NovelToon NovelToon
Dion (2)

Dion (2)

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Anak Yatim Piatu / Cinta Beda Dunia / Cinta Seiring Waktu / Kebangkitan pecundang / Hantu
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: K. Hariara

Kenyataan menghempaskan Dion ke jurang kekecewaan terdalam. Baru saja memutuskan untuk merangkak dan bertahan pada harapan hampa, ia justru dihadapkan pada kehadiran sosok wanita misterius yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya; mimpi dan realitas.

Akankah ia tetap berpegang pada pengharapan? Apakah kekecewaan akan mengubah persepsi dan membuatnya berlutut pada keangkuhan dunia? Seberapa jauh kenyataan akan mentransformasi Dion? Apakah cintanya yang agung akhirnya akan ternoda?

Apapun pilihannya, hidup pasti terus berjalan. Mengantarkan Dion pada kenyataan baru yang terselubung ketidakniscayaan; tentang dirinya dan keluarga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Terpaksa dengan Sukarela

Tak sampai setengah jam menunggu, Kiki tiba memenuhi janji makan siangnya bersama Dion. Ia tak datang sendirian. Seorang wanita cantik mendampinginya. Wanita itu berpakaian modis dengan rok super mini memamerkan kaki jenjang yang terbalut fishnet stocking hitam bercorak bunga.

“Sudah lama kalian?” tanya Kiki yang tersenyum ketika mendekati meja Dion dan Meyleen.

“Belum terlalu, lagipula kami yang datang terlalu cepat,” sahut Dion lalu memperkenalkan Meyleen pada Kiki. “Kenalin Meyleen, Bang! Dia marketing manajer di perusahaan kami.” 

Kiki pun menyodorkan tangannya yang disambut oleh Meyleen. Keduanya saling menyebutkan nama sambil tersenyum.

“Hati-hati Meyleen. Jangan sampai jatuh hati sama abangku yang tampan ini. Hatinya sudah terpaut pada seseorang,” canda Dion membuat Kiki dan wanita yang menyertainya tertawa.

“Ini Astrid, sekretarisku,” Kiki memperkenalkan wanita yang mendampinginya kepada Dion dan Meyleen.

“Aku sengaja bawa dia. Rencananya mau kukenalkan padamu tapi ternyata kau sudah ditemani wanita cantik,” lanjut Kiki sambil melirik pada Meyleen.

Mendengar guyonan Kiki, Meyleen pun tersenyum sementara Dion menggaruk-garuk kepala.

“Aduh! Bang, kenalin dengan yang biasa-biasa saja, yang seimbang denganku. Mereka berdua ini terlalu cantik,” ujar Dion membuat Astrid dan Meyleen tertawa karena senang mendapat pujian.

“Ah, bisa saja. Abang juga tampan kok,” timpal Astrid.

Keempatnya terlibat obrolan kecil hingga seorang pelayan menanyakan apakah keempatnya sudah siap memesan makan siang.

Sebelum pesanan disajikan, Dion pun mengambil kesempatan itu untuk mendiskusikan desain undangan pernikahan Kiki.

“Aku sudah bikin dua draft. Yang pertama ini ornamental, lebih menonjolkan typografi. Sementara yang kedua, yang paling aku sukai, seperti konsep kita semula, photobook,” jelas Dion sembari menunjukkan dua undangan yang dicetak di kertas karena hanya merupakan draft.

“Kenapa aku sekarang malah sangat menyukai yang ornamental yah? Elegan. Kesan kulturnya kental sekalipun desainnya simpel,” Kiki mengomentari draft pertama.

“Ah, mungkin itu karena draft ini dicetak menggunakan printer biasa. Yang photobook ini akan terlihat bagus kalau dicetak dengan warna akurat. Kalau Abang bawa laptop, aku bisa tunjukkan hasil cetaknya akan bagaimana,” kata Dion.

Kiki lalu meminta sekretarisnya untuk mengeluarkan laptop yang tersimpan dalam tas. Dion segera membuka file yang tersimpan dalam CD yang ia bawa dari rumah.

“Lihat Bang! Warnanya sangat indah. Foto Abang sama Kakak sangat artistik,” Dion memamerkan hasil desainnya.

Kiki kagum menatap hasil desain di layar laptop. “Wah! Benar hasilnya akan seperti ini?” tanya Kiki antusias. Ia sangat menyukai desain kedua itu.

“Seratus persen. Sama seperti cetakan foto-foto di buku Bapak, karena kita akan cetak di tempat yang sama,” Dion meyakinkan Kiki.

Astrid yang ikut memperhatikan desain undangan di layar laptop juga kagum. “Kalau aku menikah, mau juga dong dibikinin undangan seperti ini,” ujarnya.

“Ah kau ini. Pacar saja belum punya malah sudah mikir nikah,” ledek Kiki.

Sementara itu Meyleen yang memperhatikan diskusi justru lebih tertarik pada cara Dion menjelaskan konsep desain.

Baginya, pemuda itu memiliki kemampuan komunikasi yang sangat baik. Dion selalu berbicara sambil menatap lawan bicaranya. Matanya seakan ikut tersenyum setiap kali kalimat terucap dari bibirnya.

Dion yang berbicara sangat berbeda dengan Dion yang sedang diam. Pada keadaan diam, pemuda itu terkesan dingin bahkan mengintimidasi. Postur jangkung berotot ditambah bekas luka di wajah, menghadirkan rasa segan pada orang di sekitarnya. Tapi begitu ia bicara, perbedaannya kontras. Berubah 180 derajat.

Meyleen juga menyukai pemilihan kata-kata Dion yang dia anggap sangat efisien dan berwawasan luas. Padahal pemuda itu hanyalah tamatan sekolah tinggi swasta tak terkenal di Kota Medan.

Gaya bicaranya tak selalu seperti kebanyakan orang di kota itu. Dion seolah memiliki tombol switch yang otomatis mengubah gaya bicara pasaran ke semi formal.

Bagi Meyleen, Dion tak ubahnya bunglon. Bisa tiba-tiba ‘Njawani’ di antara orang Jawa. Semenit kemudian tiba-tiba ‘Pakkat’ berkomentar dalam bahasa Tapanuli. Lalu menjadi ‘Strine’ ketika berbicara dalam bahasa Inggris, bahkan bernada ‘Min Nan’ ketika bercengkerama dengan orang-orang beretnis Tionghoa di kantor.

Meskipun kebanyakan menggunakan Melayu-Medan, Meyleen juga pernah mendengar Dion menggunakan dialek Melayu-Ambon ketika berbicara dengan sekelompok mahasiswa theologi dari timur Indonesia yang beraudiensi ke kantor mereka beberapa hari lalu untuk mengikuti kompetisi paduan suara tingkat nasional di Medan.

Sementara Meyleen sendiri, masih terjebak dengan ‘Singlish’-nya dan bahasa Indonesia formal yang dikomentari Dion lebih mirip dialog sinetron TVRI.

“Tak susah baginya untuk mendekati siapapun. Sangat mudah untuk menyukainya. Bagaimana mungkin pacarnya meninggalkannya?” pikir Meyleen larut dalam lamunan memikirkan isu yang beredar di kantor mengenai Dion.

“Wah, calon istriku pasti akan suka ini. Aku ingin menunjukkannya padanya,” ujar Kiki membuyarkan lamunan Meyleen.

Diskusi mengenai desain undangan itu akhirnya terhenti ketika pesanan makan siang mereka sudah terhidang. Keempatnya kemudian melanjutkan obrolan sambil menyantap makan siang.

“Begini Bang. Mengenai ide menjadi media partner maraton itu,” Dion memancing ingatan Kiki.

Keponakan Sutan Azhari itu tersenyum gembira. “Oh tentu saja. Rabu ini kita akan mengadakan rapat internal dan Jumat akan ada pertemuan dengan pihak sponsor membicarakan program apa saja yang akan diikutkan dalam event itu. Jadi kuharap kalian ikut rapat Rabu nanti.”

“Kok pakai kalian, Bang? Maksudnya Meyleen, toh? Aku kan cuma peserta lari maraton,” protes Dion.

“Oh, oke. Meyleen sudah punya rencana atau strategi publikasi?” Kiki beralih pada Meyleen membuat gadis itu kelabakan karena tidak siap dengan jawabannya.

Dion menyadari Meyleen masih mengumpulkan jawaban, mendahuluinya,“Strateginya kita mulai dari yang biasa saja, Bang.”

“Kita perlu membuat press release setelah rapat dengan sponsor dengan mengundang beberapa media cetak. Kalau budget-nya mencukupi kita undang juga radio dan televisi lokal,” cetus Dion yang ingin menyelamatkan Meyleen yang masih tidak siap dengan jawabannya.

“Menurutku kita perlu menggandeng salah satu stasiun radio untuk menjadi media partner juga. Kudengar para eksekutif muda gemar mendengarkan radio di mobilnya,” lanjut Dion.

Mata Kiki segera saja berpaling pada Dion. Ia tertarik dengan ide pemuda itu. “Aku suka ide soal radio itu. Tapi aku tak terlalu yakin dengan media cetak lain. Tahun lalu kami mengirimkan press release dan undangan, hanya tiga media cetak yang hadir.”

“Oh! Kita bisa paksa mereka dengan suka rela, Bang,” timpal Dion.

“Paksa dengan sukarela? Bagaimana pula itu?” tanya Kiki heran.

“Tahun lalu, pasti panitia mengirimkan undangan dan press release ke kantor redaksi kan?” tebak Dion.

“Iya. Kami menggandeng surat kabar nasional sebagai media partner, jadi mereka yang mengatur rilis berita,” jawab Kiki.

“Nah di situ masalahnya. Setiap hari itu ada ratusan surat masuk ke kantor redaksi. Sangat mudah untuk terlewatkan,” ujar Dion.

“Jadi harus bagaimana?” tanya Kiki lagi.

“Rilis beritanya jangan dikirimkan ke kantor redaksi. Tapi dibagikan kepada wartawan-wartawan olahraga. Tak perlu susah-susah mencari dan mengumpulkan. Mereka biasanya nongkrong di kantor KONI. Kita bagi rilisnya dalam amplop. Dengan begitu mereka secara terpaksa menerbitkan berita itu karena tanggung jawab moral,” jelas Dion sembari memberi gestur tanda kutip dengan jari kedua tangan ketika menyebut kata ‘amplop’.

Kiki tertawa sambil geleng-geleng kepala. “Aha! Mirip-mirip dunia politik. Cerdik kau Dion.”

“Tanggung jawab moral? Kenapa bisa terpaksa, Dion?” tanya Meyleen yang tidak mengerti dengan penjelasan Dion sebelumnya.

“Rilis itu diberikan dalam amplop yang tentunya berisi sejumlah fulus. Mereka akan senang menerimanya dan kemudian terpaksa menerbitkan rilis berita itu karena amplopnya sudah diterima,” jelas Dion disertai tawa Kiki.

Meyleen yang akhirnya mengerti maksud Dion pun akhirnya mengangguk. “Tapi bukannya itu namanya suap?”

“Suap kalau dimaksudkan untuk menutupi suatu kesalahan. Nah ini kan untuk niat baik,” timpal Kiki lalu menyuapkan makan siangnya.

Ide Dion membuat Kiki senang. “Pihak sponsor akan senang bila kita bisa menjamin penetrasi publikasi.”

 “Ah, makanya Dion harus ikut rapat Rabu nanti. Kalau bukan untuk membantuku, yah hitung-hitung membantu Meyleen,” ajak Kiki tapi juga sedikit menyindir.

Melihat Meyleen sedikit tertunduk, Kiki merasa perlu memberi penjelasan tambahan. “Bukannya apa-apa Mbak Mey. Maaf kalau asumsiku salah, tapi sepertinya Mbak ini masih baru dengan dunia pers.”

Meyleen merasa tersudut tapi dengan lapang dada harus membenarkan kata-kata Kiki. “Iya bang. Baru beberapa bulan,” sahutnya.

“Tidak apa-apa Mbak. Aku dulu malah lebih konyol ketika berurusan dengan orang-orang pers. Perlahan akan terbiasa juga. Makanya tanya-tanya dengan Dion,” ujar Kiki kemudian.

“Abang ini bagaimana? Aku kan bukan wartawan, aku hanya seorang desainer,” protes Dion.

“Halah, sama saja, toh? Jadi kau tak mau bantu Meyleen? Mau bantu Astrid saja?” Kiki kini berseloroh.

“Mau lah bang. Siapa yang tak mau bantu wanita cantik, sekali dua pula. Eh, kalau Mbak Astrid mau dibantuin apa?” tanya Dion. Astrid pun tertawa mendengar guyonan Dion.

Keempatnya masih terlibat dalam pembicaraan ringan sebelum akhirnya Kiki harus pamit terlebih dahulu karena kesibukan kantornya.

“Wah, sayang sekali. Aku sudah ada janji ngopi dengan beberapa orang. Oh iya, aku akan telepon Dion bila sudah memiliki waktu tepat untuk mendiskusikan pencetakan undangan,” pungkasnya sesaat sebelum meninggalkan Dion dan Meyleen.

...***...

“Aku senang datang ke sini bersamamu. Aku tak tahu harus menjawab apa tadi,” Meyleen terkenang saat ia kelabakan menjawab pertanyaan Kiki.

“Namanya juga baru. Tak lama lagi, Meyleen akan jadi ahlinya,” hibur Dion yang tak ingin Meyleen berkecil hati.

“Trus mengenai rilis berita dan amplop itu bagaimana? Maksudnya siapa yang akan menyiapkan dananya?” tanya Meyleen.

“Kita akan mengetahuinya pada rapat berikut. Apakah panitia menyediakan dana publikasi atau kita sebagai media partner yang harus mengusahakannya sendiri,” jelas Dion.

Kata-kata Dion itu membuat Meyleen terdiam sejenak berpikir.

“Mungkin Meyleen harus meminta dana tambahan untuk kegiatan marketing kali ini. Bayangkan peluang kita, ini kesempatan bagus untuk menaikkan brand value karena profil peserta yang disasar adalah para eksekutif muda. Meyleen bahkan bisa menyusun program promosi khusus untuk itu.”

Meyleen yang sedari tadi terlihat lesu jadi bersemangat dengan penjelasan Dion.

“Ah, bagaimana aku bisa melewatkan pemikiran seperti yang kau katakan tadi? Aku malah mengkhawatirkan diriku untuk menghadapi orang-orang pers.” Meyleen menatap Dion dengan rasa penuh syukur. Ia sudah punya ide-ide untuk program promosi.

“Jangan khawatir. Karena Meyleen kan sudah jadi orang pers. Soal rilis, kan tinggal diskusi dengan Bang Amri dan redaktur olahraga, seorang wartawan akan ditunjuk untuk menanganinya.”

“Meyleen pikirkan program promosinya saja. Aku akan konsentrasi dengan maraton,” jelas Dion membuat Meyleen tersenyum lega.

“Hari ini kamu latihan tinju?” tanya Meyleen setelah sesaat.

“Hari ini aku nge-gym, kan hari Senin,” jawab Dion.

“Workout apa hari ini?” tanya Meyleen kemudian.

“Strength training. Mau fokus ke upper body soalnya sudah sebulan aku fokus ke kaki dan paha,” jelas Dion.

“Sore ini aku sudah ada janji bertemu dengan pemilik gym-mu,” ungkap Meyleen.

“Oh! Marketing sejati nih Meyleen,” Dion sedikit meledek.

“Kita barengan, ya?”

“Boleh. Eh, tapi aku tadi tak bawa tas gym. Aku harus kembali ke indekos. Kita bisa bertemu di sana.”

“Aku antar kamu ke kosan, setelah itu kita ke gym barengan.”

“Tempatku jelek dan sumpek. Maklum cuma kos murah dan massal,” Dion coba menolak penawaran Meyleen.

“Tak mengapa. Aku perlu dengan Dion bukan dengan indekosnya.”

Dion menatap Meyleen sejenak. Pemuda itu merasa Meyleen menilainya terlalu tinggi. “Ah mungkin sebaiknya dia tahu keadaanku sesungguhnya supaya dia tidak salah duga,” gumam Dion dalam hati.

Keduanya pun menuju indekos Dion setelah menghabiskan minuman masing-masing.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!