Istri Rahasia Dosen Galak

Dan setelah mencairkan uang pinjaman, Maira berniat menghubungi pamannya untuk mengirimkan uang itu.

"Mau kamu transfer?" tanya Jihan.

Maira mengangguk, dia masih memegang ponselnya. Masih di menu m-banking miliknya.

"Hais, jangan Maira. Orang seperti paman kamu itu gak bisa dijamin ucapannya kalau cuma lewat transfer!" kata Jihan.

"Tapi kalau aku datang kesana, juragan itu ada disana bagaimana?" tanya Maira.

Dia terlalu khawatir dengan masalah itu. Saat itu di hotel, dia beruntung bisa lolos. Tapi, kalau di rumah, dia yakin tidak mungkin bisa lolos.

"Tetap saja, kamu harus dapatkan sertifikat rumah nenek kamu itu untuk jaminan. Uang 150 juta itu tidak sedikit, kamu mungkin tidak akan bisa keluar dari klub malam ini selama dua sampai tiga tahun untuk melunasinya. Harus ada jaminan, aku akan menemanimu!" kata Jihan yakin.

Maira sebenarnya bukan tidak yakin pada Jihan. Tapi dia bahkan takut sahabatnya itu akan terluka karenanya.

"Kalian masih disini?" tanya Jonathan.

Maira menoleh, tersenyum canggung dan mengangguk perlahan. Sementara Jihan, mata gadis itu berbinar. Dia kembali mendapatkan sebuah ide untuk membantu Maira.

"Kak Jo, kak Jo sibuk tidak?" tanya Jihan dengan cepat.

"Tidak, ada yang bisa aku lakukan untuk kalian?" tanya Jonathan yang terdengar begitu manly tapi juga sangat tulus.

Benar-benar tipe soft spoken bin green flag.

"Kak Jo, sebenarnya Maira punya masalah. Kami mau ke rumah neneknya yang sekarang dikuasai oleh pamannya. Sebenarnya begini, paman Maira itu beberapa waktu lalu bahkan menjual Maira..."

Maira ingin menahan Jihan untuk tidak menceritakan masalah pada Jonathan. Tapi temannya itu tidak bisa dihentikan. Berkali-kali Maira memegang lengan Jihan, Jihan menepisnya.

Beberapa kali Maira mencoba membantah ucapan Jihan, gadis yang lebih tinggi dari Maira itu memelototinya dan minta Maira diam supaya dia bisa menceritakan semuanya pada Jonathan.

Alhasil, Jonathan sungguh mengetahui semuanya. Kenapa dia sampai meminjam begitu banyak uang, bahkan masalah paman dan bibinya yang punya rencana menjualnya ke juragan Rusli.

"Kita bisa tuntut paman dan bibi kamu itu, Maira!" kata Jonathan yang sudah memahami situasi Maira.

Maira langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat.

"Tidak kak, paman adalah anak nenek satu-satunya yang tersisa. Nenek sangat menyayangi paman. Paman juga punya dua anak yang masih harus dibiayai. Kalau paman masuk penjara, nama baik nenek juga akan..." Maira menjeda ucapannya.

Kalau dia melaporkan pamannya. Semua orang akan tahu seperti apa Ruslan. Nama baiknya akan rusak, dan semua orang pasti akan mengaitkannya dengan neneknya Maira.

Merasa itu adalah pilihan Maira, dan Jonathan juga sangat menghargai itu. Jonathan tidak memaksanya lagi.

"Baiklah, untuk berjaga-jaga. Aku temani kalian menyerahkan uang itu. Tapi Jihan benar, setidaknya sertifikat rumah itu harus ada di tanganmu. Aku akan minta beberapa orang ikut, mereka akan menyamar jadi pengacara. Bagaimana?" tanya Jonathan.

Maira dan Jihan sama-sama mengangguk setuju. Padahal, orang-orang yang akan Jonathan hubungi itu memang pengacara.

Sedangkan Paul yang melihat Maira keluar dari kantor bersama dengan Jihan, segera melaporkannya pada Jack.

"Tuan..."

[Dia sudah pulang?]

"Nona baru saja keluar, bersama temannya yang bernama Jihan"

[Pastikan dia kembali ke apartemen]

"Baik tu...." Paul menjeda ucapannya.

Paul melihat seorang pria dengan sepeda motor berhenti di depan Maira dan Jihan.

[Ada apa?]

Tanya Jack yang mendengar ucapan Paul terjeda.

"Tuan, ada seorang pria menggunakan sepeda motor menghampiri nona..."

[Video call]

Paul segera merubah panggilan suara itu menjadi menjadi panggilan video. Dan memperlihatkan siapa yang tengah menghampiri Maira.

Di tempat Malra dah Jihan. Jonathan memang tengah menghampirinya.

"Maira, aku tidak tahu rumah pamanmu..."

Jihan yang sudah tahu rumah nenek Maira. Segera mendorong sedikit Maira.

"Kak Jo, kak Jo bisa pergi dengan Maira. Aku tahu rumah Maira, aku akan naik taksi" kata Jihan yang langsung pergi dari sana, meraih ponselnya dan memesan sebuah taksi.

Maira agak canggung. Tapi pria di depannya itu memang sudah banyak membantunya.

"Ayo, pakai helm ini dulu" kata Jonathan yang menyodorkan helm pada Maira.

Maira baru mau menerimanya, tapi Jonathan malah memakaikan helm itu pada Maira. Mata Maira melebar, dia sangat terkejut.

"Kak, aku bisa..."

Klik

Bahkan sebelum Maira mengatakan dia bisa menggunakannya sendiri. Jonathan sudah lebih dulu memasangnya dengan aman.

"Sudah, naiklah. Kita harus cepat kan? kita masih harus bekerja kan?" tanya Jonathan.

Maira mengangguk. Dia naik ke boncengan motor Jonathan dan mereka pergi dari sana.

"Tuan, apa masih harus mengikuti..."

[Tidak usah buang-buang waktu, Paul]

Tut Tut Tut

Dan panggilan video itu berakhir.

Di tempatnya berada, Jack terlihat kesal. Kesal sekali.

Sedangkan beberapa waktu kemudian, Maira dan Jonathan sudah sampai di depan pintu gerbang rumah neneknya yang saat ini di tinggali oleh paman dan bibinya, juga kedua anak mereka.

Mereka masih menunggu Jihan dan para pengacara itu. Begitu semua datang, mereka bersama-sama masuk ke dalam pintu gerbang.

Mendengar suara langkah kaki ramai, Rosmalina yang baru selesai masak pun segera keluar.

"Nah, pulang juga kamu ya..."

Tadinya arah pandangan Rosmalina hanya pada Maira. Wanita itu segera saja mengungkapkan emosinya, tapi setelah melihat orang-orang yang datang bersamanya. Rosmalina segera menjeda ucapannya.

"Bang, bang Ruslan!" teriaknya memanggil suaminya.

Sepertinya sekarang dia tahu takut. Karena melihat beberapa orang yang datang bersama dengan Maira.

***

Bersambung...