Ketika hati mencoba berpaling.. namun takdir mempertemukan kita di waktu yang berbeda. Bahkan status kita pun berubah..
Akankah takdir mempermainkan kita kembali? ataukah justru takdir menunjukkan kuasanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SUNFLOWSIST, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. KEPUTUSAN WIRA
"Apa Nak Wira bisa melakukannya untuk kakek? Menjaga dan menyayanginya dengan sepenuh hati. Kakek tidak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi.. Melihat kedekatan kalian tadi, kakek rasa Nak Wira adalah orang yang tepat untuk menjaganya. Kalau boleh tanya, Nak Wira juga memiliki perasaan kan terhadap cucuku, Innaya?"
Deg...
"Apa aku memang memiliki rasa kepada Innaya? Tak bisa aku pungkiri semenjak kehadirannya dalam hidupku, aku bahkan tidak pernah bermimpi buruk lagi tentang istriku. Apakah ini jalan takdir dari Tuhan untuk kami bisa saling menyembuhkan satu sama lain?" Pertanyaan itu hanya bisa tersimpan dalam hatinya.
Kakek menghela nafas panjangnya, tangannya menggenggam tangan Wira dengan penuh kehangatan.. Menyadarkan lamunan Wira yang sudah melalang buana entah kemana..
"Kakek tidak memaksamu untuk menuruti permintaan kakek. Kakek hanya ingin kamu menerima Naya dengan hati, dengan keikhlasan nak. Karena kakek sadar, Naya banyak kekurangannya. Di usianya yang masih muda, ia harus memikul beban yang sangat berat. Bahkan mungkin semua itu akan menjadi penyesalannya seumur hidup. Nak Wira bisa menolak keinginan pria tua ini. Fokus saja dengan tujuan utama Nak Wira yaitu bahagia.. "
Wira terdiam tanpa kata, pikirannya melayang jauh ke depan. Menyelami perasaan seperti apa yang sebenarnya ia rasakan terhadap Innaya? Sayang ataukah Iba? Entahlah dia sendiri juga belum tau. .
"Jangan jadikan kehidupan itu suatu beban. Jadikan hidup sebagai pelajaran, buanglah sesuatu yang tidak membuatmu bahagia, karena sejatinya kebahagiaan itu diciptakan sendiri Nak bukan menunggu untuk didatangi."
"Kakek hanya ingin... "
Wira menarik nafasnya dalam - dalam. Seolah mengumpulkan keberaniannya. "Baiklah kek.. Aku setuju. Aku akan menikahi Innaya, kalau memang kakek tidak keberatan. Aku akan menikahinya setelah ia melahirkan nanti." ucapnya dengan nadanya yang tegas dan penuh keyakinan. Suaranya mantap tanpa keraguan sedikitpun.
Kakek menatap dengan penuh haru, tanpa sadar ia meneteskan air mata. Dipeluknya Wira dengan penuh kehangatan.
"Terima kasih nak.. Terima kasih... Seumur hidup, kakek tidak akan pernah bisa membalas jasamu kepada keluarga kami. Kamulah penyelamat bagi kami nak.. "
Tangisan kakek pecah dalam pelukan Wira. Kakek merasa beban berat di pundaknya mulai terlepas satu persatu.
"Mungkin ini sudah menjadi suratan takdir kek.. Mungkin kami dipertemukan untuk saling menyembuhkan luka kami. Maaf kek, sebelumnya apa kakek tidak keberatan dengan statusku yang seorang duda? Istriku meninggal tiga tahun yang lalu. Tapi tenang saja kek, aku belum mempunyai anak." ucap Wira dengan wajah sendunya.
" Bagi kakek Duda atau single itu sama saja nak. Yang penting itu niatnya. Kalau niatnya baik, tentu saja kakek tidak bisa menolaknya."
Kedua pria beda generasi itu tertawa bersama.
Dunia memang begitu baik, disaat kita kehilangan sesuatu maka percayalah bahwa akan digantikan dengan sesuatu yang lebih baik. Kuncinya hanya tetaplah ikhlas dalam menjalaninya.
Sementara itu . . .
"Wah perut kakak sudah besar. Sebentar lagi aku punya keponakan. Pasti seru deh kak. Tapi sayangnya aku tidak bisa menemani kakak sewaktu melahirkan nantinya. Karena aku terikat kontrak beasiswa dan magang itu selama empat tahun kak." ucap Embun dengan wajahnya yang sendu.
Perlahan kuraih tangan Embun. Menyakinkannya bahwa semua akan baik - baik saja. "Kakak akan baik - baik saja dek. Kamu belajarlah yang rajin. Jangan pacaran dulu. Jaga diri baik - baik disana. Cukup kakak saja yang menjadi aib bagi keluarga ini."
"Kakak jangan berkata seperti itu lagi. Aku tidak suka. Bagiku kakak tetaplah kakak terbaikku sampai kapan pun itu."
Tangan Embun terulur mengelus perutku. Dielusnya perutku secara perlahan. "Kak, babynya cewek apa cowok? Sudah punya pilihan nama belum kak?" ucapnya dengan penuh antusias.
"USG kemarin cowok dek. Kakak belum kepikiran untuk memberinya nama apa. Bagi kakak fokus pada kelahirannya dulu saja. Jujur kakak takut dek."
"Kakak tenang saja. Kan ada dokter Wira nanti yang menemani kakak lahiran. Sepertinya dia suka sama kakak. Terlihat dari sorot matanya yang begitu teduh dan penuh kelembutan ke kakak."
"Hush.. jangan bicara yang enggak - enggak dek. Tidak mudah bagi kakak untuk bisa mempercayai yang namanya pria lagi. Kakak hanya fokus membesarkan anak kakak."
"Kamu magang dimana dek?"
"Aku akan menetap di Paris kak selama empat tahun."
Deg...
"Paris?"
Mendadak lidahku kelu. Nafasku tercekat. Pikiranku menjadi kacau. Potongan semua memori tentang Devan itu kembali muncul.
"Tidak... Devan.. Devan... Kamu brengsek... " teriakku dengan begitu histeris.
Aku pun mulai menggila, bantal diranjang menjadi sasaranku. Ku buang ke sembarang arah. Aku memukul - mukul dada dan perutku secara bersamaan.
"Kak Naya.. Kak..." teriak Embun dengan begitu panik.
Dengan cepat Embun berlari keluar kamar, mencari pertolongan yang ada.
"Dokter... Kakek... Kak Naya... Tolong.."
Mereka pun berlari menuju ke arah kamar. Dilihatnya Naya sudah berdiri di tepi jendela kaca kamar itu seraya menangis histeris memukul - mukul kaca dengan kedua tangannya.
"Innaya.. Innaya... Hentikan. Sadar Innaya... Kamu tidak sendiri. Lupakan semuanya... " dipeluknya tubuh Innaya yang sudah bergetar ketakutan itu. Diusapnya dengan penuh kelembutan.
"Kamu masih punya bayimu Innaya." Perlahan Wira mengelus perut Innaya yang sudah menegang itu. Diusapnya dengan penuh kelembutan seolah menenangkan ibu dan anak itu secara bersamaan.
Dipapahnya tubuhku menuju ranjang. "Semuanya akan baik - baik saja." bisiknya tepat di samping telingaku.
Sebuah kalimat yang seketika itu juga bisa membuatku menjadi tenang.
Kakek dan Embun hanya bisa menangis tersedu melihat kondisiku yang seperti ini.
"Kakek.. Embun.. Sebaiknya kunjungan hari ini kita akhiri sampai disini. Biarkan Innaya beristirahat terlebih dahulu."
"Baiklah Nak Wira. Kakek akan mengantar Embun ke bandara. Nanti kalau tidak kemalaman, Kakek akan mampir kesini."
"Dokter Wira.. Aku nitip Kak Naya. Jaga dia baik - baik selama aku tidak ada disisinya." ucap Embun seraya menitikkan air mata.
Dengan berbekal kesedihan, Akhirnya Kakek dan Embun meninggalkan rumah sakit itu. Langkah mereka gontai seolah berat untuk meninggalkan tempat itu. Sebuah tempat yang cukup menyesakkan bagi mereka.
Sepanjang perjalanan Kakek dan Embun hanya berdiam diri. Tidak ada percakapan di antara mereka. Mereka sibuk dengan pemikiran masing - masing. Hingga 20 menit kemudian sampailah taksi mereka di bandara.
"Kakek... Doakan aku sukses ya disana. Kakek jaga diri baik - baik. Nanti liburan sesekali aku akan menjenguk Kakek." Embun memeluk Kakek dengan begitu erat.
Sejujurnya Embun tidak ingin meninggalkan keluarganya. Namun ada impian yang ingin dia raih. Dia ingin bisa menjadi kebanggaan keluarganya.
"Jaga dirimu baik - baik Nak... Jangan nakal disana. Selalu kabari kakek ya.." Perlahan kakek melepas pelukan Embun. Tangannya terulur memberikan buku tabungan dan ATM untuk cucunya itu.
"Mungkin isinya tidak seberapa. Setidaknya cukup untuk membeli beberapa baju disana. Terimalah Nak..."
"Kakek memang yang terbaik.. Hiks.. Hiks.."
"Berangkatlah... Sebelum tertinggal oleh rombonganmu." Mereka pun melepas pelukan satu sama lain. Berpisah untuk sementara waktu demi mencapai cita - citanya sang cucu.
* * *
Malam ini, hujan membawa harapanku yang terjatuh dan memurnikannya. Dalam gelapnya malam, hujan menjadi saksi kesendirianku yang telah hanyut. Butiran hujan semua serupa, namun setiap tetes menciptakan kisah yang berbeda di malam ini.
Aku hanya bisa menatap hujan dibawah jendela kamarku. Pikiranku menerawang jauh pada rentetan masa lalu yang kelam. Perlahan ku elus perutku yang semakin membesar. Bayiku menendang - nendang kecil seolah memahami perasaanku yang sedang kalut.
"Sayang ... Apa kau juga merindukan ayahmu? Maafkan ibu .. Ibu sudah membuatmu menderita sejak dalam kandungan. Meski nantinya tanpa kehadiran seorang ayah, percayalah sedikitpun kamu tidak akan kekurangan kasih sayang."
"Aku akan berterima kasih kepada dokter Wira yang sudah banyak membantuku selama ini."
Perlahan aku beranjak dari ranjangku. Keluar dari kamarku secara mengendap - endap. Ku telusuri lorong - lorong rumah sakit itu. Meski masih pukul 20.00 namun suasana tampak begitu sepi. Mungkin inilah yang menjadi perbedaan antara rumah sakit biasa dengan rumah sakit jiwa.
Tiba di depan ruangan dokter Wira, sayup - sayup aku mendengar percakapan di dalam ruangan itu. Percakapan yang cukup mengusik indra pendengaranku.
" Come on Wira.. Apa kurangnya aku? Aku begitu tulus mencintaimu sejak kita kuliah. Tapi nyatanya kau malah menikahi sahabatku Arini. Dan sekarang meski istrimu telah meninggal, kau tetap saja tidak mau melirikku. Apa kurangnya aku Wira?" ucapnya dengan nada frustasinya.
Perlahan Laras mendekati Wira, Dipeluknya tubuh kekar itu dari arah belakang. "Aku bahkan siap kalau pun kau menginginkanku sayang.. " Jemarinya bermain nakal di dada bidang itu. Mencoba mencari titik sensitif dari pria yang membuatnya tergila- gila selama ini.
"Katakan ...mau di apartemenmu atau di apartemenku?Aku siap kapanpun kau mau. Bahkan aku lebih siap lagi menjadi ibu dari anak - anakmu." ucapnya dengan penuh nada sensual.