"DAVINNNN!" Suara lantang Leora memenuhi seisi kamar.
Ia terbangun dengan kepala berat dan tubuh yang terasa aneh.
Selimut tebal melilit rapat di tubuhnya, dan ketika ia sadar… sesuatu sudah berubah. Bajunya tak lagi terpasang. Davin menoleh dari kursi dekat jendela,
"Kenapa. Kaget?"
"Semalem, lo apain gue. Hah?!!"
"Nggak, ngapa-ngapain sih. Cuma, 'masuk sedikit'. Gak papa, 'kan?"
"Dasaaar Cowok Gila!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raey Luma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nyebelin
"... yang nyebelin dan suka ngatur. Itu... gue dong?" timpal Davin, pipinya merah padam.
Leora tertawa, nadanya sedikit mengejek. "Girang banget. Enggak lah, gue kan lagi ngomongin Rey"
Raut wajah Davin berubah sepersekian detik.
"Davin?" tanya Leora menyadari sesuatu
"Hm?"
"Lo yakin, gak cemburu?"
"Berisik. Gue mau tidur" kata Davin seraya menarik selimutnya.
Leora menatap Davin lama, menunggu respons lain.
Tapi Davin sudah memalingkan wajah, menyelubungi dirinya dengan selimut seperti burrito manusia.
“Vin…” panggil Leora pelan.
Nggak ada jawaban.
“Lo beneran nggak cemburu?”
Diam.
“Davin.”
Hening.
Davin benar-benar stop menanggapi.
Ia tidur membelakangi Leora, bahunya naik turun pelan, tanda ia sedang mati-matian pura-pura tidur.
Leora mendecak pelan. “Cowok aneh.”
Ia akhirnya ikut berbaring, mencoba memejamkan mata.
Tapi matanya sama sekali tak mau terpejam.
Ia menatap jendela berkali-kali.
Hujan semakin deras, rintiknya membentur kaca seperti jari-jari mengetuk.
Setiap kali kilat menyala, bayangan pepohonan tampak seperti sosok bergerak.
Leora menggigit bibir.
“Kenapa gelapnya beda banget malam ini…” gumamnya, memeluk selimut.
Di sisi lain, Davin sudah bernapas teratur.
Lelap.
Benar-benar lelap.
“Astaga, lo tidur nyenyak banget padahal gue lagi takut setengah mati…” keluh Leora lirih.
Ia mencoba membangunkan Davin dengan menyentuh bahunya pelan.
“Vin… Vin bangun bentar…”
Davin hanya bergumam tidak jelas dan kembali tenggelam dalam tidurnya.
Leora menatapnya lama.
Seriusan, nih cowok tidur kayak batu?
HUJAN MENDADAK MENGGELAGAR—
Lalu, BRAK!
Petir besar menyambar, cahayanya memenuhi kamar.
Dan seketika…
Mati lampu.
Gelap.
“Ya Tuhan…” napas Leora tercekat.
Dalam sepersekian detik, garis batas bantal guling tidak ada artinya lagi.
Tanpa berpikir, dan menimbang aturan yang ia buat…
Leora merangkak cepat menembus batas itu, lalu memeluk Davin dari belakang, lengannya melingkar erat di pinggang pria itu.
Davin terbangun setengah sadar, suara seraknya keluar pelan.
“Hah…? Leora?”
Ia menoleh, masih bingung, mata setengah tertutup.
Leora menempel erat seperti koala yang ketakutan, wajahnya terkubur di punggung Davin.
"Diem… gue takut…” ucapnya dengan suara bergetar.
Davin yang masih separuh tidur langsung tersadar penuh.
“…Lo ngelewatin garis,” bisik Davin, suaranya rendah.
“Gue nggak peduli garis! Jangan kemana-mana!” seru Leora, memeluk lebih kencang.
Davin membalik perlahan, kini menghadapnya.
Leora langsung merapat, kedua tangannya mencengkeram kaos Davin erat-erat.
“Gue kaget… petirnya gede banget…” suaranya nyaris menangis.
Davin mengangkat satu tangan, mengusap punggung Leora pelan.
“Hey… gue di sini.”
Nadanya lembut, sampai Leora merasa hangat merayap ke dadanya.
“Jangan tidur,” pinta Leora, masih gemetar.
“Lo mau gue apa? Nyanyi?”
Davin mencoba bercanda, tapi suaranya sendiri terdengar gugup karena Leora terlalu dekat.
“Jangan lari dari dekat gue,” balas Leora cepat.
Davin menahan senyum—wajahnya jelas memerah dalam gelap.
“Gue nggak kemana-mana. Tenang.”
Tangannya berada di punggung Leora, mengusap pelan.
“Tapi… lo beneran ngelewatin garis pembatas kita.”
Leora merapat lebih erat, bibirnya menyentuh dada Davin tanpa sengaja.
“Emang kenapa? Lo mau protes?” desis Leora, masih ketakutan tapi juga… defensif.
Davin hampir tidak bisa bernapas.
“…Nggak,” jawabnya pelan, jujur.
“Gue suka.”
Leora membeku.
Hanya sebentar.
Kemudian ia makin memeluk Davin erat-erat, wajahnya panas, tapi tidak berusaha menjauh.
Davin mengencangkan pelukannya balik—
Dalam gelap itu, Leora berbisik kecil.
“Vin…”
“Hm?”
“Jangan lepasin gue.”
Davin menghela napas, seolah menerima fakta yang sebenarnya ia tunggu-tunggu.
“Gue nggak akan lepasin lo,” jawabnya.
“Sampai lo tidur.”
Dan kali ini,
Davin tidak menambahkan apa-apa lagi.
Ia hanya memeluk Leora diam-diam…
membiarkan momen itu bertahan lama
sebelum akhirnya hujan menenangkan, dan Leora perlahan terlelap di dadanya.
Setelah beberapa saat, Leora tertidur begitu pulas dalam pelukan itu—bahunya menempel di dada Davin, napasnya hangat menyentuh kulit lehernya.
Sementara Davin? Jantungnya berdetak tidak karuan. Sekeras apa pun ia mencoba menenangkan diri, tubuhnya bereaksi seperti lelaki normal berusia delapan belas tahun.
Naluri prianya muncul dengan sendirinya. Namun Davin menahan semuanya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari celah untuk perlahan menggeser tangan Leora.
“Sedikit saja…” gumamnya pelan, hampir tanpa suara.
Namun saat ia mencoba melepaskan diri, tangan Leora justru semakin mengencang. Pergerakannya membuat tubuh Davin berbalik, dan kini wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter. Begitu dekat hingga ia bisa merasakan napas Leora di bibirnya.
Davin membeku.
Leora masih tertidur… tapi posisi itu? Tuhan. Dia tidak siap.
“Lo bikin gue gila…” bisiknya, nyaris frustasi.
Mereka memang sudah menikah. Secara hukum, mereka sah. Tapi mereka pernah berjanji: tidak ada yang menyentuh satu sama lain sebelum cinta muncul dengan sendirinya.
Davin menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak yang bahkan ia sendiri malu merasakannya.
Ia kembali menarik napas, perlahan, mencoba menahan diri sebisa mungkin. Satu gerakan kecil dari Leora saja sudah cukup membuat pikirannya kacau.
Tapi pada akhirnya, ia menutup mata… dan membiarkan Leora memeluknya sesuka hati.
Jika ini satu-satunya kedekatan yang bisa ia dapat tanpa melanggar batas yang mereka sepakati, ia akan menjaganya sebaik mungkin.
---
Keesokan harinya...
Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah tirai, menyentuh wajah Leora yang masih terbenam dalam bantal. Ia menggeliat pelan… sampai matanya terbuka sepenuhnya dan
Kosong.
Davin tidak ada.
Ia langsung terduduk, rambutnya berantakan, selimut melorot sampai pinggang. Astaga… jam berapa ini? Leora menoleh ke jam dinding.
Pukul 09:40.
“YA AMPUN! Gue terlambat—”
Teriakannya terhenti ketika ia melihat segelas air dan obat flu yang sudah disiapkan rapi di meja kecil di samping tempat tidur. Bahkan selimutnya pun sudah ditarik hingga menutupi kaki dengan rapi, seolah seseorang memastikan ia tetap hangat sebelum pergi.
Dengan jantung masih panik, Leora meraih ponselnya.
Satu pesan belum dibaca dari Davin.
Ia membuka.
Dari Davin:
Gue pergi pelan-pelan supaya lo gak bangun. Sorry kalau lo kaget pas lihat gue nggak ada.
Sebelum berangkat, gue cek dulu suhu tubuh lo, dan masih hangat.
Lo belum membaik, jadi jangan masuk sekolah dulu hari ini.
Lagipula, kelas juga nggak serius. Anak-anak lain sibuk persiapan turnamen dan lomba antar sekolah.
Istirahatlah.
Perasaan hangat merayap pelan ke dada Leora.
Orang lain mungkin akan menyuruh dengan nada memerintah. Tapi Davin selalu begitu… lembut, tenang, penuh pertimbangan. Bahkan ketika ia tidak berada di dekatnya, ia tetap memastikan Leora baik-baik saja.
Leora memandang sekitar kamar, mencoba mengingat sesuatu. Malam tadi… ia ingat betul dirinya jatuh tertidur dengan memeluk Davin.
Wajahnya memanas.
“Gue semalem ngapain ya?” gumamnya malu sendiri.
Dia menaruh ponsel di dada sambil menutupi wajah dengan tangan. Rasanya ingin menghilang dari rasa malu, tapi bagian dalam dirinya merasa… aman. Nyaman. Disayang.
Sambil menghela napas panjang, Leora membaca ulang pesannya—dan tanpa sadar, tersenyum.
“Btw makasih, Vin..."
Tak berapa lama dari itu, Bi Marni muncul dari pintu, menyiapkan pakaian ganti berikut dengan sarapan hangat yang sudah ia buat.
"Non, ini baju ganti kalo mau mandi. Setelah itu, sarapan nya di makan ya" kata Marni, menata semuanya dengan rapi.
"Perintah dari Davin lagi?"
"Haduh, Non. Udah tau aja sekarang," jawabnya dengan lembut.
"Tapi serius Bi... Dia belajar dari mana cara rawat orang lain? Sementara dia aja enggak punya sodara, bahkan sama orang tuanya pun keliatan jauh" ucap Leora penasaran
Bi Marni terkekeh kecil sambil membereskan lipatan handuk.
“Anak itu ya, Non… kelihatannya cuek, tapi hatinya lembut banget. Dari dulu memang begitu.”
Leora duduk di tepi kasur, memeluk bantal sambil menatap Bi Marni penuh rasa penasaran.
“Tapi masa sih? Aku aja baru tahu dia bisa sepeduli ini…”
Bi Marni menatap Leora sejenak, lalu tersenyum.
“Davin itu… dari kecil selalu berusaha jaga orang lain. Mungkin karena ngerasa dia sendiri nggak dijagain.”
Leora terdiam.
Perkataan itu menampar sesuatu di dalam dirinya.
“Dia nggak pernah cerita banyak,” gumam Leora, menunduk.
“Memang,” sahut Bi Marni lembut. “Dia orangnya begitu. Kalau sakit, diem. Kalau sedih, ditahan. Kalau sayang…” ia berhenti lalu menatap Leora lebih dalam, “dia tunjukin lewat tindakan.”
Jantung Leora berdebar aneh.
“Sayang apaan, Bi… mana ada.”
Bi Marni cuma senyum—senyum yang bikin Leora makin salah tingkah.
“Ya sudah, Non. Lekas mandi dulu. Sarapan nanti dingin. Kalau pusingnya kumat, bilang ke Bibi.”
“Bi…” panggil Leora, sebelum wanita itu keluar kamar.
“Hm?”
“Dia… bilang apa lagi sebelum pergi?”
Bi Marni tersenyum ringan, ragu.
“Cuma satu hal, Non.”
“Apa?”
“Tolong jagain Leora kalau aku nggak ada.”
Leora tercekat.
Jari-jarinya yang memegang bantal perlahan melemah.
Davin bilang begitu?
Dengan suara seperti itu?
Selembut itu?
Bi Marni kemudian menambahkan dengan ekspresi hangat namun penuh kepastian, “Saya baru lihat Davin kayak gitu ke satu orang. Non Leora.”
*kenapa di novel2 pernikahan paksa dan sang suami masih punya pacar, maka kalian tegas anggap itu selingkuh, dan pacar suami kalian anggap wanita murahana, dan suami kalian anggap melakukan kesalahan paling fatal karena tidak menghargai pernikahan dan tidak menghargai istrinya, kalian akan buat suami dapat karma, menyesal, dan mengemis maaf, istri kalian buat tegas pergi dan tidak mudah memaafkan, dan satu lagi kalian pasti hadirkan lelaki lain yang jadi pahlawan bagi sang istri
*tapi sangat berbanding terbalik dengan novel2 pernikahan paksa tapi sang istri yang masih punya pacar, kalian bukan anggap itu selingkuh, pacar istri kalian anggap korban yang harus diperlakukan sangat2 lembut, kalian membenarkan kelakuan istri dan anggap itu bukan kesalahan serius, nanti semudah itu dimaafkan dan sang suami kalian buat kayak budak cinta dan kayak boneka yang Terima saja diperlakukan kayak gitu oleh istrinya, dan dia akan nerima begitu saja dan mudah sekali memaafkan, dan kalian tidak akan berani hadirkan wanita lain yang baik dan bak pahlawan bagi suami kalau pun kalian hadirkan tetap saja kalian perlakuan kayak pelakor dan wanita murahan, dan yang paling parah di novel2 kayak gini ada yang malah memutar balik fakta jadi suami yang salah karena tidak sabar dan tidak bisa mengerti perasaan istri yang masih mencintai pria lain
tolong Thor tanggapan dan jawaban?