Penasaran dengan ceritanya yuk langsung aja kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17: Perangkap di Balik Tinta
Pagi itu, suasana di lokasi proyek Sektor 12-B terasa begitu cerah, namun bagi Aris, langit seolah tertutup mendung saat seorang pria bersetelan necis dengan tas koper kulit mahal melangkah masuk ke area konstruksi yang becek. Pria itu bukan seorang pekerja, ia adalah kurir hukum yang membawa sebuah amplop putih tebal dengan segel resmi.
"Pak Aris?" tanya pria itu dingin. "Saya dari firma hukum yang mewakili Grup Mahakarya. Ini adalah surat perintah penghentian sementara kegiatan konstruksi (Cease and Desist) dan gugatan atas pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual."
Aris mengerutkan kening, menerima amplop itu dengan tangan yang masih kasar karena debu semen. "Pelanggaran intelektual? Apa maksudnya?"
"Grup Mahakarya mengklaim bahwa teknik Laminasi Bambu Hibrida dan sistem Pondasi Cakar Ayam Terintegrasi yang Anda gunakan adalah rahasia dagang milik perusahaan yang dikembangkan saat Anda masih menjabat sebagai Kepala Desain di sana. Anda tidak memiliki hak untuk menggunakan teknologi tersebut tanpa izin tertulis dari pemegang saham."
Yudha, yang baru saja tiba, segera menyambar dokumen tersebut. Matanya membelalak saat membaca tuntutan di dalamnya. "Ini gila! Baskoro meminta ganti rugi sebesar lima puluh miliar rupiah atau penyerahan seluruh kepemilikan bangunan ini kepada Grup Mahakarya sebagai kompensasi."
Aris terhuyung sejenak. Ini adalah serangan yang cerdik. Baskoro tahu bahwa secara fisik ia tidak bisa lagi meruntuhkan bangunan itu karena tekanan publik, jadi ia mencoba "mencurinya" lewat jalur hukum. Jika Mahakarya menang, Rumah Senja akan disita dan kemungkinan besar akan diubah fungsinya menjadi aset komersial mereka kembali.
"Mereka ingin memenjarakan ideku," bisik Aris parau.
"Kita tidak boleh berhenti bekerja, Pak," tegas Hendra. "Jika kita berhenti sekarang, semangat warga akan hancur."
"Jika kita lanjut, kita melanggar perintah pengadilan dan saya bisa dipenjara, Hendra," jawab Aris. "Baskoro tahu aku tidak punya cukup waktu untuk menjalani proses pengadilan selama bertahun-tahun."
Malam itu, Aris kembali terjaga di mejanya. Ia tidak sedang menggambar, melainkan membongkar tumpukan jurnal lamanya dari tahun 1990-an. Ia mencari bukti bahwa teknik yang ia gunakan bukan dikembangkan di Mahakarya, melainkan hasil riset pribadinya yang ia biayai sendiri jauh sebelum ia bergabung dengan perusahaan itu.
Di tengah keputusasaan, Maya datang membawa kabar dari "dalam" Mahakarya. "Pak Aris, saya menemukan sesuatu di server lama perusahaan. Baskoro sebenarnya sudah mematenkan desain Bapak atas nama pribadinya setahun lalu, dengan memalsukan tanda tangan Bapak pada dokumen persetujuan."
Mata Aris menyipit. "Tanda tangan palsu?"
"Ya. Dia sudah merencanakan ini sejak lama. Dia menunggu bangunan ini hampir jadi agar nilainya maksimal saat dia rebut," lanjut Maya. "Tapi ada satu masalah. Dokumen asli yang mengandung tanda tangan Bapak yang asli—atau bukti pemalsuan itu—disimpan di dalam brankas fisik di ruang arsip rahasia lantai 42."
Pertaruhan ini semakin berbahaya. Aris kini harus memilih: bertarung di pengadilan yang lambat, atau melakukan sesuatu yang nekat untuk mengambil kembali haknya.
Di sisi lain, kondisi fisik Aris semakin mengkhawatirkan. Batuknya mulai mengeluarkan bercak darah, sebuah tanda bahwa senjanya mungkin akan datang lebih cepat dari yang ia perkirakan. Namun, setiap kali ia melihat ke arah bangunan bambu yang mulai menjulang itu, ia merasa ada kekuatan sisa yang memaksanya untuk tetap tegak.
"Yudha," panggil Aris. "Berapa lama kita punya waktu sebelum polisi datang untuk menyegel tempat ini?"
"Maksimal empat puluh delapan jam, Pak," jawab Yudha cemas.
"Cukup," ucap Aris tegas. "Dalam empat puluh delapan jam, kita harus membuktikan bahwa pencuri sebenarnya adalah mereka, bukan aku."
Aris menatap buku sketsanya. Di sana, ia menuliskan sebuah kutipan dari seorang arsitek legendaris yang selalu ia kagumi: "Bangunan bisa dihancurkan, tapi ide adalah jiwa yang tak bisa dipenjara."
Ia tahu, babak berikutnya bukan lagi soal beton dan bambu, melainkan soal keberanian untuk membongkar kebohongan di pusat kekuasaan. Aris bersiap untuk kembali ke gedung kaca itu, bukan untuk memohon, melainkan untuk menjemput kebenarannya.