NovelToon NovelToon
Ishen World

Ishen World

Status: sedang berlangsung
Genre:Menjadi Pengusaha / Fantasi Isekai / Anime
Popularitas:65
Nilai: 5
Nama Author: A.K. Amrullah

Cerita Mengenai Para Siswa SMA Jepang yang terpanggil ke dunia lain sebagai pahlawan, namun Zetsuya dikeluarkan karena dia dianggap memiliki role yang tidak berguna. Cerita ini mengikuti dua POV, yaitu Zetsuya dan Anggota Party Pahlawan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon A.K. Amrullah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Duka dan Konspirasi

Akhirnya, setelah perjuangan yang keras dan tidak rapi, sisa 16 Goblin General berhasil ditumbangkan satu per satu.

Tubuh mereka roboh di lantai dungeon, meninggalkan bau darah dan suara napas terengah dari para pahlawan yang kelelahan.

Hanabi langsung berlari ke tubuh Hanzo, menjatuhkan diri sambil memeluknya. “Tolong bangun… Hanzo… aku mohon…” Suaranya patah. Panas. Mengoyak.

Kaito memalingkan wajah, matanya memerah. Hikari menggertakkan gigi sambil memukul tanah.

Ryunosuke hanya berdiri terpaku. “Dia nggak mungkin mati secepat itu… dia Hanzo…”

Putri Sena duduk bersimpuh, memegang tangannya sendiri yang gemetar.

Rey dan Lisa memeriksa tubuh Hanzo. Mereka tahu benar bahwa luka itu terlalu dalam untuk diselamatkan.

Lisa menarik napas panjang. “Ini bukan luka biasa. Ada sesuatu yang… membuatnya lebih lambat dari seharusnya.”

Rey menatap tubuh Hanzo, lalu menatap para pahlawan muda yang tersisa. “Kalau kita tidak turun tangan tadi, mungkin lebih dari satu orang yang tumbang.”

Tak ada yang menjawab.

Dan Kaede, yang berdiri paling belakang, hanya memandangi mereka semua dengan senyum tipis, seolah menikmati kekacauan kecil yang berhasil ia ciptakan tanpa seorang pun curiga.

Kemenangan atas 17 Goblin General seharusnya menjadi titik sorak. Namun yang tersisa hanyalah napas terengah, bau darah, dan jeritan batin yang tak terucapkan.

Tubuh Hanzo tergeletak di tengah medan pertempuran. Nyawanya padam sebelum siapapun sempat menyadari apa yang menahannya dari bergerak.

Ryunosuke, yang baru saja menurunkan tongkat sihirnya, berjalan perlahan mendekati tubuh tersebut. Suaranya pecah saat berkata, “Kenapa… kenapa Hanzo bisa mati secepat itu? Dia itu… Hanzo, kan? Dia nggak pernah kalah dalam duel latihan.”

Tak seorang pun menjawab.

Karena tidak ada jawaban yang masuk akal.

Kaede berdiri beberapa langkah di belakang mereka. Wajahnya tetap datar,tampak seperti seseorang yang hanya kelelahan setelah bertarung. Namun di bibirnya… ada senyum kecil. Samar. Nyaris tak terlihat.

Senyum seseorang yang tahu ia telah melakukan sesuatu… dan lolos tanpa dicurigai.

Hanabi masih berjongkok di samping Hanzo, tubuhnya bergetar hebat. Air matanya sudah membanjir, dan ia bahkan tak sadar bahwa tangannya yang penuh darah meremas bahu Hanzo berkali-kali. “Bangun… Hanzo… tolong bangun…” katanya lirih. Napasnya tersengal seperti seseorang yang hampir pingsan karena syok.

Kaito memalingkan wajah, tidak sanggup melihat lebih lama. Sementara Hikari hanya menggenggam tongkatnya erat-erat hingga buku jarinya memutih.

Rey dan Lisa, yang tadinya hanya pengawas, langsung berlari begitu melihat Hanzo sudah tidak bergerak. Wajah Rey benar-benar pucat. Lisa bahkan tersungkur di samping tubuh Hanzo, berusaha memeriksa denyut nadi dengan tangan yang gemetar.

“Apa… apa yang terjadi dengan dia…?” Lisa melirik Rey, kebingungan menyelimuti sorot matanya.

Rey menatap luka besar di tubuh Hanzo, tebasan pedang besar Goblin General yang seharusnya bisa ia hindari jika ia bergerak normal. Bahkan saat level rendah pun, Hanzo terkenal paling cepat di tim. Paling sulit disentuh. Paling licin.

Tapi yang tergeletak di depannya sekarang… penuh luka yang terlalu dalam, terlalu fatal untuk ukuran pahlawan.

“Dia bukan tipe orang yang tertangkap begitu saja…” gumam Rey. Itu bukan analisa. Itu penolakan. Sesuatu dalam dirinya tidak bisa menerima kejatuhan Hanzo begitu cepat.

Lisa mencoba Healing Spell dasar yang ia kuasai, cahaya hangat menyelimuti luka Hanzo, namun efeknya sama sekali tidak mempan. Tidak ada respon tubuh. Tidak ada detak. Tidak ada apa-apa.

“Tidak masuk akal…” Lisa berbisik. “Dia terkena sesuatu sebelum serangan itu masuk… aku yakin.” Matanya menyapu tubuh Hanzo.

Lalu ia melihatnya:

Aura sisa slow effect yang menyelimuti kaki dan lengan Hanzo.

Dan debuff armor yang masih samar terlihat di dada.

“Rey…” suara Lisa melemah. “Dia… dia diperlambat. Parah. Dan armornya… seolah dipaksa turun.”

Ryunosuke tersentak. “Tapi siapa yang bisa kasih debuff? Monster tadi tidak punya skill seperti itu!”

Kouji, yang masih memeluk Hanabi agar tidak histeris sampai melukai dirinya sendiri, mendongak. Matanya merah. “Jadi apa maksudmu? Hanzo dibunuh… bukan oleh goblin?”

Tidak ada yang menjawab.

Tidak ada yang berani menuduh.

Tapi ketakutan mulai merayap di antara mereka.

Putri Sena berjalan perlahan mendekat, lututnya bergetar. Ia berjuang keras selama pertarungan, pedangnya masih meneteskan darah. Ia menatap Hanzo dalam-dalam, seolah berharap ini semua hanyalah ilusi.

“Dia… mati karena apa? Hanzo itu… dia selalu… lebih cepat dari siapapun…” suaranya pecah di tengah kalimat.

Sena menutup mulutnya dengan kedua tangan, berusaha menahan tangis, namun air mata mengalir juga. “Kalau dia saja… bisa mati… kita ini apa…?”

Lalu Lisa melihat sosok berpakaian hitam yang melarikan diri dengan cepat "DIA!!"

Sosok itu menghilang dan mereka semuanya mengira bahwa debuff itu dari sosok itu, dan kecurigaan mereka terhadap Kaede yang juga bisa memberikan skill debuff pun menghilang.

Kesunyian jatuh seperti kabut malam.

Keheningan yang menusuk sampai tulang.

Di belakang mereka, Kaede berdiri tanpa suara. Senyum tipis itu tetap ada. Sangat kecil. Tapi cukup untuk menggambarkan bahwa ia menikmati kekacauan ini. Tidak ada satu pun dari mereka yang menoleh padanya. Tidak ada yang memperhatikan bahwa kedua tangannya bersih, rapi, tenang… seakan tidak baru saja mengirim nyawa seseorang ke kematian.

Rey akhirnya bangkit dan menatap seluruh party.

“Aku tahu ini berat,” katanya dengan suara serak. “Tapi jika kita berhenti di sini… mati satu lagi pun tidak akan ada artinya.” Ia menarik napas panjang. “Kita harus bergerak. Kita harus terus maju.”

Lisa berdiri di sampingnya. Meski matanya memerah, ia mengangguk. “Kita pastikan tidak ada lagi yang jatuh seperti Hanzo. Aku janji.”

Kaito, Tomoe, Hikari, dan semua yang lain sama-sama terdiam dalam kesedihan.

Kaito memukul tanah dengan keras. Hanabi hanya menangis tanpa suara, wajahnya terkubur di dada Hanzo.

Putri Sena mengusap air matanya dengan punggung tangan. “Siapa pun…” suaranya bergetar penuh amarah, “siapa pun yang membuat Hanzo jadi seperti ini… dia akan menanggung balasannya.”

Dan jauh di belakang mereka, Kaede tetap tersenyum.

Senyum tipis yang menandai permulaan tragedi yang lebih besar.

Malam Sebelum Kejadian....

Di luar penginapan milik Gerald dan Lili, malam terasa begitu mati. Angin dingin berembus lirih, membawa aroma tanah basah dan kesunyian yang menusuk. Di antara bayangan bangunan, berdirilah Kaede Hasegawa, tubuhnya hampir menyatu dengan gelap. Matanya memantulkan cahaya bulan seperti sepasang pisau tipis, dingin, tajam, dan penuh perhitungan.

Ia tidak pernah keluar malam kalau tidak perlu. Tapi malam ini…

Ia menunggu sesuatu. Atau… seseorang.

Sebuah langkah ringan mencabik kesunyian.

Dari lorong sempit di samping penginapan, muncul sosok berjubah hitam. Tudungnya menutupi wajah, hanya menyisakan bayangan pekat yang menelan identitasnya. Ketika berbicara, suaranya terdengar seperti bisikan yang merayap masuk ke tulang belakang.

“Kaede Hasegawa… tetap disiplin seperti biasa. Kau datang tepat waktu.”

Kaede tidak bergeming. Tangannya tetap terlipat di balik jubahnya, tetapi rahangnya mengeras sedikit, satu-satunya tanda ia sedang waspada.

“Pastikan ini berharga untuk waktuku.”

Suaranya datar, namun mengandung ancaman halus.

Sosok itu tertawa kecil.

Bukan tawa yang wajar.

Lebih seperti suara retakan kaca yang dipaksa.

“Oh, percayalah… ini lebih berharga dari apa pun yang pernah kau sentuh.”

Dari balik jubahnya, ia mengeluarkan sebuah kalung. Liontin berbentuk mata menangis darah menggantung, berdenyut pelan seperti memiliki nadi sendiri. Cahaya merah gelap berkedip tipis di permukaannya setiap kali terkena sinar bulan.

Kaede menatapnya.

Tatapannya bukan kagum, bukan takut, tapi memperhitungkan segala kemungkinan.

“Kalung itu…”

Ia menyipitkan mata.

“Apa benar bisa meningkatkan kekuatanku?”

Sosok berjubah mendekat, gerakannya lebih sunyi dari bayangan sendiri.

“Tidak hanya meningkatkan kekuatan.”

Ia memutar liontin itu, seolah memperkenalkan artefak terlarang.

“Ini akan melompati batasmu. Memberi celah yang tidak bisa dilihat orang lain… tidak bisa diukur orang lain.”

Kaede berhenti bernapas sejenak.

Jadi… levelnya melonjak, tapi tak ada yang bisa mendeteksi.

Keuntungan yang sempurna.

“Kenapa aku?” Kaede bertanya, suaranya pelan tapi penuh kedalaman.

“Kau pasti tahu ada pahlawan lain yang lebih… menonjol.”

Sosok itu hampir terdengar tersenyum.

“Justru itu. Mereka terlalu bersinar. Kau...”

Ia mengangkat dagu Kaede sedikit dengan ujung jarinya.

“...kau adalah bayangan. Tempat terbaik bagi kegelapan untuk tumbuh.”

Kaede menepis tangannya.

“Aku muak jadi ‘yang diam di belakang’.”

Nada suaranya berubah… lebih personal, lebih getir.

“Selalu jadi orang kedua. Selalu dianggap pelengkap. Mereka tidak pernah melihat kemampuanku. Mereka tidak pernah menganggapku ancaman.”

Sosok itu tertawa lagi.

“Dengan ini… mereka akan mengingat namamu sampai akhir dunia.”

Ia mendekat, suaranya berubah menjadi bisikan beracun:

“Dan kematian pertama... akan menjadi milikmu.”

Kaede terdiam.

Bukan ragu.

Bukan takut.

Lebih ke… menikmati sebuah keputusan berbahaya.

Ia mengambil liontin itu. Begitu logamnya menyentuh kulitnya, sesuatu langsung menyambar masuk dingin, cepat, dan memabukkan. Rasanya seperti kekuatan merembes ke dalam tulangnya, mengisi setiap rongga tubuhnya dengan energi asing yang liar.

Matanya sedikit melebar.

Bukan terkejut, tetapi… puas.

Levelnya, ia merasakan itu, melonjak.

Meningkat.

Kekuatan otot, fokus mana, sensitivitas sihir… semuanya naik.

Tapi tidak ada alarm.

Tidak ada cahaya.

Tidak ada tanda siapa pun bisa mendeteksinya.

Sempurna.

Ia menarik napas panjang, menenangkan denyut liar di tubuhnya.

“Permainan ini…”

Kaede tersenyum tipis, senyum yang tidak pernah ia tunjukkan pada siapa pun.

“…akhirnya menarik juga.”

Sosok berjubah itu mundur ke dalam bayangan, tubuhnya menghilang seolah ditelan kegelapan.

“Mulailah dengan sebuah retakan kecil, Kaede. Retakan yang akan menghancurkan mereka dari dalam.”

Kaede membalikkan badan, melangkah pergi tanpa menoleh.

Di bawah cahaya bulan, wajahnya tidak menunjukkan keraguan.

Hanya tekad yang dingin, dan secercah ambisi yang selama ini ia pendam sendirian.

Malam itu, seorang pahlawan tidak lagi berjalan di jalur yang sama.

Malam itu, Kaede Hasegawa mengambil langkah pertamanya menuju pengkhianatan.

Dan tidak ada seorang pun yang tahu bahwa ia kini berjalan dengan kekuatan di luar batas level para pahlawan pemula.

Tidak ada yang tahu bahwa permainan sudah dimulai.

Kembali lagi ke saat ini.

Setelah melewati lantai demi lantai, para pahlawan akhirnya mencapai lantai 10. Tidak seperti lantai sebelumnya, tempat ini terasa lebih sunyi dan mencekam. Dinding batu yang menjulang tinggi seakan menekan keberadaan mereka, dan di depan mereka berdiri sebuah gerbang raksasa yang menandakan ujian berikutnya.

Namun, di antara mereka, suasana hati sedang kacau.

"Hah, dasar pecundang. Mati cuma gara-gara goblin? Memalukan!" ucap Satou Ryunosuke sambil tertawa sinis.

Beberapa pahlawan menoleh padanya, tetapi tidak ada yang berani menegurnya secara langsung.

"Ryunosuke, sudah cukup." Kouji akhirnya angkat bicara.

Ryunosuke hanya mendengus.

"Kenapa? Aku cuma bilang fakta. Hanzo? Seharusnya dia tetap di dunia lama, bukan di sini. Dia memang sampah, dan sampah memang seharusnya dibuang."

"Diam!"

Suara teriakan tajam memecah udara dungeon. Semua mata tertuju pada Sasaki Hanabi, yang menatap Ryunosuke dengan mata penuh amarah.

"Beraninya kau menghina Hanzo seperti itu!"

Tangan Hanabi gemetar, bukan karena takut, tetapi karena amarah yang ditahannya. Selama ini, dia selalu menyimpan perasaannya, tidak pernah mengatakannya secara langsung pada Hanzo. Dan sekarang? Orang yang dia cintai telah tiada, bahkan tidak diberikan sedikit pun penghormatan.

Ryunosuke hanya tersenyum sinis, seolah menikmati situasi ini.

"Oh? Jadi kau mencintai pria lemah seperti dia? Betapa menyedihkan."

Hanabi mengepalkan tangan, hampir saja dia menembakkan panah langsung ke kepala Ryunosuke, tetapi Shimizu Akari segera menahan bahunya.

"Sudah, Hanabi… Aku tahu ini sulit, tapi jangan buat masalah sekarang."

Hanabi menggigit bibirnya, matanya memerah, tetapi akhirnya dia menarik napas dalam-dalam dan berusaha menenangkan dirinya.

Di sisi lain, tanpa mereka sadari… mayat Hanzo sudah tidak ada di lantai 5.

Jack, yang telah diberi peringatan oleh Zetsuya, diam-diam telah mengambilnya.

Dia tahu bahwa di antara para pahlawan pasti ada pengkhianat. Dan seperti dugaan Zetsuya, seseorang telah mati lebih cepat dari yang diharapkan.

Sekarang, sambil membawa tubuh tak bernyawa Hanzo, Jack berjalan kembali ke Eldoria. Satu-satunya harapan yang ada di pikirannya saat ini adalah Nenek Lita.

Di Desa Eldoria, ada seorang wanita tua bijaksana yang dikenal oleh semua penduduk sebagai Nenek Lita. Meski sudah lanjut usia, dia masih kuat dan bersemangat, serta memiliki penguasaan sihir cahaya yang luar biasa.

Namun, yang membuatnya benar-benar spesial adalah kemampuannya yang sangat langka, Resurrection.

Di dunia ini, sihir penyembuhan terbagi dalam beberapa tingkatan:

Heal – Menyembuhkan luka ringan.

Greater Heal – Menyembuhkan luka dalam dan organ.

Area Heal - Menyembuhkan orang yang berada dalam jangkauan area.

Revive – Menghidupkan kembali seseorang yang mati, tetapi tubuh mereka tetap dalam kondisi cedera.

Resurrection – Menghidupkan kembali seseorang dalam kondisi sempurna, seolah tidak pernah mati.

Di antara semua penyihir cahaya, bahkan Saintess dari kerajaan sekalipun, hampir tidak ada yang memiliki Resurrection.

Tetapi Nenek Lita bisa melakukannya.

Zetsuya sering membantu Nenek Lita. Tidak hanya mengantarkan barang, tetapi juga memberikan sabun secara gratis karena dia tahu nenek tua itu sudah terlalu tua untuk bekerja keras mendapatkan uang.

Nenek Lita menyukai Zetsuya. Bukan hanya karena dia baik, tetapi karena dia melihat ada sesuatu yang spesial dalam diri pemuda itu, sesuatu yang orang lain belum sadari.

Karena itu, apapun yang diminta Zetsuya, Nenek Lita pasti akan menuruti.

Dan sekarang, Jack membawa kabar buruk, bersama tubuh Hanzo yang tak bernyawa.

Bagaimana Nenek Lita akan merespons permintaan ini?

Bisakah Hanzo benar-benar kembali dari kematian?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!