NovelToon NovelToon
Isekai To Zombie Game?!

Isekai To Zombie Game?!

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Zombie / Fantasi Isekai / Game
Popularitas:572
Nilai: 5
Nama Author: Jaehan

Mirai adalah ID game Rea yang seorang budak korporat perusahaan. Di tengah stress akan pekerjaan, bermain game merupakan hiburan termurah. Semua game ia jajal, dan menyukai jenis MMORPG. Khayalannya adalah bisa isekai ke dunia game yang fantastis. Tapi sayangnya, dari sekian deret game menakjubkan di ponselnya, ia justru terpanggil ke game yang jauh dari harapannya.
Jatuh dalam dunia yang runtuh, kacau dan penuh zombie. Apocalypse. Game misterius yang menuntun bertemu cinta, pengkhianatan dan menjadi saksi atas hilangnya naruni manusia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaehan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kateter

Bab 21

Setelah memastikan luka bersih dari kotoran, Mirai mengambil jarum bedah dan benang steril. Otot di sekitar luka robek, ia menjahitnya perlahan, simpul demi simpul. Tangannya masih gemetar, tapi teknik bedahnya otomatis bekerja. Sesekali ia menyeka darah dengan kasa.

Selesai menutup otot, ia menempelkan kasa steril baru yang sudah dibasahi antiseptik, lalu membalutnya rapat. Sebagai langkah darurat, ia menyuntikkan antibiotik spektrum luas langsung ke otot paha Nero untuk melawan infeksi, terutama tetanus yang mengintai dari luka berkarat itu.

Begitu jarum terakhir ditarik keluar dari kulitnya, tubuh Nero mendadak menegang. Keringat dingin membasahi pelipis dan dadanya, napasnya terputus-putus seakan paru-parunya enggan bekerja. Jemarinya mencengkeram seprai ranjang hingga buku-bukunya memutih.

“Vin?! Tahan!” Mirai panik, segera meraih tangan dingin itu, mencoba menyalurkan ketenangan lewat genggamannya.

Nero mengerang pelan, tubuhnya sedikit kejang, lalu batuk keras. Darah segar nyaris menyembur keluar dari bibirnya. Mirai buru-buru memiringkan kepalanya agar tak tersedak. Sambil menahan tangis, ia menyeka sudut bibir Nero dengan kasa.

“Ini reaksi normal … kamu kehilangan banyak darah. Kamu cuma butuh bertahan sebentar lagi,” ucapnya sedih.

Perlahan, setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, kejang itu mereda. Tubuh Nero kembali terkulai lemah, napasnya masih berat tapi lebih teratur. Kulit pucatnya tampak sedikit lebih basah oleh keringat ketimbang abu-abu tadi.

Mirai meletakkan keningnya di punggung tangan Nero, matanya terpejam rapat. “Jangan pergiiiiii. Aku tau kamu kuaaaaat.”

“Iyaaa, kamu jangan khawatir,” jawab Nero lemas.

Mirai membelai lembut pipi Nero yang dingin. “Kamu tau Rhesus golongan darah kamu apa?” tanyanya lirih.

“A negatif.”

Mirai tercekat. Jenis langka. Segera saja ia berlari menuju ruang persediaan medis, menelusuri lorong demi lorong. Napasnya memburu. Tangannya gemetar saat membuka lemari pendingin besar di ruang bank darah dan nyaris tak percaya saat menemukan beberapa kantung darah berlabel A negatif, masih tersegel sempurna. “Aneh banget. Tapi, ya sudahlah,” gumamnya, tak sempat memikirkan lebih jauh. Dibawanya dua kantung darah, lalu kembali ke sisi Nero, memasangnya hati-hati, dan mengamati aliran merah yang mengisi selang menuju tubuhnya. Harapannya menggantung di tiap tetes yang jatuh.

Setelah memastikan transfusi berjalan, Mirai menyempatkan diri kembali ke gudang obat-obatan yang pernah ia temukan dulu. Kali ini, diambil satu set antibiotik suntik, cairan infus tambahan, analgesik, serta ampul antipiretik untuk menurunkan demam. Tak lupa membawa beberapa perban steril. Semua disusun rapi dalam baki logam, lalu kembali ke sisi Nero, bersiap untuk berjaga sepanjang malam.

Kemampuan Erica telah menyelamatkan orang penting dalam hidupnya. Semua tindakan medis dan pengetahuan yang barusan terjadi benar-benar bukan miliknya. Ia sama sekali tidak pernah mempelajari itu. Tetapi semua jahitan, tindakan, dan pemilihan alat serta obat sangatlah tepat. Ditatap kedua telapak tangannya yang terbuka, tak menyangka bila kemampuan seorang dokter begitu terberkati. Apakah ia perlu bersyukur untuk hal tersebut? Sudah seharusnya.

Pagi menyingsing, cahaya lembut menerangi rumah sakit secara bertahap hingga terang benderang, menyilaukan mata Mirai yang duduk tertidur di sisi Nero. Kedua matanya pun terbuka menyambut silaunya sinar mentari yang menyeruak masuk dari jendela.

Nero masih terbaring lelap, warna kulitnya mulai berwarna dibanding semalam. Kondisinya juga mulai membaik walau masih demam. Setidaknya masa kritisnya telah lewat. Napasnya terhela lega. Digenggamnya jemari pemuda itu, namun malah membuatnya terjaga.

Mata Nero terbuka, alisnya berkerut saat menemukan Mirai berdiri di sampingnya menyambut dengan senyuman manis. "Eriiii," panggilnya rendah.

"Kenapa Vin? Sakit banget ya?"

Nero menggeleng kecil. "Pengen pipis."

Gadis itu tercekat. "Hah?! O-M-G! Aku lupa pasang kateter. Kamu bisa bangun?"

"Enggaaak. Aku lemes banget."

"Oiya, ya! Duh! Gimana nih?" racau Mirai panik. "Pakai botol? Baki? Pispot?"

"Kamu mau pegangin waktu aku pipis? Kalo gak dipegang ntar kencingnya kemana-mana."

"Oh gitu? So-sorry, aku gak punya burung sih jadi gak paham," jelasnya yang membuat suasana semakin canggung.

Nero hanya tersenyum maklum. "Pasang aja kateternya."

"O-oke. Aku cari dulu alatnya. Tahan dulu ya." Gadis itu pun pergi tergesa dengan wajah merah padam.

Ini bukan pertama kali bagi Nero dipasang kateter sebab saat remaja ia pernah masuk rumah sakit. Jadi ia cukup paham bahwa kondisinya sekarang butuh itu. Yah, walaupun sebenarnya ia juga malu karena Mirai yang harus memasangnya. Tolong ya Joooon!! Jangan bikin gue malu!

Tak lama Mirai sudah kembali tapi malah berdiri mematung di samping ranjang. Wajahnya lebih pucat dari sang pasien. Tangan kirinya memegang selang kateter, sementara tangan kanannya mencengkeram kain kasa seperti jimat. Ia tahu langkah-langkah prosedurnya. Tapi otak dan batinnya bergolak antara kewajiban dan ketidaksiapan. Serius nih?! Ia bahkan tidak berani melirik pasiennya.

Dari wajahnya saja Nero sudah tahu pergolakan apa yang sedang terjadi dalam pikiran Mirai. Sejujurnya ia merasa geli dan lucu. Tapi ini situasi yang di luar kendali. "Eriii, dah diujung niiiih. Kalo ngompol aku gak bisa bersihin."

"Eh! Iya, maaaf!" Mirai menelan ludah dengan sangat alot lalu menurunkan celana jeans Nero. Bisa dirasakan betapa panas wajahnya saat ini. Ia yakin warnanya lebih merah dari tomat.

Nero lebih memilih berpaling menahan malu. Bisa dirasakan jemari lembut nan halus yang menyentuh si Joni sedang gemetar. Astagaaaa, kenapa gue harus luka kek giniiii. Aduh gawaat, si Joni gak bisa di ajak kompromi!

Mata Mirai membesar. "Vi-viiin!" pekiknya panik.

"So-sorry, aku juga gak ngerti kenapa si Joni jadi semangat."Rasanya Nero ingin sekali menceburkan diri ke dalam sumur saking malunya. Tapi ia berusaha menutupi itu dengan raut santai.

"Jo-joni?" Mirai jadi tertawa kecil. "Jadi namanya Joni, yaaa. Ha-Haaaiii, Joniiii,"sapanya kikuk. Ngapain gue sih njir. Gila kali ya?!

Nero hanya tertawa canggung.

"Kalo Joni semangat gak bisa dipasang kateternya. Kita tunggu Joni bobo dulu ya." Mirai pun terpaksa menaikkan celana dalamnya saja.

Sedangkan pemuda itu hanya menghela napas pasrah dipermalukan oleh si Joni sampai lupa kalau sedang kebelet pipis. Menunggu Joni tidur selama lima menit rasanya seperti ribuan tahun. Diliriknya Mirai yang tampak lebih rileks. Mungkin karena kegugupannya tadi yang membuatnya jadi excited.

Dan tidak sampai semenit kateter sudah terpasang. "Oke, udah." Mirai merapikan kembali celana Nero seperti semula.

"Makasih."

Mirai tersenyum malu-malu. Ini pengalaman paling memalukan seumur hidup gueeeee!!

"Untungnya di real world kamu gak jadi perawat atau dokter."

"Eh, kenapa?"tanyanya bingung.

"Kamu pasti bakalan sering kesulitan nanganin pasien cowok."

"Ah! Hahaha, iya. Aku memang gak cocok jadi nakes."

"Itu pujian, kok."

Alis Mirai berkerut. "Pujian?" Seketika Mirai ternganga sebal setelah menyadari arti lain kalimatnya. "Pu-pujian macam apa ituuuuu?!!"

Nero langsung memejamkan mata pura-pura tidur, tapi bibirnya tampak tersenyum geli. Waktu remaja, perawat yang memasang kateternya adalah ibu-ibu berumur bukan perempuan muda secantik Mirai, tentu saja Joni lebih milih tidur.

Mirai mendengus jengkel sembari menahan malu lalu keluar dari ruangan itu setelah memastikan kebutuhan Nero terpenuhi dan tak ada yang terlewat lagi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!