Bagi Luna, Senja hanyalah adik tiri yang pantas disakiti.
Tapi di mata Samudra, Senja adalah cahaya yang tak bisa ia abaikan.
Lalu, siapa yang akan memenangkan hati sang suami? istri sahnya, atau adik tiri yang seharusnya ia benci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 - Belum menyerah
Senja sedang menata bunga segar di vas kristal di meja ruang tamu ketika mendengar suara mesin mobil yang familiar. Jam dinding menunjukkan pukul enam sore, Samudra pulang lebih cepat dari biasanya. Jantungnya langsung berdebar, sebuah reaksi yang sudah tidak bisa dikontrolnya lagi setiap kali pria itu ada di dekatnya.
Sejak pengakuan cinta di tepi danau beberapa hari yang lalu, perasaan Senja semakin kuat dan membingungkan.
Senja berjalan pelan menuju pintu dapur, bersembunyi di balik dinding sambil mengintip ke arah pintu utama. Kebiasaan buruk yang mulai terbentuk, mencuri-curi pandang pada Samudra tanpa sepengetahuannya.
Pintu utama terbuka dan Samudra melangkah masuk dengan postur yang terlihat lelah. Jasnya sudah dilepas dan dilipat di lengan, dasi dilonggarkan, dan wajahnya menunjukkan kelelahan yang bukan hanya fisik tapi juga mental. Matanya yang biasanya tajam kini terlihat redup dan kosong.
"Sayang! Kamu sudah pulang!" suara Luna yang dibuat riang bergema di ruang tamu.
Senja sedikit terkejut melihat Luna tiba-tiba muncul dari arah tangga. Kakak tirinya itu sudah berdandan dengan sempurna. Sangat berbeda dari Luna yang biasanya acuh tak acuh pada kepulangan suami.
Luna berjalan cepat menghampiri Samudra dengan langkah yang diperhitungkan, anggun namun menggoda. Senyum lebar terpasang di wajahnya, mata berbinar seolah benar-benar senang melihat suami pulang.
"Aku sudah nungguin kamu dari tadi lho," kata Luna sambil langsung memeluk lengan Samudra dengan manja. "Kamu pasti capek ya? Aku sudah siapkan semuanya buat kamu."
Samudra menatap istrinya dengan tatapan yang datar, tidak marah, tidak senang, hanya... kosong. Seperti menatap orang asing yang kebetulan tinggal satu rumah dengannya.
"Hmm," gumamnya singkat tanpa ekspresi apapun.
Luna tidak terpengaruh dengan respon dingin Samudra. Justru dia semakin mengerat pelukannya di lengan suami, tubuhnya menempel lebih dekat.
"Aku tadi masak lho buat kamu," bisik Luna dengan nada yang dibuat manja. "Masak favorit kamu, beef teriyaki. Aku inget kamu suka banget masakan itu."
Dari balik dinding dapur, Senja merasakan dadanya sesak mendengar kebohongan Luna. Dia yang memasak beef teriyaki itu dari sore, sementara Luna hanya duduk di sofa sambil main ponsel. Tapi seperti biasa, Luna dengan mudahnya mengklaim hasil kerja orang lain.
"Aku tidak terlalu lapar," jawab Samudra sambil melepaskan pelukan Luna di lengannya dengan gerakan yang halus tapi tegas. "Aku mau ke atas dulu, ganti baju."
"Aku temani ya," kata Luna cepat sambil mengikuti Samudra yang mulai menaiki tangga. "Biar aku bantuin lepas sepatu kamu."
Samudra tidak menjawab, hanya terus berjalan naik tangga dengan Luna yang mengekorinya seperti bayangan. Senja menatap punggung mereka yang menghilang di belokan tangga dengan perasaan yang sangat sakit.
"Kenapa aku cemburu?" bisiknya pada diri sendiri sambil meremas apron yang dipakainya. "Luna itu istrinya. Wajar kalau mereka... wajar kalau mereka seperti itu."
Tapi meski mencoba merasionalisasi, hatinya tetap sakit membayangkan Samudra dan Luna berdua di kamar utama. Pria yang baru beberapa hari lalu mengaku mencintainya, yang menciumnya dengan penuh perasaan, sekarang ada di kamar bersama istri sahnya.
Senja berbalik dan kembali ke dapur dengan langkah gontai. Dia mulai menata meja makan untuk makan malam, menaruh piring, sendok garpu, gelas, dan semua peralatan yang dibutuhkan. Tangannya bergerak otomatis meski pikirannya melayang jauh.
***
Di kamar utama lantai dua, Samudra melepas jam tangan dan meletakkannya di meja nakas dengan gerakan yang lelah. Luna berdiri di dekat pintu yang baru saja ditutupnya, menatap suami dengan mata yang penuh perhitungan.
"Sayang," panggil Luna dengan suara lembut sambil berjalan mendekati Samudra. "Kamu terlihat sangat lelah hari ini. Ada masalah di kantor?"
"Tidak ada," jawab Samudra singkat sambil mulai membuka kancing kemejanya.
Luna berdiri tepat di belakang Samudra, tangannya terangkat ingin membantu membuka kancing kemeja tapi ditepis halus oleh Samudra.
"Aku bisa sendiri," katanya tanpa menoleh.
"Tapi aku kan istrimu," bisik Luna sambil memaksakan diri untuk memeluk Samudra dari belakang. "Aku ingin membantu suami tercinta."
Samudra merasakan tubuhnya menegang ketika Luna memeluknya. Bukan karena gairah atau kebahagiaan, tapi karena tidak nyaman. Pelukan yang dulu mungkin membuatnya bahagia kini terasa seperti jebakan.
"Luna, aku mau ganti baju," kata Samudra sambil melepaskan pelukan istrinya dengan gerakan yang tegas namun tidak kasar.
"Ganti baju di sini aja," rayunya sambil duduk di tepi tempat tidur dengan pose yang disengaja menggoda. "Aku kan sudah sering lihat."
Samudra mengabaikan komentar itu dan berjalan ke kamar mandi sambil membawa baju ganti. Pintu kamar mandi tertutup dengan suara yang jelas, sebuah penolakan halus namun tegas.
Luna menggigit bibir bawahnya dengan frustrasi. Setiap usahanya untuk mendekati Samudra selalu berakhir dengan penolakan. Pria yang dulu selalu mengemis perhatiannya kini seolah muak dengan kehadirannya.
"Tidak boleh menyerah," bisiknya pada diri sendiri. "Demi Arjuna, demi masa depan kita, aku harus berhasil."
Beberapa menit kemudian, Samudra keluar dari kamar mandi dengan mengenakan kaus hitam dan celana kain abu-abu. Rambutnya masih sedikit basah, wajahnya lebih segar tapi ekspresinya tetap datar.
"Kamu mau makan malam sekarang?" tanya Luna sambil bangkit dari tempat tidur dan menghampiri Samudra.
"Sebentar lagi," jawabnya sambil mengambil ponsel dari meja nakas.
Luna memanfaatkan momen itu untuk semakin mendekat. Dia berdiri tepat di depan Samudra, jarak mereka hanya beberapa senti. Aroma parfum mahalnya yang menyengat tercium jelas.
"Samudra," bisiknya dengan nada yang sangat lembut, sangat berbeda dari nada bicara biasanya yang kasar dan demanding. "Aku tahu belakangan ini aku tidak jadi istri yang baik."
Samudra mengangkat pandangannya dari ponsel, menatap Luna dengan tatapan yang sulit dibaca.
"Aku sadar kalau aku terlalu egois," lanjut Luna sambil menyentuh dada Samudra dengan ujung jari. "Tapi mulai sekarang aku mau berubah. Aku mau jadi istri yang baik buat kamu."
"Luna..." Samudra mencoba mundur tapi Luna sudah melangkah lebih dekat, memerangkapnya di antara tubuhnya dan dinding.
"Please, dengarkan aku dulu," pinta Luna dengan mata yang mulai berkaca-kaca, air mata yang dipaksakan keluar untuk terlihat menyedihkan. "Aku takut kehilangan kamu."
Sebelum Samudra bisa merespons, Luna tiba-tiba memeluk lehernya dan menarik wajah Samudra mendekat. Bibir Luna menempel pada bibir Samudra dalam ciuman yang dipaksakan, desperate, penuh agenda tersembunyi.
Samudra mematung. Tubuhnya tidak merespons sama sekali. Tidak ada gairah, tidak ada perasaan, bahkan tidak ada rasa apapun. Hanya kekosongan dan... jijik.
Luna mencium dengan lebih intens, tangannya merambat ke rambut Samudra, mencoba memancing reaksi. Tapi tubuh Samudra tetap kaku seperti patung.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti keabadian, Samudra memegang bahu Luna dan mendorongnya menjauh dengan gerakan yang tegas.
"Cukup," katanya dengan suara yang datar namun penuh penolakan.
"Kenapa?" tanya Luna dengan napas terengah-engah, wajahnya memerah, entah karena malu atau frustrasi. "Kenapa kamu menolak aku lagi?"
"Karena ini tidak tulus," jawab Samudra sambil mengusap bibirnya dengan punggung tangan, seolah ingin menghapus jejak ciuman Luna. "Apapun yang kamu lakukan sekarang, semuanya ada agendanya."
"Tidak ada agenda!" bantah Luna dengan suara yang mulai meninggi. "Aku benar-benar mau jadi istri yang baik!"
"Kalau memang benar," kata Samudra sambil menatap mata Luna dengan tajam, "kenapa baru sekarang? Kenapa setelah aku mulai tidak peduli lagi? Kenapa setelah kamu tahu aku sudah tidak seperti dulu lagi?"
Luna terdiam. Pertanyaan-pertanyaan Samudra tepat mengenai sasaran. Memang benar, dia baru berubah sikap setelah Samudra tidak lagi mengejarnya, setelah pria itu mulai membandingkannya dengan Senja.
"Kamu hanya takut kehilangan kontrol," lanjut Samudra dengan nada yang semakin dingin. "Selama ini kamu yang berkuasa dalam hubungan kita. Kamu yang menentukan kapan kamu mau peduli dan kapan tidak. Sekarang ketika aku mulai tidak peduli, kamu panik karena kehilangan power itu."
"Bukan begitu..."
"Cukup, Luna," potong Samudra sambil berjalan menuju pintu. "Aku lelah dengan permainan ini. Kalau kamu memang mau makan malam, kita makan di bawah. Kalau tidak, aku mau sendiri dulu."
Samudra keluar dari kamar dan menutup pintu dengan pelan namun tegas, meninggalkan Luna yang berdiri mematung dengan air mata yang kali ini benar-benar mengalir, bukan karena sedih, tapi karena frustrasi dan ego yang terluka.