Bagaimana jadinya jika seorang penulis malah masuk ke dalam novel buatannya sendiri?
Kenalin, aku Lunar. Penulis apes yang terbangun di dunia fiksi ciptaanku.
Masalahnya... aku bukan jadi protagonis, melainkan Sharon Lux-tokoh antagonis yang dijadwalkan untuk dieksekusi BESOK!
Ogah mati konyol di tangan karakternya
sendiri, aku nekat mengubah takdir: Menghindari Pangeran yang ingin memenggalku, menyelamatkan kakak malaikat yang seharusnya kubunuh, dan entah bagaimana... membuat Sang Eksekutor kejam menjadi pelayan pribadiku.
Namun, ada satu bencana fatal yang kulupakan
Novel ini belum pernah kutamatkan!
Kini aku buta akan masa depan. Di tengah misteri Keluarga Midnight dan kebangkitan Ras Mata Merah yang bergerak di luar kendali penulisnya, aku harus bertahan hidup.
Pokoknya Sharon Lux harus selamat.
Alasannya sederhana: AKU GAK MAU MATI DALAM KEADAAN LAJANG!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.A Wibowo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Udara dingin menusuk kulit ketika kereta berhenti di depan gerbang hitam bertanda lambang bulan sabit—simbol keluarga Midnight. Sharon menurunkan kaki pertamanya ke tanah dan langsung merasakan atmosfer berbeda. Sunyi… namun bukan sunyi yang menenangkan. Sunyi yang seperti menunggu sesuatu.
“Ini… lumayan menyeramkan,” gumamnya lirih.
Di sampingnya, Gilbert memeriksa area sekitar tanpa sepatah kata. Leon terlihat waspada, sedangkan Althea berusaha tersenyum agar Sharon tampak tenang.
Pintu gerbang membuka dengan suara klek lembut. Seorang pelayan pria berdiri di depan sana, membungkuk hampir sempurna. Sosoknya tinggi, rapi, dan wajahnya terlalu tenang untuk ukuran menyambut tamu.
“Selamat datang di kediaman Midnight,” ucapnya dengan suara yang bening namun tak beremosi. “Tuan Arthur telah menunggu kedatangan Anda sejak pagi.”
Sharon menelan ludah. Mengapa dia menunggu pagi-pagi sekali? Jangan-jangan dia punya rencana aneh lagi…
Pelayan itu mempersilahkan mereka masuk. Lorong panjang menyambut, dipenuhi lukisan-lukisan tua dengan dominan warna gelap. Sharon mengamati sekilas—tidak ada satupun lukisan yang tampak menenangkan. Mata merah di beberapa potret memandang lurus, hampir terasa mengikuti langkah mereka. Ia tahu ini semacam foto garis keturunan, tapi agak menggelikan.
Sharon membetulkan letak jubahnya—yang ia dapatkan dari Gilbert tadi pagi, lalu memasangkan tudungnya. Ia terlihat sangat menjaga jubah tersebut.
“Kenapa rasanya semua potret disini menilai aku?”
“Karena memang begitu,” gumam Leon pelan. “Mereka menilai dosa-dosamu, nona tahanan.”
“Apa katamu? Coba ulangi sekali lagi!”
“Leon!” Althea menatapnya tajam.
“Aku hanya jujur,” sahutnya setengah frustasi.
Sebelum percekcokan kecil itu berlanjut, mereka berhenti di depan pintu besar yang dijaga dua ksatria Midnight. Pelayan membuka pintu dengan perlahan, memperlihatkan ruangan pertemuan kecil yang elegan—karpet merah tua, meja hitam berukir, dan jendela tinggi yang memperlihatkan langit kelabu.
Di tengah ruangan, duduklah seorang pria dengan sikap santai namun anggun. Rambut putihnya jatuh ke samping wajah, mata merahnya memandang mereka tanpa emosi—tetapi intens, seperti memotong kulit.
Arthur Midnight. Ia tidak tersenyum, namun tidak tampak marah. Senyumnya—atau ketiadaan senyumnya—adalah bentuk lain dari intimidasi halus.
“Kalian datang lebih cepat dari yang kuduga,” ucapnya tenang. Suaranya tidak keras, tapi cukup meneguhkan wibawa yang memaksa orang menelan kata-katanya.
Sharon menegang sepersekian detik, lalu memaksakan senyum diplomatik. “Undanganmu terlalu mencurigakan untuk dibiarkan lama.”
Arthur mencondongkan tubuh sedikit. “Bagus. Kecurigaan adalah hal yang membuat seseorang tetap hidup.”
Althea dan Leon sempat menukar pandang—keduanya tampak tidak nyaman.
Pelayan pria itu kemudian membungkuk sopan. “Sesuai undangan resmi, hanya Nona Sharon Lux yang diizinkan memasuki ruang pertemuan. Nona Althea dan Tuan Leon akan kami antarkan ke kamar tamu untuk beristirahat—”
Arthur perlahan mengangkat tangan, memotong kalimat itu.“Tidak perlu.”
Sharon mengerjap. Althea juga. Leon memutar kepala, menatap Arthur dengan waspada.
“Biarkan mereka ikut,” kata Arthur santai, seolah ia sedang menawarkan teh, bukan membantah protokol diplomatik. “Jika keluarga Lux membawa pengawalnya, aku tidak keberatan. Lagipula… bukan kebiasaan kami memisahkan anggota keluarga. Berbeda dengan keluarga Lux, kan.”
Sharon tak paham dengan maksud perkataan barusan. ‘tidak memiliki kebiasaan memisah anggota keluarga, berbeda dengan keluarga lux?’ apa maksudnya.
Sementara Leon tampak mengerti maksud perkataan tersebut. Dan menelan ludah panik.
Arthur tertawa, Nada suaranya lembut. Tapi dibalik kelembutan itu, ada sesuatu—sesuatu yang membuat Sharon tak nyaman. Seakan Arthur sedang menata catur dan mengundang lawannya duduk manis dalam perangkap.
Gilbert melangkah maju setengah, berdiri sedikit lebih dekat ke Sharon, jelas tidak menyukai keputusan sepihak itu.
Arthur melirik ke arahnya sejenak—lalu mengabaikan Gilbert, seperti seseorang mengabaikan tiang lampu di jalan.
Pelayan tersebut menunduk. “Baik, Tuan Arthur.”
Arthur kembali menatap Sharon dan lain-lain. “Masuklah. Kita punya banyak hal untuk dibicarakan.”
Sharon menarik napas. Berat… namun mantap.
ia melangkah masuk pertama, sementara Althea, Leon, dan Gilbert masuk menyusul. Pintu besar di belakang mereka menutup perlahan dengan duk berat, seolah menyegel mereka dalam dunia yang berbeda.
“Baiklah … mari kita mulai pembicaraan kita.”
malah meme gw😭
Sharon sebagai antagonis palsu tuh bukan jahat—dia korban. Dan kita bisa lihat perubahan dia dari bab awal sampai sekarang.
pokonya mantap banget
rekomendasi banget bagi yang suka cerita reinkarnasi
dan villain
semangat thor