Queen Li tumbuh dalam kekacauan—dikejar rentenir, hidup dari perkelahian, dan dikenal sebagai gadis barbar yang tidak takut siapa pun. Tapi di balik keberaniannya, tersimpan rahasia masa kecil yang bisa menghancurkan segalanya.
Jason Shu, CEO dingin yang menyelesaikan masalah dengan kekerasan, diam-diam telah mengawasinya sejak lama. Ia satu-satunya yang tahu sisi rapuh Queen… dan lelaki yang paling ingin memilikinya.
Ketika rahasia itu terungkap, hidup Queen terancam.
Dan hanya Jason yang berdiri di sisinya—siap menghancurkan dunia demi gadis barbar tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Keesokan harinya.
Kelopak mata Queen bergerak pelan, seolah ia sedang terperangkap di antara mimpi dan kenyataan. Napasnya memburu, sementara keringat dingin membasahi dahi dan pelipisnya. Entah mimpi apa yang baru saja menyergapnya, tetapi jelas bukan mimpi yang tenang.
Di dalam alam bawah sadarnya, sebuah bayangan muncul dengan begitu nyata.
Seorang pria paruh baya tergeletak dengan sebilah pisau tertancap di dadanya. Darah mengalir deras, membasahi lantai. Wajah pria itu tampak jelas—penuh rasa sakit, ketakutan, dan keputusasaan. Di sampingnya berdiri seorang wanita… Zoanna. Tatapannya dingin, tanpa rasa bersalah.
Pria itu tersentak, tubuhnya kejang, lalu perlahan kehilangan nyawa.
“Papa…!”
Jeritan seorang anak perempuan kecil menggema di dalam mimpi itu.
Queen terbangun dengan mendadak.
Ia langsung bangkit duduk di atas ranjang rumah sakit, napasnya terengah-engah. Tangannya refleks memegang kepalanya yang terasa berdenyut hebat.
“Aah…!” rintihnya tertahan, rasa sakit itu membuat wajahnya mengerut.
Pintu kamar terbuka. Seorang suster bergegas masuk sambil membawa obat-obatan dan alat pemeriksaan.
“Nona, Anda sudah sadar,” ucap suster itu dengan nada lega.
Queen menelan ludah, pandangannya masih kabur.
“Suster… siapa yang membawaku ke sini?” tanyanya pelan.
“Tuan Shu,” jawab suster itu sambil tersenyum tipis. “Beliau menjaga nona semalaman di sini.”
Nama itu membuat Queen terdiam. Ingatannya berusaha menyusun kembali potongan kejadian semalam.
“Jason Shu…” gumamnya lirih.
“Dia yang datang ke gudang… dia adalah bos baru kami?”
Wajah Queen menegang. Ingatannya lalu melayang kembali pada mimpi barusan. Tangannya perlahan mengepal di atas selimut.
“Pria itu…” bisiknya, suara Queen bergetar.
“Itu papaku.”
Matanya memerah, napasnya semakin berat.
“Jadi selama ini mama berbohong padaku,” ucapnya dengan nada penuh amarah dan luka.
“Zoanna… aku akhirnya tahu penyebab kematian papaku. Pantas saja kau tidak pernah membawaku ke makamnya.”
Di saat itu, pintu kamar kembali terbuka.
“Queen!”
Suara Jason terdengar tegas namun sarat kekhawatiran saat ia melangkah masuk.
Wajahnya langsung melunak ketika melihat Queen sudah duduk.
“Akhirnya kau sadar,” katanya, berusaha menahan emosinya. “Apa kepalamu masih sakit?”
Queen mengangkat wajahnya, menatap Jason dalam diam yang panjang. Tatapan itu penuh kebingungan, seolah sedang menyatukan kepingan ingatan yang tercerai-berai.
Beberapa detik berlalu.
“Aku telah melupakan dia selama ini, ternyata dia tidak pernah meninggalkan aku," batin Queen.
Jason duduk di tepi ranjang, menatap gadis itu dengan wajah penuh kekhawatiran. Tangannya mengepal di atas lutut, berusaha menahan gejolak emosi yang sejak tadi ia pendam.
“Queen,” ucapnya pelan namun tegas, “beritahu aku. Apa kau merasa tidak nyaman di bagian lain? Aku bisa langsung memanggil dokter untuk memeriksamu.”
“Tidak,” jawab Queen singkat, nada suaranya datar.
Namun Jason tidak sepenuhnya yakin. Ia menoleh ke arah suster yang masih berdiri di dekat pintu.
“Tolong panggilkan dokter untuk memeriksa ulang kondisi Queen,” pintanya tanpa ragu.
“Baik, Tuan,” jawab suster itu, lalu segera melangkah pergi.
Jason kembali menatap Queen. Tatapannya menyapu wajah pucat gadis itu, berhenti sejenak pada perban di kepalanya.
“Kalau begitu, katakan padaku… di bagian mana saja yang masih terasa sakit?” tanyanya lebih lembut.
“Hanya kepala,” jawab Queen pelan. Ia terdiam sesaat, lalu bertanya, “Di mana Zoanna?”
Jason menghela napas perlahan.
“Dia tidak tahu kau ada di sini,” jawabnya jujur. “Dan aku pun belum memutuskan apakah dia perlu tahu atau tidak.”
Queen menunduk sejenak, lalu menggeleng.
“Tidak perlu,” katanya tegas. “Setelah aku keluar dari sini, aku sendiri yang akan menemuinya.”
Nada suaranya membuat Jason terdiam. Ia bisa merasakan tekad kuat di balik kalimat itu.
“Untuk sementara, kau harus menginap di sini beberapa hari,” kata Jason akhirnya. “Biarkan dokter memastikan kondisimu benar-benar stabil. Hari ini mereka akan memeriksa kepalamu lagi.”
Beberapa jam kemudian.
Queen telah tertidur setelah diberi obat penenang oleh dokter.
Jason dan dokter itu berada di luar kamar sedang berbincang
"Setelah hasil keluar, saya akan mengabari Anda," kata dokter sambil menutup folder medisnya dan melangkah pergi.
"Terima kasih," jawab Jason singkat, matanya masih memandang ke arah Queen dengan penuh kekhawatiran.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di ujung koridor yang panjang dan sepi. Seorang pria dengan setelan rapi berjalan mendekat.
"Jason!" serunya, tegas namun terselip kekhawatiran di suaranya.
"Marco," sahut Jason sambil menoleh.
"Bagaimana dengan gadis itu? Apakah dia baik-baik saja?" tanya Marco sambil menatap ranjang tempat Queen berbaring, matanya tajam menilai setiap gerakan gadis itu.
"Saat dia sadar, reaksinya sedikit aneh. Aku hanya khawatir dia akan mengingat semuanya sekaligus. Apakah kau bisa memastikan apakah ingatannya sudah pulih atau belum?" tanya Jason, suaranya rendah tapi tegas.
Marco menghela napas panjang, matanya memandang Queen. "Setelah dia sembuh sepenuhnya, aku akan mencari cara untuk bertemu dengannya. Usianya sudah 22 tahun. Sepuluh tahun telah berlalu. Kau juga telah menjaganya selama 10 tahun. Cepat atau lambat, ingatannya akan pulih seperti yang aku katakan dulu."
Jason menundukkan kepalanya sejenak, wajahnya menampilkan kekhawatiran. "Tapi hidupnya saat ini seolah tanpa beban. Aku berharap tetap seperti ini, walau dia belum mengenalku."
Marco mengangguk pelan, nada bicaranya penuh ketegasan. "Jason, aku sarankan jauhkan dia dari Zoanna. Seperti yang kau katakan, sifatnya keras dan terlalu berani. Aku hanya takut suatu saat Zoanna akan terluka parah di tangannya."
Jason menghela napas berat. "Saat itu, dia hanya ingat ibunya, sehingga aku terpaksa membiarkannya tetap bersama wanita itu. Tapi aku selalu mengawasinya dari jauh. Hidupnya tidak mudah. Zoanna, wanita itu, pantas menerima akibat dari kebiasaan buruknya. Kali ini, aku tidak akan membiarkan Queen tinggal bersamanya lagi."
Marco menatap Jason, penuh perhitungan. "Bawa dia bersamamu. Ingat atau tidak, selama kau ada di sisinya, dia pasti aman. Terutama musuh-musuh dari ayahnya yang masih berkeliaran. Sebelumnya, dia bisa mengalahkan penjahat yang mengincarnya. Lain kali, belum tentu mereka mengirim satu orang."
"Aku pernah membawanya ke makam ayahnya, Queen sama sekali tidak ada ingatan. Aku merasa serba salah, Queen tidak tahu siapa ayahnya dan apa sebabnya meninggal. Kalau dia tahu maka dia tidak akan bisa menerima kenyataan," ucap Jason.
hai teman teman .... ayo ramaikan karya ini dgn follow tiap hari dan juga like, komen dan jangan ketinggalan beri hadiah yaaaaaaa
sungguh, kalian gak bakalan menyesal, membaca karya ini.
bagus banget👍👍👍👍
top markotop pokoknya
hapus donh🤭🤭
kau jangan pernah meragukan dia, queen
👍👍👌 Jason lindungi terus Queen jangan biarkan orang2 jahat mengincar Queen
.
ayoooooo tambah up nya.
jangan bikin reader setiamu ini penasaran menunggu kelanjutan ceritanya
ayo thor, up yg banyak dan kalau bisa up nya pagi, siang, sore dan malam😅❤️❤️❤️❤️❤️❤️💪💪💪💪💪🙏🙏🙏🙏🙏
kereeeeennn.......💪
di tunggu update nya....💪