Selama tujuh tahun, Reani mencintai Juna dalam diam...meski mereka sebenarnya sudah menikah.
Hubungan mereka disembunyikan rapi, seolah keberadaannya harus menjadi rahasia memalukan di mata dunia Juna.
Namun malam itu, di pesta ulang tahun Juna yang megah, Reani menyaksikan sesuatu yang mematahkan seluruh harapannya. Di panggung utama, di bawah cahaya gemerlap dan sorak tamu undangan, Juna berdiri dengan senyum yang paling tulus....untuk wanita lain.
Renata...
Cinta pertamanya juna
Dan di hadapan semua orang, Juna memperlakukan Renata seolah dialah satu-satunya yang layak berdiri di sampingnya.
Reani hanya bisa berdiri di antara keramaian, menyembunyikan air mata di balik senyum yang hancur.
Saat lampu pesta berkelip, ia membuat keputusan paling berani dalam hidupnya.
memutuskan tidak mencintai Juna lagi dan pergi.
Tapi siapa sangka, kepergiannya justru menjadi awal dari penyesalan panjang Juna... Bagaimana kelanjutan kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aerishh Taher, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 : Rapat Pemegang Saham Tekno Air
Gedung Tekno Air terlihat ramai pagi itu, matahari yang belum terlalu terik. Para direksi, pemegang saham, dan staf mulai berdatangan, udara penuh ketegangan halus—semua tahu RUPS hari ini tidak akan biasa-biasa saja.
Lift terbuka.
Keluar empat orang dengan aura berbeda dari siapa pun di lantai itu.
Reani Wijaya, berwajah tenang namun mematikan.
Breinzo, dingin dan berwibawa, seperti eksekutor yang siap mencabut jabatan siapa pun.
Arian, membawa map hitam berisi dokumen pemecatan.
Doroti, melenggang dengan gaun formal bergaya, wajahnya memancarkan energi: siapa yang cari masalah, aku layani.
Beberapa staf menunduk, sebagian menahan napas, sebagian lagi berbisik-bisik.
“Gila… keluarga inti turun semua.”
“Hari ini Juna tamat.”
Reani tak memedulikan bisikan itu. Ia hanya melangkah lurus menuju ruang rapat besar di lantai 20.
Namun sebelum mencapai pintu, sebuah suara tajam memecah ketenangan.
“REANI!”
Semua orang menoleh.
Juna berdiri bersama Renata, dan di samping mereka seorang wanita paruh baya yang berwajah masam—Anggita, ibu mertua Reani.
Renata menatap Reani seolah ingin mencakar wajahnya.
Juna tampak pucat.
Bu Anggita langsung maju menyerang dengan kata-kata.
“Kamu ini perempuan apa, hah? Tidak bisa hormati suami sendiri, malah bikin anak saya repot!”
Semua mata di koridor membelalak.
“Masalah ini tidak akan terjadi kalau kamu bisa hamil! Lihat tuh Renata—perempuan sehat! Makanya Juna memilih dia!”
Suara Bu Anggita terdengar nyaring, menusuk, memalukan.
Reani berhenti.
Senyumnya tidak ada.
Mata dinginnya memotong udara.
Sebelum ia menjawab, Doroti melangkah ke depan dan mendadak—
“NENEK SIHIR…”
Suara Doroti melengking elegan namun pedas.
“…bisa mikir dikit nggak sih? Tolol jangan ngajak-ngajak!”
Beberapa staf reflek menutup mulutnya.
Breinzo memijit batang hidung, sudah memprediksi Doroti akan meledak.
Doroti menunjuk Bu Anggita dengan acuh.
“Kalau ibu ngebet banget punya cucu, ya suruh dong anak ibu itu punya kemampuan. Tujuh tahun sama Rea—T-U-J-U-H TAHUN—hasilnya? Nihil. BUKAN karena Rea, Ibu Anggita.”
Ia mencondongkan badan.
“Karena anak ibu itu mandul. Paham?”
Bu Anggita tersentak.
“Apa kamu bilang!? Tidak sopan! Juna itu lelaki sehat!”
Doroti menyeringai. “Yakin? Jangan-jangan anak yang di perut si jalang ini bukan anaknya.”
Semua terdiam.
Renata meraung marah.
“Kamu kurang ajar, Doroti!”
“Ya,” Doroti menjawab santai. “Tapi aku pintar.”
Renata maju selangkah, suara meninggi.
“Reani nggak bisa hamil karena Juna nggak mau dia mengandung anaknya! Cuma aku yang boleh melahirkan penerus Juna! Karena Juna mencintaiku!”
Juna terlihat mau menenangkan Renata, tapi mulutnya terkunci sejak Breinzo menatapnya dingin dari kejauhan.
Koridor seperti membeku.
Renata melempar tatapan merendahkan ke Reani.
“Dia tidak dicintai oleh suaminya sendiri, jangan menyalahkan orang lain.”
Dan detik itu juga—
PLAAAKKKKK!!!
Tamparan Reani mendarat keras di wajah Renata.
Semua orang terperanjat.
Bu Anggita menjerit.
Juna refleks mundur.
Reani menatap tepat di netra Renata.
“Apa kau senang mendapatkan sampah seperti dia?”
Renata memegangi pipinya, mata berembun.
Reani melanjutkan, suaranya lembut tapi menusuk.
“Jangan bicara tentang cinta.”
“Kau hanya selingkuhan.”
“Dan selingkuhan yang bangga? Itu taraf terendah dari kehancuran martabat perempuan.”
Renata menggigit bibir. “Juna cinta aku!”
Reani mengangkat alis tipis.
“Kalau kalian memang saling mencintai… menikahlah.”
“Rea—” Juna mencoba bicara, tapi Breinzo maju setapak.
Diam seperti batu.
Reani mengabaikan Juna dan menyelesaikan kalimatnya:
“Jangan lama-lama jadi simpanan murahan yang bahkan rela hamil sebelum dinikahi secara sah..”
Renata terdiam kaku.
“Dan satu lagi…”
Reani menatap perut Renata, dingin.
“Tak ada yang bisa menjamin siapa ayah bayi itu.”
Begitu kalimat itu jatuh, dunia seakan berhenti.
Bu Anggita membeku.
Renata pucat.
Juna tampak seperti tubuhnya kehilangan oksigen.
Doroti bersiul panjang. “Aduh itu pedesnya sampe Jiwa, Rea.”
Arian menyela halus, membuka map.
“Direksi sudah menunggu. RUPS dimulai lima menit lagi.”
Reani berbalik tenang.
Breinzo menatap Juna tanpa senyum.
“Hari ini, kursimu akan hilang.”
___
Ruang rapat utama Tekno Air penuh.
Dinding kaca besar memantulkan suasana tegang para pemegang saham dan direksi. Mikrofon-mikrofon sudah menyala, layar LED di depan menampilkan agenda rapat.
Begitu pintu terbuka, semua kepala menoleh.
Reani masuk pertama.
Diikuti Breinzo yang auranya membuat para direksi menegang.
Arian mengambil tempat di sisi kanan, membuka map hitamnya.
Doroti masuk paling belakang, sengaja menghentakkan tumit seperti catwalk… tapi yang dilakukannya justru mematikan suasana.
Rapat dimulai.
Ketua rapat mempersilakan pembahasan agenda pertama: evaluasi posisi Direktur Utama — Juna Airlangga.
Baru juga nama itu dibacakan—
Pintu terbuka keras.
Renata masuk bersama ibu Juna, Bu Anggita, dan tentu saja Juna sendiri yang wajahnya sudah hancur sejak di koridor tadi.
Doroti mengangkat tangan.
“Tahan.”
Semua menatapnya.
“Sebelum kalian duduk, tolong taruh ego, drama, dan ilusi harga diri kalian di luar pintu. Ruangan ini terlalu mahal untuk sampah.”
Renata hampir meledak.
“Tolong keluarkan perempuan itu! Dia bukan keluarga pemegang saham!”
Doroti tertawa kecil.
“Sayang… aku Doroti Wijaya. Aku pemilik 13% saham Tekno Air. Kamu siapa?”
Renata tercekat.
Bu Anggita ikut menyerang,
“Tidak sopan! Anak saya—”
Breinzo mengangkat tangan sedikit.
Sunyi.
Seketika.
“Bu Anggita,” suaranya datar. “Ini rapat pemegang saham, bukan arisan. Duduk atau keluar.”
Wanita itu, yang bahkan berani memaki Reani tadi, kini hanya bisa duduk terpaku.
Juna duduk paling ujung, seolah ingin mengecilkan tubuhnya.
Arian berdiri, mulai presentasi.
“Dalam enam bulan terakhir, posisi Wakil Direktur Utama mengalami penyalahgunaan wewenang…”
“…kami menerima 23 laporan internal…”
“…dan indikasi nepotisme serta manipulasi dana operasional.”
Juna pucat.
Renata menatap Arian dengan tatapan membunuh.
Reani hanya menyilangkan tangan, menonton.
Breinzo menatap Juna seperti menatap dinding.
Lalu pembahasan mulai memanas.
Renata memotong bicara.
“Semua laporan itu manipulatif! Kalian hanya ingin menjatuhkan Juna karena masalah pribadi!”
Doroti langsung berdiri.
“Oh honey, kalau mau bela suami orang pakai otak ya. Ini RUPS, bukan sinetron.”
(RUPS : RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM)
Renata membentak. “Kamu siapa berani bicara begitu!?”
Doroti tersenyum lebar.
“Saya hanya orang miskin yang kebetulan memegang saham. Dan…”
Ia mencondongkan badan.
“Perempuan yang bisa bikin kamu diusir dalam tiga menit kalau mau.”
Para direksi menunduk, menahan tawa gugup.
Bu Anggita ikut campur.
“Anak saya difitnah! Juna bekerja keras! Semua laporan itu dibuat untuk menghancurkan masa depannya!”
Arian menjawab tenang.
“Bu, sebagian laporan itu ditandatangani staf Anda sendiri.”
Sunyi.
Bu Anggita memucat.
Doroti angkat alis.
“Gimana Bu? Mau bilang staf ibu juga selingkuh sama Juna?”
Beberapa direksi tersedak.
Renata menggebrak meja.
“Kalian ini keterlaluan! Juna adalah calon ayah dari—”
Doroti menyambar cepat.
“Dari bayi siapa?”
Renata membeku.
Doroti melanjutkan, tidak memberi ruang bernapas.
“Kalau kamu yakin itu anak Juna… kenapa kamu yang paling panik?”
Reani menunduk menahan senyum dingin.
Breinzo menatap jam tangan, seolah ingin rapat cepat selesai.
Renata mulai emosional.
“Kami saling mencintai! Itu lebih penting daripada jabatan ini!”
Doroti menepuk meja pelan.
“Selingkuh itu bukan cinta.
Selingkuh itu pembenaran diri untuk hasratmu yang murahan.”
Renata hampir menjerit.
Bu Anggita berdiri.
“DIAM KALIAN SEMUA! Jangan hina keluarga saya!”
Doroti mendengus.
“Keluarga?
Bu, keluarga itu dijaga.
Bukan diseret ke kantor untuk mempermalukan diri sendiri.”
Renata benar-benar kehilangan kendali.
“Doroti! Kamu—”
“Diam.”
Kali ini bukan Doroti.
Bukan Reani.
Bukan Breinzo.
Arian yang berkata—dengan suara rendah, tapi cukup untuk menutup mulut mereka semua.
“Jika kalian membuat kegaduhan lagi, saya panggil keamanan termasuk kamu Doroti.”
Doroti menggigit bibirnya.
Setelah peringatan Arian, ruangan seketika sunyi.
Renata duduk dengan wajah merah karena malu.
Juna menunduk, tak berani mengangkat kepala.
Bu Anggita masih tampak ingin memaki, tapi tatapan Breinzo membuat mulutnya terkunci rapat.
Arian kembali ke posisi, menutup mapnya.
Ketua RUPS menggeser mikrofon.
“Baik. Kita masuk ke agenda utama, voting evaluasi dan pemilihan ulang posisi Wakil Direktur Utama Tekno Air.”
Suara kursi bergeser sepanjang meja.
Para pemegang saham merapatkan duduk, beberapa menyalakan tablet voting, beberapa menyalakan pena digital untuk tanda tangan.
Ketua melanjutkan.
“Sesuai aturan, dua kandidat tercatat dalam laporan.
Juna Airlangga (incumbent)
Reani Wijaya (nominasi saham mayoritas)”
Wajah Renata berubah pucat.
Bu Anggita memekik kecil, “Apa!? Reani!?”
Tapi ketua hanya mengetuk palu ringan, meminta diam.
Arian menyalakan proyektor. Grafik dan laporan muncul di layar besar.
“Berikut evaluasi enam bulan terakhir…”
– Penyalahgunaan dana: 5x
– Proyek tanpa audit: 3x
– Laporan ganda: ditemukan oleh divisi internal
– Pengeluaran pribadi menggunakan dana operasional
Juna memucat lebih dalam.
Renata mencoba bangkit membela, tapi Arian menatapnya dingin.
“Silakan tetap duduk. Ini rapat formal.”
Renata menggigit bibir sampai wajahnya memerah.
Arian menutup laporan.
“Dengan ini, tim audit menyatakan ada pelanggaran yang cukup untuk mencabut jabatan Wakil Direktur Utama dari Juna Prasetyo.”
Suasana meledak oleh bisikan.
— “Berat sekali ini…”
— “Saya sudah duga angka tidak sinkron…”
— “Kenapa Keluarga Tekno Air baru bertindak sekarang?”
Breinzo menyandarkan tubuh, menatap Juna.
“Kami bersabar selama tujuh tahun. Hari ini cukup.”
Juna mengepal tangan, tapi tak bisa membalas.
Ketua RUPS mengangkat tangan.
“Pemegang saham yang setuju pencopotan Juna Prasetyo dari posisi Wakil Direktur Utama, silakan voting.”
BIP.
BIP.
BIP.
Suara tombol digital memenuhi ruangan.
Renata gelisah.
Bu Anggita memegang dada.
Juna berkeringat dingin.
Ketua menekan tombol finalisasi.
“Hasil voting akan muncul dalam… tiga detik.”
3…
2…
1…
Proyektor Menyala
– MENYETUJUI PENCOPOTAN: 78%
– MENOLAK: 18%
– ABSTAIN: 4%
Renata tersentak keras, hampir jatuh dari kursi.
Bu Anggita menutup mulut.
Juna menunduk, tubuhnya goyah.
Ketua kembali mengetuk palu.
“Dengan suara mayoritas, Juna Prasetyo resmi dicopot dari jabatan Wakil Direktur Utama Tekno Air.”
Doroti bersiul pelan.
Breinzo bersandar, puas.
Arian menutup map, profesional.
Reani tidak tersenyum.
Hanya menatap lurus ke depan—dingin seperti salju Tundra.
Ketua melanjutkan.
“Selanjutnya, kita masuk ke pemilihan kandidat Wakil Direktur Utama baru.”
Nama Reani muncul besar di layar.
Ketua mengangguk pada pemegang saham.
“Silakan voting.”
Renata berdiri seketika, panik.
“Tidak! Kalian tidak bisa melakukan ini! Ini… ini perebutan kekuasaan keluarga Airlangga! Ini tidak adil!”
Juna menarik tangannya.
“Renata… cukup.”
“Tidak! Kalau dia yang naik—kita habis!” Renata menjerit.
Bu Anggita memakinya pelan, “Diamlah! Kamu mempermalukan kita!”
Doroti bersandar pada kursi, tersenyum menyaksikan kekacauan keluarga itu.
Voting Selesai
Ketua RUPS menekan tombol final.
Hasil muncul.
– MEMILIH REANI WIJAYA: 86%
– MENOLAK: 10%
– ABSTAIN: 4%
Ruangan seperti disambar petir.
Ketua mengetuk palu terakhir.
“Dengan demikian, mulai hari ini, Wakil Direktur Utama Tekno Air adalah
REANI WIJAYA.”
Tepuk tangan terdengar dari beberapa pemegang saham senior.
Renata sangat pucat—seperti melihat akhir hidupnya.
Juna menutup wajah dengan kedua tangan.
Bu Anggita hanya dapat bergumam, “Tidak mungkin… tidak mungkin…”
Doroti berdiri dan bertepuk tangan paling keras.
“Selamat, Rea. Saatnya membersihkan bangkai.”
Breinzo berdiri menyusul.
“Rapat selesai.
Dan untuk Juna…
ambil barangmu.
Arian?”
Arian mengangguk pelan, siap membawa map hitam berisi
SURAT PEMECATAN RESMI
Semua kepala menoleh pada Juna.
Sementara itu…
Reani hanya berdiri, merapikan Blazernya—tanpa ekspresi.
bersambung.....