NovelToon NovelToon
Pada Ibu Pertiwi Kutitipkan Cintaku

Pada Ibu Pertiwi Kutitipkan Cintaku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Crazy Rich/Konglomerat / Obsesi / Diam-Diam Cinta
Popularitas:237
Nilai: 5
Nama Author: Caeli20

Cintanya itu harusnya menyatukan bukan memisahkan, kan? Cinta itu harusnya memberi bahagia bukan duka seumur hidup, kan? Tapi yang terjadi pada kisah Dhyaswara Setta dan Reynald de Bruyne berbeda dengan makna cinta tersebut. Dua orang yang jatuh cinta sepenuh jiwa dan telah bersumpah di atas darah harus saling membunuh di bawah tuntutan. Siapakah yang menang? Tuntutan itu atau cinta mereka berdua?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caeli20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ep. 5 : Ilmu Tingkatan Ke Lima

Malam mulai turun ketika rombongan tentara rakyat dan para anggota padepokan kembali. Langit masih memerah oleh sisa api ledakan yang meluluhlantakkan markas Belanda di pesisir timur. Udara membawa bau asap, tanah basah, dan darah kering yang menempel di pakaian mereka.

Api obor di halaman padepokan bergoyang pelan ditiup angin malam ketika rombongan Cakra, Arya, dan Yudistira akhirnya muncul dari balik pepohonan. Orang-orang langsung berlari menyambut, tapi tidak dengan Dhyas.

Ia masih terbaring di salah satu kamar, perban melilit bahunya, bekas darah mengering di sisinya. Setiap gerakan kecil saja membuatnya meringis. Pak de Rusdi sudah melarangnya bangun, tapi sejak magrib ia tidak bisa tenang. Dadanya seperti ditusuk-tusuk.

Cakra pergi tanpa dirinya.

Dan itu membuatnya resah setengah mati.

Di luar, suara sorak dan tangis lega terdengar samar. Barulah ia tahu—mereka sudah kembali. Pak De Rusdi sempat melongok ke luar lewat jendela yang masih terbuka.

“Pak de,” suara Dhyas nyaris hilang. “Mereka pulang, ya?”

Pakde Rusdi mengangguk pelan,

“Cakra selamat. Tapi kondisinya… parah juga. Kau jangan kaget.”

Beberapa menit kemudian, langkah berat terdengar menghampiri kamar. Pintu kayu itu terbuka perlahan. Cakra muncul di ambang pintu, dan Dhyas langsung menahan napas.

Cakra… Berantakan.

Wajahnya penuh jelaga. Ada garis darah di dahinya. Bajunya sobek di banyak tempat, lengan kirinya berlumur luka, dan sorot matanya jauh lebih gelap daripada biasanya.

Tapi dia berdiri. Hidup.

Cakra mematung melihat Dhyas yang terbaring dengan perban dan wajah pucat itu. Napasnya langsung sesak—lebih sesak daripada saat menghadapi tembakan musuh.

Dhyas mencoba tersenyum meski menahan sakit,

“Kamu pulang,” suara Dhyas hampir berbisik.

"Kami berhasil menghancurkan markas Belanda di pesisir timur," ujar Cakra.

Cakra melangkah mendekat, perlahan, seperti takut sentuhan saja bisa membuat Dhyas kesakitan. Ia berlutut di samping dipan, tangannya gemetar saat menyentuh jemari Dhyas, takut Dhyas menjerit, takut menyakitinya.

“Ternyata begini rasanya,” kata Cakra lirih.

“Turun perang tanpa kamu di dekatku.”

Dhyas menatapnya lama,

“Kamu bisa. Kamu lebih kuat dari yang kamu bayangkan,"

Cakra menggeleng, matanya memerah.

“Aku hampir mati tadi,” suaranya pecah.

“Dan yang ada di kepalaku cuma satu, aku harus pulang. Harus melihat kamu lagi. Lukamu masih sakit?,"

Dhyas menelan air mata yang mulai mengalir,

“Masih sakit, tapi lebih sakit harus menunggumu tanpa kepastian, antara selamat atau tidak,"

Cakra memegang pipi Dhyas dengan sangat lembut,

“Saat pergi tadi, tekadku sudah bulat. Harus kembali untukmu,"

Dhyas tersenyum kecil meski air matanya jatuh.

Cakra mendekat, menempelkan dahinya ke dahi Dhyas, napas keduanya tercampur, hangat namun rapuh.

Keheningan mengisi ruangan. Hanya suara napas, denyut nyeri, dan lega yang akhirnya memeluk mereka berdua.

Pak De Rusdi perlahan melangkah keluar. Tak mau mengganggu momen berharga itu.

Di luar, Arya, Yudistira, Raras, dan Ayudiah menatap dari kejauhan, tak ingin mengganggu momen itu.

Karena mereka tahu, tidak ada kemenangan sebesar ini selain melihat dua orang yang saling menjaga… akhirnya sama-sama kembali dengan nyawa utuh.

**

Ruang pendopo padepokan malam itu temaram oleh cahaya lampu minyak. Angin malam berembus pelan, membawa aroma tanah setelah perang. Di tengah pendapa, Mbah Lodra duduk bersila di atas tikar pandan, wajah tuanya tampak lebih letih dari biasanya.

Cakra, Arya, dan Yudistira melangkah masuk dengan perlahan. Mereka menundukkan kepala dalam-dalam, lalu duduk berbaris menghadap guru mereka.

“Cakra, Arya, Yudistira,” ucap Mbah Lodra dengan suara serak namun tegas, “Kalian bertiga telah menuntaskan tugas dengan selamat, meski nyawa nyaris melayang. Padaku, ceritakan kembali segala yang terjadi,"

Arya memulai dengan bahasa santun, menjelaskan jalannya penyerangan. Yudistira menambahkan rincian mengenai ledakan gudang senjata. Cakra mengisi bagian yang terlewat—meski suaranya kadang goyah karena mengingat peristiwa yang hampir merenggut nyawanya.

Mbah Lodra mengangguk perlahan, matanya memejam sesaat seakan menimbang banyak hal.

“Baik. Kalian telah berbuat besar untuk negeri ini,"

Keheningan jatuh sejenak, lalu guru tua itu menarik napas panjang,

“Akan tetapi,” ucapnya kemudian, “Ada perkara lain yang hendak aku sampaikan,"

Mbah Lodra memperbaiki posisi duduknya,

"Usia ini sudah renta. Tenaga makin susut. Istriku telah lama berpulang sebelum kami dikaruniai anak. Yang tersisa padaku hanyalah Ayudiah, anak angkatku. Namun ia tidak kuminta berjalan di jalan kanuragan. Seperti yang kalian tahu, seehari-harinya ia mengurus keperluan padepokan. Ilmunya hanya sebatas dasar beladiri.”

Cakra, Arya, dan Yudistira saling pandang. Mereka telah menduga arah pembicaraan ini.

“Karena itu,” lanjut Mbah Lodra, “Ilmu Giri Wening yang kuturunkan sejak muda tidak boleh terhenti padaku. Lima tingkatannya harus diwariskan.”

"lmu Giri Wening memiliki lima tingkatan. Dan tingkat yang paling akhir… tingkat yang menjadi puncak dari segala penguasaan… dinamakan Ilmu Purnama Nira,"

Ia berhenti sejenak, menatap mereka satu per satu.

“Ilmu Purnama Nira adalah inti dari seluruh kanuragan yang ada di padepokan ini. Ilmu itu hanya dapat dikuasai oleh satu jiwa yang benar-benar manunggal dengan dirinya. Bila yang menguasainya seorang perempuan, maka ia tidak diperkenankan mengandung. Sebab dua jiwa tidak dapat memikul beban ilmu tersebut. Jika hal itu terjadi… ilmu itu akan terpecah, melemah, bahkan menjadi bumerang yang membinasakan pemiliknya.”

Degupan halus terdengar dari dada Cakra. Ia menunduk lebih dalam agar kegelisahannya tidak tampak.

“Kalian bertiga baru sampai pada tingkat ketiga. Hanya Dhyas yang telah menguasai empat tingkatan.”

Cakra mengangkat wajah sekilas. Dadanya bagai dihantam batu.

Keheningan menyelimuti pendapa. Hanya suara serangga malam terdengar.

“Tapi itu seperti sulit dilakukan,” ujar Mbah Lodra, “Hanya... Jika Dhyas memilih untuk tidak menikah sepanjang hidupnya.”

Cakra mengepal tangan di atas lututnya. Kata-kata itu menembus dadanya lebih dalam daripada luka perang mana pun. Ia menunduk dalam-dalam, menyembunyikan keguncangan yang tidak seharusnya tampak di hadapan guru.

Arya dan Yudistira melirik Cakra sesaat, namun tidak berani bersuara.

“Aku akan memanggil Dhyas nanti untuk membicarakan hal ini,” lanjut Mbah Lodra. “Aku hendak mendengar keputusannya.”

Setelah beberapa lama, Mbah Lodra mengangkat tangan. “Kalian boleh undur diri.”

Mereka bertiga membungkuk hormat, kemudian mundur perlahan meninggalkan pendapa.

**

Cakra tidak langsung pergi ke biliknya. Kakinya justru membawanya ke arah kamar tempat Dhyas dirawat.

Lampu minyak di luar kamar berkerlap-kerlip. Cakra mengetuk perlahan.

“Dhyas…," panggil Cakra pelan.

Dari dalam terdengar suara pelan, lemah namun tetap lembut. “Masuklah,"

Cakra membuka pintu. Dhyas masih terbaring, wajahnya pucat, luka tembaknya dibalut rapat. Namun matanya tetap bening seperti biasanya, menatap Cakra dengan kecemasan yang tertahan,

“Apakah guru sudah menerima laporan?”

Cakra duduk di sisi dipannya, menahan napas sejenak sebelum menjawab.

“Dhyas… ada hal yang ingin kukatakan. Ini mengenai guru.”

Dhyas mengangguk pelan. “Silakan,”

Cakra menelan kegelisahan yang sejak tadi menusuki dadanya,

"Guru hendak menurunkan ilmu Giri Wening tingkatan kelima,"

Dhyas terdiam. Kelopak matanya bergerak sedikit, seakan ia telah menduga tetapi tetap terkejut mendengarnya.

Cakra melanjutkan dengan suara berat,

“Guru berkehendak menurunkannya kepadamu,"

Dhyas memejamkan mata sesaat,

“Karena aku telah mencapai tingkat keempat," ucapnya.

Cakra mengangguk. Lalu ia menarik napas panjang, napas yang terdengar lebih seperti desahan luka.

“Dhyas… aku mohon," Suaranya melemah. “Jangan engkau menerima ilmu itu,"

Dhyas membuka mata, menatapnya dengan lembut namun penuh tanda tanya,

"Mengapa demikian?,"

Cakra menunduk, menyembunyikan pergulatan yang tak mampu ia ungkapkan.

“Yang jelas… aku tidak menghendaki engkau mengambil ilmu kelima itu. Demi keselamatanmu. Itu saja alasan yang dapat kukatakan,"

Dhyas memandangnya lama sekali, seolah mencoba membaca isi hati yang sengaja disembunyikan. Namun Cakra tetap menunduk.

“Baik," ujar Dhyas akhirnya, suaranya pelan. “Jika itu permintaanmu… akan kupikirkan dengan sungguh-sungguh.”

Baru setelah mendengar itu, Cakra bisa bernapas sedikit lebih lega.

“Beristirahatlah. Luka itu belum kering. Jangan memaksakan diri. Aku akan datang lagi besok,"

Dhyas mengangguk pelan dan tersenyum.

Cakra keluar dari kamar dengan hati yang masih bergejolak. Ia tidak berani membayangkan bagaimana mereka berdua harus mengorbankan perasaan dan keinginan mereka hanya untuk sebuah ilmu. Tidak bisa. Tidak akan dia biarkan. Tekad Cakra bulat.

1
Wiwi Mulkay
kpn di up lagi
Wiwi Mulkay
Caeli ini kapan di up lagi
Caeli: on my way dear kak wiwi😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!