Aku sengaja menikahi gadis muda berumur 24 tahun untuk kujadikan istri sekaligus ART di rumahku. Aku mau semua urusan rumah, anak dan juga ibuku dia yang handle dengan nafkah ala kadarnya dan kami semua terima beres. Namun entah bagaimana, tiba-tiba istriku hilang bak ditelan bumi. Kini kehidupanku dan juga anak-anak semakin berantakan semenjak dia pergi. Lalu aku harus bagaimana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10
Setengah jam kemudian, aku akhirnya sampai di sekolah. Napas tersengal, tangan masih memegang stir dengan erat, dan keringat mulai membasahi dahi.
Di depan gerbang, Mira dan Clara sudah berdiri menunggu dengan wajah kesal dan bibir menekuk. Mata mereka menatapku penuh kecewa.
“Papah… telat lagi,” ujar Mira sedikit kencang, suaranya mengandung kesal yang sulit disembunyikan.
“Ya ampun… kenapa bisa lama begitu?” timpal Clara ikut kesal.
Aku menunduk sejenak, menahan rasa bersalah. “Maafkan Papah… tadi di kantor mendadak ada urusan, tapi Papah bergegas langsung ke sini,” ucapku cepat, berusaha menjelaskan.
Mereka saling pandang, wajah mereka masih kesal tapi menerima penjelasanku. “Hati-hati lain kali, ya, Papah. Kita kan nggak mau dimarahi wali kelas lagi, kemarin saja kami berdua sudah bolos sekolah," tambah Mira sambil menarik tangan adiknya, masuk ke halaman sekolah.
Selama perjalanan pulang dari sekolah, suasana di mobil terasa hening sesaat. Namun tak lama kemudian, kedua anakku mulai membuka mulut.
“Papah… mamah kapan pulang?” tanya Clara dengan nada serius, matanya menatapku penuh harap.
Mira mengangguk sambil menambahkan, “Iya, Papah… kita sudah nggak tahan kalau setiap hari kaya gini. Semenjak istri papah enggak ada di rumah, kami jadi bangun telat terus!”
Aku menekan pedal gas lebih kuat, menahan rasa frustrasi yang mulai membuncah. “Papah… juga nggak tahu kapan mamah Ratu pulang. Tapi sekarang yang penting kita sampai rumah dulu dengan selamat, oke?” jawabku dengan nada lembut, meski hatiku sendiri panas mendengar keluhan mereka.
"Pokoknya Papah harus bawa mamah Ratu pulang ke rumah, biar dia yang urus semuanya."
"Iya, setuju." timpal Clara. "Walau pun kita berdua enggak suka sama istri papah, tapi setidaknya kalau ada dia aku enggak pernah telat sekolah, enggak pernah kelaparan kalau di rumah. Baju juga selalu bersih dan rapi." cecarnya lagi membuat kepalaku semakin pusing.
20 menit kemudian aku sampai ke rumah, untung jarak rumah dan sekolah tidak terlalu jauh.
"Kita sudah sampai, kalian berdua turun ya Papah mau langsung masuk kerja."
"Loh, kalau papah balik ke kantor siapa yang urus kita berdua, kita berdua belum makan siang loh," ujar Mira.
"Kalian bisa masak, kan?" Mira dan Clara menggeleng kepala. "Kita berdua, kan enggak pernah masak, Pah." Kutepuk jidatku, aku baru ingat kedua anakku tidak pernah diajarkan masak oleh ibunya. Yang mereka tahu makanan sudah ada di meja.
"Kalau begitu kalian belajar masak sendiri, dan minta tolong sama Eyang dulu ya. Papah sudah tidak ada waktu buat temenin kalian masak, waktu papah sudah habis."
"Tapi, Pah--"
"Mira, kamu itu perempuan dan sudah kelas tiga SMP, seharusnya kalian berdua sudah bisa mandiri kalau di rumah enggak ada orangtua." Tanpa banyak bicara lagi, aku langsung tancap gas tanpa pamitan lagi. Aku harus buru-buru sampai kantor agar tidak kena omelan lagi.
Saking ngebutnya dalam perjalanan menuju kantor, aku sampai tidak sadar karena saking takutnya di cecar oleh bos.
Saat sudah sampai parkiran, aku langsung berlari untuk masuk ke dalam. Namun saat aku sudah hampir sampai di lobi kantor. Mataku seperti melihat seeorang yang aku kenal berdiri tak jauh dari kantorku.
Aku terus memperhatikannya hingga mataku membulat sempurna. Itu Ratu, iya benar itu Ratu istriku. Aku tahu bagaimana bentuk tubuh Ratu walau pun dari kejauhan.
Tapi anehnya, dia sedang apa di sini? Apalagi dia sedang bersama seorang pria. Aku mencoba mendekati Ratu, aku ingin bertemu dengannya dan membawanya pulang ke rumah. Entah kenapa aku begitu bahagia bisa melihat Ratu di sini. Sudah dua hari dia tidak pulang ke rumah.
"Ratu?" panggil, ia sempat menoleh saat aku memanggil namanya. "Ratu? Kamu dari mana saja." Saat aku sudah mulai dekat terlihat wajahnya begitu terkejut. Ia buru-buru berlari dan menghindar dariku.
"Ratu tunggu, kamu mau ke mana?!" Aku berteriak memanggil dirinya, tapi dia terus berlari secepat kilat. Kenapa dia harus lari dariku, padahal dia sudah dua hari tidak pulang ke rumah. Apa dia tidak rindu denganku. "RATU?!" Aku kembali memanggil dirinya, sayangnya dia sudah pergi jauh. Andai saja aku masih punya waktu, aku yakin Ratu bisa aku kejar.
Namun tiba-tiba, dari arah berlawanan, seorang pria asing menghampiriku. Tubuhnya tegap, sorot matanya tajam menusukku. Tangannya terangkat, seolah memberi isyarat agar aku berhenti.
“Cukup, pak Erlangga,” katanya tegas.
Aku tertegun. “Siapa kamu? Jangan ikut campur urusan rumah tanggaku!” bentakku, nadaku penuh amarah.
Aku menatap pria itu lebih saksama, sorot matanya dingin tapi familiar. Saat bentakan keluar dari mulutku, otakku tiba-tiba terhubung pada ingatan dua hari lalu—
Aku pernah menabrak seorang pria di lobi kantorku. Saat itu aku buru-buru masuk, tidak sengaja bahuku menabrak keras tubuhnya. Dia hanya menatapku sekilas, tapi tatapan itu membekas, seperti menilai siapa diriku. Dan sekarang… aku sadar, pria yang berdiri menghadangku ini adalah orang yang sama.
Ya, betul. Dia adalah pria sombong yang sempat ikut rapat dibarisan para petinggi. Tapi aku lupa siapa namanya. Sekilas aku sempat melihat ID Card bernama Angkasa. Tidak ada indentitas dia dari bagian apa dan jabatan apa. Hanya ada nama dan nomor ID.
Aku menahan diri sejenak, meski darahku mendidih. Pandanganku menusuk ke arahnya, mencoba membaca siapa sebenarnya orang ini. Suara keluar dari mulutku berat dan penuh curiga.
“Kenapa anda bisa bersama Ratu? Apa anda kenal sama istriku?" tanyaku, nadaku hampir bergetar menahan amarah.
Pria itu tidak langsung menjawab. Dia melirik sekilas ke arah Ratu yang semakin menjauh, lalu kembali menatapku. Senyumnya tipis, tapi dingin.
Aku menatapnya penuh curiga, dadaku naik turun menahan amarah.
“Jawab aku! Siapa kamu sebenarnya? Apa hubunganmu dengan Ratu?” suaraku meninggi, hampir berteriak.
Pria itu hanya diam. Sorot matanya dingin, sama sekali tidak gentar dengan bentakanku. Dia sempat melirik ke arah Ratu yang semakin menjauh, lalu kembali menatapku sebentar.
“Saya tidak perlu menjawab pertanyaanmu, pak Erlangga, biar waktu yang menjawab siapa saya, katanya singkat.
“Apa maksud anda?!” bentakku lagi, suara pecah karena amarah.
Alih-alih menjelaskan, pria itu—Angkasa—malah memilih berbalik badan. Langkahnya tenang, seolah tidak peduli pada tatapanku yang penuh murka.
“Hey! Jangan coba-coba pergi sebelum jelaskan apa mau kamu!” teriakku keras. Namun Angkasa tidak menoleh, terus melangkah menjauh, meninggalkanku dengan dada bergemuruh.
Tanganku mengepal kuat. Rasa marah, terhina, dan penasaran bercampur jadi satu. Aku benci melihat punggungnya semakin menjauh, bersamaan dengan Ratu yang sudah lebih dulu menghilang dari pandanganku.
Kini aku hanya berdiri sendiri, terengah-engah, tanpa jawaban, hanya dengan pertanyaan besar di kepalaku: siapa sebenarnya Angkasa… dan apa hubungannya dengan istriku?
"Bre**sek!" umpatku.