik-baik saja. Pak Adi juga bilang dia hampir nabrak kendaraan lain, tapi untungnya terkendali, untungnya juga Alena gak ada di mobil itu. Selain itu ... Pak Adi cuma bilang mogok sama Alena supaya dia gak tahu yang sebenernya."

Devian menghela nafas. "Gak pa-pa, Mah. Mulai sekarang, papah akan ngawasin Alena dengan bawahan papah, jangan sampai dia lukain putri kita lagi."

***

Setelah Alena sampai di kamarnya, dia langsung merebahkan badannya karena lelah. Badannya sangat gerah, namun dia hanya ingin tiduran sebentar untuk menghilangkan kelelahannya. Alena menutup mata, lalu, membuka kembali. Helaan nafas lembut keluar dari mulutnya.

Kejadian hari ini benar-benar melelahkan. Alena sangat bersyukur atas kedatangan Andreas di halte, karena sebelum kedatangan lelaki itu, Alena merasa diawasi sehingga membuatnya merasa sangat takut. Alena menghela nafas lagi, lalu menutup mata perlahan 

Dengan seragam yang belum di ganti, badan berkeringat, sepatu belum di buka, kaki pegal serta lelah, membuatnya terlelap dan masuk ke dalam mimpi.

**

Di sebuah ruangan gelap tanpa cahaya sedikitpun, Alena membuka mata penuh kebingungan. Ia mengulurkan tangan meraba-raba ke seluruh arah tanpa ada apapun yang tersentuh.

"Aku di mana?" gumamnya mulai ketakutan.

"Mamah?"

"Kak Rava?!"

"Papah?!"

Alena terus berusaha memanggil satu-persatu keluarganya sembari menggapai sesuatu untuk keluar dari kegelapan itu, tapi tidak ada apapun yang dapat ia sentuh, dan tidak ada yang menyahutnya membuatnya putus asa.

"Kak Alodie ...." Bukanlah teriakan, namun lirihan yang penuh harap. "A-ku di mana?" 

Alena mulai menangis seraya duduk memeluk lututnya. Wajahnya di telungkupkan di lutut dengan sesenggukan, tubuhnya gemetar ketakutan.

Tiba-tiba, ada setitik cahaya kecil yang membesar setiap detik, sampai-sampai cahaya itu menerangi setengah ruangan. Alena mengangkat kepalanya menengadah. Dia mengedarkan pandangan, hanya melihat Ruangan aneh berwarna putih. Tidak ada yang masuk pandangannya selain dinding warna putih.

"Alena Lika Hasana," suara panggilan seseorang di belakang yang menyebut nama lengkapnya membuat Alena menoleh dengan refleks dan kaget.

Alena melihat dirinya sendiri. Ah, lebih tepatnya Alena yang asli, Alena Valencia Alvarendra. Rambut coklat, mata almond, memakai baju seragam yang belum di ganti sebelum tidur. 

Sedangkan, Alena yang baru sadar, dia kembali pada penampilan aslinya rambut hitam, mata coklat, dan baju yang dipakai terakhir kali di dunianya.

"Alena?”

"Ya, kamu juga Alena," tukasnya seraya tersenyum.

Alena menatapnya tidak percaya. "Aku ... kenapa ada di sini? Dan ... kamu?"

"Kamu di sini karena aku ingin nyerahin ragaku sepenuhnya sama kamu, Alena. Kamu juga harus mampu nanggung masalah keluarga aku. Kalau kamu ingin tahu, karena masalah itulah aku berakhir di sini ...," ungkapnya dengan senyum kecut. 

" ... meskipun kamu anggap tempat yang kamu tempati dunia novel, tapi, semua kehidupan dunia ini asli, seperti dunia kamu sendiri.

"... jangan pikir plotnya akan jalan sesuai novel itu, karena sebelum kedatangan kamu pula, semuanya udah kacau."

"... kamu ialah tokoh utama di kehidupan diri sendiri. Jadi, singkirkan antagonisnya."

Alena bingung dan tidak bisa mencerna sekaligus semua perkataannya, jadi dia hanya bertanya yang lain. "Terus ... gimana sama tubuhku yang asli?"

"Kamu gak selamat, Alena. Kecelakaan itu terlalu parah sehingga kamu meninggal di tempat."

Alena menutup mulutnya syok. Air matanya luruh. Suaranya terbata dan sesak. "Ka-k Alodie?" 

"Dia sangat sedih atas kematian kamu nyampe perusahaannya pun jadi kacau, tapi ada seseorang yang bantu kakak kamu yang terpuruk. Mungkin, orang itu yang akan jadi pendampingnya."

Alena menghela nafas lega. Do'a terakhir sebelum kematiannya benar-benar terkabul.

"Apa kamu gak akan kembali ke dalam raga ini?"

Dia menggeleng pelan seraya tersenyum getir. "Gak bisa, aku udah mati. Tapi kamu dikasih kesempatan, yaitu kehidupan kedua kamu sekarang."

Alena merasa bersedih. "Kenapa gak bisa?"

"Aku gak tahu. Tapi ... aku ingin kamu selalu jaga dan sayang keluarga aku, Alena. Dan ... tolong bantu singkirkan mereka."

"Mereka?"

"Kamu akan tahu, Alena. Tetaplah bertahan walaupun banyak cobaan yang kamu hadapi." 

Dia semakin jauh dalam pandangannya. Alena sangat bingung dengan semua perkataan Alena asli. Mereka Siapa? 

Walaupun nantinya banyak teka-teki yang tidak bisa Alena pecahkan dengan mudah, ia akan berusaha memenuhi permintaannya.

"Makasih Alena Valencia Alvarendra atas raga kamu. Semoga kita ketemu lagi kalo ada kesempatan."

***

Di sebuah ruangan seperti gudang dan bercahaya minim, terdapat tiga orang pria dewasa yang tengah berbicara serius dengan seorang wanita dewasa dan seorang gadis. Para pria berbaju hitam berlutut di hadapan wanita itu.

"Gimana bisa kalian gagal?!" teriak wanita itu marah.

"Maaf, Nyonya. Dia pergi ke rumah temannya, dan remnya blong di saat dia gak ikut pulang, jadi ... cuma sopirnya yang ngalamin kecelakaan, itu pun gak terlalu parah," jelas salah satu pria berbaju hitam.

Wanita itu menggeram semakin marah. Ia merutuk. "Dasar bodoh!!"

Mereka bertiga yang berlutut semakin menundukan kepalanya. "Nyonya ... kami udah ngawasin dia pas lagi pulang sendirian, tapi waktunya gak tepat karena keadaan jalan gak sesepi itu. Pas dia nyampe di halte, keadaan sepi ngasih kami kesempatan, tapi ada orang lain yang datang dan ngajak dia pergi. Kita gak punya lagi ke--"

"Terus kenapa kamu ngomong panjang lebar cuma karena laporin kabar buruk!" 

Wanita itu semakin marah sampai melempar benda-benda berat yang terdapat di gudang kepada orang di depannya, sehingga mereka bertiga sedikit terluka, tapi tetap mempertahankan posisinya.

"Kalian boleh pergi! Dan ini--" Wanita itu menyodorkan tangan yang terdapat amplop di genggamannya." ... setengah uang dari usaha kalian yang gagal!"

"... aku gak akan ngampunin kalian dan kasih uang sedikit pun kalo gagal lagi," tambahnya.

Mereka bertiga mengangguk dan pergi dari tempat seram itu. Setelah kepergian mereka, wanita itu duduk di kursi bersih dan kosong di sebelah gadis yang sedari hanya menonton.

"Ibu ingin dia menderita! Sangat menderita. Kalo kita gagal lukain dia, maka rusaklah mental dan reputasinya ...."

"... Putriku."

1
Fitri Apriyani
bagus banget kk cuma ap nya kuma satu bab jadi aku lama nunguin nya mana dah ngak sabar lagi aku harap jangan gantung ya ceritanya harus sampai tamat oke kk
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!