Rania Vale selalu percaya cinta bisa menembus perbedaan. Sampai suaminya sendiri menjadikannya bahan hinaan keluarga.
Setelah menikah satu tahun dan belum memiliki anak, tiba-tiba ia dianggap cacat.
Tak layak, dan tak pantas.
Suaminya Garren berselingkuh secara terang-terangan menghancurkan batas terakhir dalam dirinya.
Suatu malam, setelah dipermalukan di depan banyak orang, Rania melarikan diri ke hutan— berdiri di tepi jurang, memohon agar hidup berhenti menyakitinya.
Tetapi langit punya rencana lain.
Sebuah kilat membelah bumi, membuka celah berisi cincin giok emas yang hilang dari dunia para Archeon lima abad lalu. Saat Rania menyentuhnya, cincin itu memilihnya—mengikatkan nasibnya pada makhluk cahaya bernama Arven Han, putra mahkota dari dunia lain.
Arven datang untuk menjaga keseimbangan bumi dan mengambil artefak itu. Namun yang tak pernah ia duga: ia justru terikat pada perempuan manusia yang paling rapuh…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GazBiya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu-satunya orang yang peduli
Sepanjang perjalanan Arven terus memperhatikan Rania. Namun Rania sudah cerdas—kali ini ia menahan agar tidak mengatakan apapun dalam pikirannya.
Seperti sebuah candu, Arven selalu ingin mendengarkan ocehan batin Rania yang asal. Ia pun mengkerutkan kening, menatap lebih dalam. Namun tidak menemukan bisikan apapun di benak gadis ini. Padahal wajahnya jelas terlihat tidak tenang. Akhirnya Arven memberanikan dir bertanya.
“Kau akan pergi kemana?” tanyanya, pura-pura tidak tahu.
Rania terdiam, tidak mungkin ia menyubutkan tujuan yang sama dengan nya— sungai Velmorra. Ia pun mencari jawaban lain.
“Caffe Shobaholic,” jawabnya singkat.
Arven melirik sopir di depan, “Kau tahu tempat itu?”
Sopir dengan cepat mengangguk, “Caffe besar di samping sungai itu kan nona?”
“Iya,” sahut Rania cepat.
Arven menghela napas panjang—menatapnya heran, semua tidak seperti seharusnya pikirnya. Lidia bilang Rania akan menyebutkan tujuan yang sama denganku. Jadi aku bisa sekalian berjalan-jalna dengan nya, tapi kini kenapa tujuan nya berubah? Gumma batinnya.
Sang sopir tanpa di perintah menghentikan mobil di depan café yang di sebut Rania tadi. Arven mengkerutkna kening kesal, karena tidak sesuai ekspektasinya.
Sopir dengan sigap membukakan pintu, namun Arven buru-buru ikut turun, hatinya meronta ingin ikut bersama Rania.
“Terimakasih, aku sudah sampai. Kau boleh pergi…” ucap Rania, merapikan rambutnya yang tertiup angin.
Tangan Arven nyaris bergerak sendiri—ingin merapikan rambut-rambut nakal itu, namun sekuat tenaga ia tahan.
Rania kembali menatap Arven, “Kau menunggu apa? Aku sudah sampai… pergilah!”
Tatapan Rania yang judes akhirnya membuat Arven mundur. Dengan langkah enggan, ia kembali ke mobil.
Tak lama, mobil itu melaju pergi, meninggalkan Rania sendirian di depan kafe.
Namun bukannya masuk ke dalam caffe, Rania justru berbelok menuju jalan setapak kecil yang menurun ke arah sungai Velmorra.
Jalan itu sunyi, melewati hutan kecil dan semak-semak yang tingginya hampir setara manusia dewasa. Daun-daun bergesekan pelan, memberi atmosfer dingin yang menempel di kulit.
Karena takut, Rania merogoh tas ranselnya dan mengeluarkan pisau kecil.
Buat jaga-jaga, gumamnya, meski ia sendiri tidak yakin apakah benda itu akan berguna jika keadaan benar-benar buruk.
Baru beberapa meter berjalan, suara riuh terdengar dari arah tepi sungai. Rania spontan merunduk dan mengendap, mengintip dari sela-sela semak.
Matanya langsung membelalak.
Ada banyak orang di sana—anak buah mantan suaminya. Mereka mengelilingi tepian sungai dengan wajah serius, seolah mencari sesuatu. Rania memicingkan mata, mencari sosok Garren, namun tidak menemukannya.
“Jadi Garren sudah sadar? Atau Mami yang menyuruh mereka?” bisiknya pelan.
“Tapi tidak mungkin Mami… dia tidak akan sepeduli itu padaku.”
Rania bergerak semakin dekat, tubuhnya membungkuk merambat di antara semak.
Ia mencari tempat bersembunyi yang cukup aman untuk mengamati.
Sebuah alat berat tampak berdiri gagah di tepi sungai. Mesinnya meraung rendah, lalu menurunkan cengkeramannya ke dasar sungai. Beberapa menit kemudian, sesuatu yang besar dan berwarna putih perlahan terangkat…
Mobil itu.
Mobil miliknya. Mobil kesayangannya yang terjebak di dasar sungai sejak beberapa hari yang lalu.
Rania menahan napas, kedua tangannya menutup mulut. Air matanya memanas—antara lega, syok, dan takut bercampur menjadi satu.
Dari balik persembunyian, ia hampir saja ingin berlari menghampiri… Namun belasan pria bersenjata membuatnya membeku di tempat. Dan sebuah firasat buruk merayap naik ke tengkuknya. Mereka bukan sedang menyelamatkan mobil itu…Mereka sedang mencariku, gumamnya.
Namun hatinya tiba-tiba meronta. Tasku… pasti masih di dalam mobil, gumamnya. Ia refleks bergerak, ingin memaksa keluar untuk mengambilnya. Ia membutuhkan tas itu—ATM, kartu identitas, semuanya ada di sana.
Dari kejauhan, gerak seseorang membuatnya menahan napas.
Rania membelalak—melihat Sierra berlari menuju sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari tempat persembunyiannya.
Sierra? Jadi… dia yang melakukan ini?
Rania mendekat perlahan, tetap bersembunyi di balik semak dan batang pohon.
“Kakak!” panggil Sierra manja sebelum membuka pintu dan masuk ke dalam mobil.
Rania tercekat. Di balik kaca mobil, ia melihatnya—Garren, mantan suami yang kini dalam masa proses cerai.
Jadi Garren sudah sadar? Dan… dia yang mencariku? batinnya gemetar.
Garren tampak sedang merokok, jendela sengaja dibuka. Itu membuat Rania bisa menatap jelas wajah pria itu—pria yang dulu ia cintai terlalu dalam, dan entah kenapa… rasa sakitnya masih menusuk.
Rania menelan ludah. Ia menghela napas panjang, lalu mengalihkan pandangan ke arah mobil lain, mencari cara merebut tasnya tanpa menarik perhatian siapa pun.
“Bos! Nyonya Rania tidak ada di mobil,” lapor salah satu anak buahnya.
Rania terdiam. Ada rasa hangat yang tiba-tiba menusuk d4danya. Hanya Garren satu-satunya orang yang benar-benar peduli padaku? Gumam batinnya.
*
aaah dasar kuntilanak
toh kamu yaa masih ngladeni si jalànģ itu