NovelToon NovelToon
Koki Cantik Penyelamat Kaisar

Koki Cantik Penyelamat Kaisar

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Time Travel / Cinta Seiring Waktu / Masuk ke dalam novel / Mengubah Takdir / Penyeberangan Dunia Lain
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Laila ANT

Han Qiu, seorang penggemar berat street food, tewas akibat keracunan dan bertransmigrasi ke dalam tubuh Xiao Lu, pelayan dapur di era Dinasti Song. Ia terkejut mendapati Dapur Kekaisaran dikuasai oleh Chef Gao yang tiran, yang memaksakan filosofi 'kemurnian'—makanan hambar dan steril yang membuat Kaisar muda menderita anoreksia. Bertekad bertahan hidup dan memicu perubahan, Han Qiu diam-diam memasak hidangan jalanan seperti nasi goreng dan sate. Ia membentuk aliansi dengan Kasim Li dan koki tua Zhang, memulai revolusi rasa dari bawah tanah. Konfliknya dengan Chef Gao memuncak dalam tuduhan keracunan dan duel kuliner akbar, di mana Han Qiu tidak hanya memenangkan hati Kaisar tetapi juga mengungkap kejahatan Gao. Setelah berhasil merestorasi cita rasa di istana, ia kembali ke dunia modern dengan misi baru: memperjuangkan street food yang lezat sekaligus higienis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sate di Balik Tirai Istana

Suara garukan itu berhenti, digantikan oleh suara endusan yang keras dan basah, tepat di celah bawah pintu. Udara di dalam gudang terasa membeku.

Napas Han Qiu tertahan di tenggorokannya, sementara Li di sampingnya tampak seperti akan pingsan, matanya membelalak menatap pintu kayu yang rapuh itu seolah-olah seekor naga akan mendobraknya. Jantung mereka berdua berdebar-debar, menciptakan ritme kepanikan yang sunyi di dalam keheningan yang mencekam.

Kemudian, suara itu datang lagi. Bukan garukan, melainkan gonggongan kecil yang tertahan, diikuti oleh rengekan pelan.

Arf… arf… ngiiing…

Li mengerjap. Han Qiu mengerutkan kening. Itu bukan suara penjaga. Itu bukan suara Chef Gao. Dengan sangat hati-hati, Han Qiu merayap ke arah pintu. Ia mengintip melalui celah sempit di antara papan kayu. Di luar, di bawah cahaya bulan yang pucat, seekor anjing kurus berbulu kuning sedang mengendus-endus pintu, ekornya bergoyang-goyang penuh harap.

Jelas sekali ia terpikat oleh sisa-sisa aroma daging panggang yang masih menempel di udara.

Han Qiu bersandar ke dinding, tawa lega yang nyaris histeris keluar dari bibirnya dalam bentuk desahan panjang.

“Hanya… hanya seekor anjing,” bisiknya.

Li merosot ke lantai, seluruh kekuatan seolah terkuras dari tubuhnya.

“Seekor anjing?” ulangnya dengan suara gemetar.

“Kita hampir mati ketakutan… karena seekor anjing liar yang kelaparan?” Ia menutupi wajahnya dengan tangan, bahunya bergetar.

“Aku tidak kuat lagi, Xiao Lu. Aku benar-benar tidak kuat. Ini pertanda. Langit sedang memberitahu kita untuk berhenti.”

Han Qiu mendekatinya, berjongkok di samping temannya yang terguncang. Ia menepuk punggung Li dengan lembut.

“Langit tidak sedang memberitahu kita untuk berhenti, Li. Langit sedang menguji kita. Menguji seberapa besar keinginan kita untuk berhasil.” Ia mengambil salah satu sate yang setengah matang.

“Lihat ini. Lima tusuk sate. Lima potensi racun jika kita memberikannya mentah. Lima bukti kelalaian jika kita membuangnya.”

“Lalu apa maumu?” isak Li

“Kita tetap pergi ke dapur utama? Setelah ini? Kau tidak lihat? Sarafku sudah putus semua!”

“Justru karena inilah kita harus pergi,” kata Han Qiu, suaranya kini tenang namun dipenuhi baja.

“Rasa takutmu itu nyata, Li. Aku juga merasakannya. Setiap kali aku melihat daging yang tidak matang sempurna, perutku terasa seperti diremas. Aku teringat… teringat semuanya.” Ia berhenti sejenak, bayangan kematiannya yang lama melintas di matanya.

“Dan aku tidak akan pernah membiarkan orang lain merasakan itu, apalagi Kaisar. Kita akan pergi ke dapur utama. Kita akan selesaikan ini. Setelah itu, semua selesai. Aku janji.”

Li menatap Han Qiu. Di bawah cahaya sumbu yang berkelip, ia melihat wajah yang lelah dan kotor oleh jelaga, tetapi matanya menyala dengan keyakinan yang begitu kuat hingga terasa membakar. Itu adalah keyakinan yang menular. Dengan enggan, Li mengangguk pelan.

“Lima menit,” desisnya.

“Tidak lebih dari lima menit. Kalau kita ketahuan…”

“Kita tidak akan ketahuan,” potong Han Qiu.

“Ayo.”

Menyelinap ke dapur utama di tengah malam adalah pengalaman yang menguji nyali. Dapur itu, yang pada siang hari riuh dengan suara pisau dan wajan, kini sunyi senyap seperti sebuah makam.

Cahaya bulan yang masuk melalui jendela-jendela tinggi menciptakan bayangan-bayangan panjang dan menakutkan dari rak-rak panci dan meja-meja potong. Setiap derit papan lantai di bawah kaki mereka terdengar seperti guntur.

“Tungku nomor tiga,” bisik Han Qiu, menunjuk ke tungku paling ujung yang apinya dijaga tetap menyala kecil untuk memanaskan air pagi.

“Itu cukup panas.”

Mereka bergerak secepat bayangan. Han Qiu meletakkan wajan besi tebal di atas tungku, sementara Li berdiri di dekat pintu, telinganya waspada menangkap setiap suara. Dalam hitungan detik, wajan itu mulai mengeluarkan asap tipis.

“Sekarang!” desis Han Qiu.

Ia meletakkan kelima tusuk sate di atas wajan panas.

*TSSSSSS…*

Suara desisan daging yang bertemu logam panas terdengar begitu keras di dalam keheningan. Aroma gurih yang familiar kembali menguar, tetapi kali ini lebih terkendali, tidak sebuas aroma arang.

Han Qiu membolak-balik sate dengan sepasang sumpit panjang, gerakannya cepat dan presisi. Kurang dari dua menit, kelima sate itu telah matang sempurna, warnanya cokelat keemasan dengan sedikit jejak hangus dari wajan.

“Selesai!” bisik Han Qiu lega.

Ia segera mengangkat sate-sate itu dan membungkusnya bersama sate lainnya dalam beberapa lapis kain bersih. Li dengan sigap membersihkan wajan dengan kain basah, menghilangkan semua jejak minyak dan bau.

Mereka kembali ke gudang, jantung mereka masih berdebar kencang. Han Qiu menata dua puluh tusuk sate di atas piring porselen sederhana, lalu menuangkan bumbu kacang yang kental dan gelap ke dalam mangkuk kecil di sebelahnya.

Nampan itu tampak sederhana, tetapi aromanya adalah sebuah deklarasi perang terhadap semua yang diajarkan oleh Chef Gao.

“Ini,” kata Han Qiu, menyerahkan nampan itu kepada Li.

“Sekarang bagianmu. Ingat, jangan katakan apa pun kecuali Kaisar bertanya. Biarkan makanan yang berbicara.”

Li menelan ludah, tangannya sedikit gemetar saat menerima nampan itu. Beban di tangannya terasa lebih berat dari emas. Ini adalah nasib sebuah dinasti yang disajikan di atas piring.

“Aku… aku akan kembali secepatnya,” katanya, lalu berbalik dan menghilang ke dalam kegelapan koridor istana.

***

Perjalanan menuju kamar Kaisar adalah siksaan terpanjang dalam hidup Li. Setiap sudut koridor seolah menyembunyikan penjaga. Setiap embusan angin terdengar seperti langkah kaki yang mendekat. Aroma sate yang coba ia sembunyikan di balik lapisan kain seolah berteriak, mengumumkan kehadirannya.

Akhirnya, ia tiba. Dengan ketukan pelan yang sudah menjadi kode di antara mereka, pintu kamar Kaisar terbuka. Zhao Xian, sang Putra Langit, duduk sendirian di dekat jendela, menatap bulan dengan tatapan kosong. Kamarnya luas dan mewah, tetapi terasa dingin dan tidak berjiwa.

“Yang Mulia,” bisik Li sambil berlutut dan meletakkan nampan di meja rendah di depan Kaisar. Ia membuka lapisan kain terakhir.

Seketika, aroma itu meledak, memenuhi ruangan yang selama ini hanya berbau cendana dan obat-obatan herbal.

Itu adalah aroma yang jujur, sedikit kasar, dan sangat hidup. Aroma asap, daging panggang, manisnya kecap yang bertemu panas, dan gurihnya kacang. Itu adalah aroma jalanan, aroma rakyat, aroma kehidupan itu sendiri.

Mata Kaisar Zhao Xian melebar. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, menghirup dalam-dalam seolah itu adalah udara pertama yang ia hirup setelah tenggelam.

Ini adalah aroma yang jauh lebih kuat daripada kerak hitam atau bubur berkaldu yang pernah ia cicipi. Ini adalah sebuah janji yang nyata.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mengambil satu tusuk sate. Ia tidak menunggu. Ia langsung menggigitnya.

Ledakan rasa itu menghantamnya seperti gelombang pasang.

Pertama, tekstur daging yang empuk namun sedikit kenyal di bagian luarnya yang terpanggang sempurna. Lalu, rasa manis dan gurih dari bumbu marinasi yang meresap hingga ke serat terdalam.

Kemudian, sentuhan rasa hangus dari panggangan yang memberikan karakter berasap yang belum pernah ia kenal. Ia mencelupkan ujung sate ke dalam bumbu kacang dan menggigit lagi. Rasa pedas yang lembut, kekayaan rasa kacang yang disangrai, dan sedikit rasa asam—semua menari di lidahnya dalam sebuah simfoni yang harmonis namun liar.

Ini bukan makanan. Ini adalah sebuah pengalaman. Sebuah pemberontakan.

Sesuatu yang hangat mengalir di pipinya. Zhao Xian menyentuhnya dengan bingung. Air mata. Ia menangis. Bukan karena sedih, bukan karena bahagia. Ia menangis karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasakan sesuatu yang begitu otentik, begitu nyata, hingga membuat seluruh kepura-puraan dan kemewahan istana yang hampa terasa seperti kebohongan besar. Makanan ini tidak mencoba menjadi anggun. Makanan ini hanya ingin menjadi lezat. Dan dalam kejujurannya itulah letak keagungannya.

“Ini…” suaranya serak, tercekat oleh emosi.

“Ini terasa seperti… seperti cerita yang diceritakan di dekat api unggun. Hangat dan penuh kehidupan.” Ia menatap Li, matanya yang biasanya lesu kini berkilauan.

“Siapa… siapa yang memasak ini, Li?”

“Seorang pelayan, Yang Mulia,” jawab Li, hatinya membengkak karena lega dan bangga.

“Seorang pelayan yang merindukan senyum Yang Mulia.”

Kaisar mengangguk pelan, terus makan dalam diam, menikmati setiap gigitan seolah itu adalah harta karun. Ia menghabiskan lima tusuk sate sebelum akhirnya bersandar, napasnya sedikit terengah.

Perutnya terasa hangat, dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia merasa kenyang, bukan karena paksaan, tetapi karena kepuasan.

“Pelayan itu,” kata Kaisar dengan suara yang kini lebih tegas, lebih bertenaga.

“Namanya Xiao Lu, bukan?”

Li tersentak kaget.

“Yang Mulia tahu?”

“Aku mungkin masih muda, Li, tapi aku tidak bodoh.” Kaisar menatap sisa sate di nampan.

“Sampaikan padanya…

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!