Aruna pernah memiliki segalanya — cinta, sahabat, dan kehidupan yang ia kira sempurna.
Namun segalanya hancur pada malam ketika Andrian, pria yang ia cintai sepenuh hati, menusukkan pisau ke dadanya… sementara Naya, sahabat yang ia percaya, hanya tersenyum puas di balik pengkhianatan itu.
Kematian seharusnya menjadi akhir. Tapi ketika Aruna membuka mata, ia justru terbangun tiga tahun sebelum kematiannya — di saat semuanya belum terjadi. Dunia yang sama, orang-orang yang sama, tapi kali ini hatinya berbeda.
Ia bersumpah: tidak akan jatuh cinta lagi. Tidak akan mempercayai siapa pun lagi.
Namun takdir mempermainkannya ketika ia diminta menjadi istri seorang pria yang sedang koma — Leo Adikara, pewaris keluarga ternama yang hidupnya menggantung di antara hidup dan mati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novia na1806, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 17 -- dendam naya
“Eh… loh?”
Aruna menatap jalan yang kini sunyi total. Lalu menatap ke mobil sport merahnya yang kini tampak mengenaskan—bemper penyok, kap depan berasap tipis, dan ban depan kempes total seperti balon bocor.
Ia menoleh kanan-kiri, berharap pria bertopeng itu muncul kembali, mungkin menawarinya tumpangan, atau setidaknya… pamit sopan.
Tapi tidak.
Tidak ada siapa pun.
“...Serius nih?” katanya lirih, lalu tertawa kecil yang lebih mirip tawa putus asa. “Aku diselamatin kayak di film aksi, tapi abis itu ditinggal kayak pemain figuran. Gila, bener-bener plot twist hidupku.”
Ia berjalan mendekati mobil, menepuk kap depannya pelan. “Kau baik-baik aja, sayang? Yah… enggak mungkin juga sih, liat aja tampangmu sekarang.” Asap putih mengepul dari celah mesin. “Kayak aku pas baru bangun pagi—berantakan tapi masih berusaha kelihatan keren.”
Ia membuka pintu mobil, duduk di kursi kemudi, mencoba menyalakan mesin.
Klik. Klik.
Tidak ada respons.
Aruna mengerucutkan bibirnya. “Ya elah… bahkan mobilku juga menyerah.” Ia menyandarkan kepala ke sandaran kursi, menatap langit-langit mobil, lalu menghela napas panjang.
“Aruna, kau udah reinkarnasi, udah jadi istri CEO, udah punya nama keluarga super kaya… tapi tetep aja nasibmu kayak tokoh sampingan drama Korea yang ditinggal di tengah jalan setelah adegan keren.”
Ia mendengus, lalu menepuk pipinya sendiri pelan. “Oke, fokus. Kau Aruna Surya. Anak dari Tuan Arsen Surya. Cewek yang bahkan waktu sekolah aja bisa nyalain alarm kebakaran cuma karena mau cepat pulang. Ini bukan hal besar. Kau bisa atasi ini!”
Dengan tekad yang setengah yakin, Aruna keluar dari mobil. Ia berdiri tegak di pinggir jalan yang sepi itu—angin berembus membawa rambutnya ke arah berlawanan dengan gaya dramatis.
Sayangnya, dramanya agak terganggu oleh fakta bahwa di belakangnya, mobilnya mulai meneteskan cairan radiator seperti… nangis.
“Tuh kan, bahkan mobilku ikut depresi,” gerutunya.
Ia membuka ponsel, mencoba menelpon sopir pribadi keluarganya. Sinyal bar penuh—tapi yang terdengar di telinga hanyalah suara sistem otomatis.
|“Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.”
Aruna memutar bola matanya. “Tentu saja. Karena kenapa nggak sekalian aja semua hal bersekongkol malam ini?” katanya sinis sambil menatap langit.
“Ya Tuhan, aku nggak minta banyak, cuma… mungkin sedikit bantuan atau munculnya taksi aja gitu?”
Seolah semesta mendengarnya, dari jauh terdengar suara serangga malam dan angin yang menderu—tapi tak ada tanda-tanda manusia lain. Aruna menatap ke kiri, ke kanan, lalu akhirnya duduk di kap mobilnya yang penyok.
Ia memeluk lututnya dan mendesah panjang. “Ditinggal pria misterius tampan di tengah jalan gelap dengan mobil rusak. Kalau ini bukan permulaan film romantis, aku nggak tahu lagi apa.”
Tiba-tiba ia teringat wajah pria bertopeng itu. Sorot mata tajamnya, gerakannya yang tenang, suara beratnya yang dingin tapi memerintah. Aruna menggigit bibirnya pelan.
“Lain kali, jangan pulang sendiri lagi,” katanya meniru suara pria itu dengan gaya sok serius. “Duh, bahkan nadanya aja bikin bulu kudukku merinding.”
Ia lalu tertawa kecil, menepuk pipinya sendiri. “Oke, Aruna, stop! Jangan jatuh cinta sama orang yang bahkan mukanya aja belum kelihatan semua. Kau itu punya suami—well, suami koma—tapi tetep suami!”
Namun, senyum kecil tetap muncul di bibirnya.
“Ya tapi… keren banget sih tadi,” bisiknya pelan. “Sumpah, gaya nembaknya kayak di film John Wick versi elegan. Kalau aku punya dia di timku, Andrian sama Naya udah tamat dari prolog.”
Ia menguap kecil, lalu menatap jam tangannya.
“Udah jam berapa nih…” gumamnya. “Jam sepuluh lewat dua puluh… kalau aku nggak pulang sekarang, Ibu pasti panik.”
Ia berdiri dan menatap jalan. “Oke, berarti aku harus cari tumpangan.” Matanya menelusuri sekitar—tak ada mobil lewat, hanya pepohonan dan tiang lampu jalan yang berkedip samar seperti lampu diskotik rusak.
Aruna mendengus. “Yah, minimal kalau aku mati di sini, penculiknya nggak perlu susah-susah, mayatku udah kelihatan jelas di bawah lampu.”
Ia melangkah maju dua langkah, tapi tiba-tiba suara “kresek!” dari semak membuatnya berhenti mendadak.
Matanya membulat.
“Siapa di sana?! Aku punya… eh…” Ia melirik sekitar mencari benda tajam. “Aku punya heels lima senti yang bisa kupake buat nusuk, tau!”
Namun yang keluar dari semak hanyalah seekor kucing kurus berwarna abu. Aruna menatapnya lega, lalu menaruh tangan di dada.
“Huff… hampir aja jantungku copot. Kamu ini ya, dasar makhluk berempat kaki pengacau!” katanya sambil jongkok dan menatap kucing itu.
Kucing itu mengeong pelan.
Aruna tersenyum. “Heh, lucu banget sih. Nih, kalau kau ngerti bahasa manusia, tolong kasih tahu aku arah keluar dari tempat ini ya?” Kucing itu berbalik dan berjalan pergi tanpa menoleh.
“…Oke, noted. Bahkan kucing aja ninggalin aku malam ini,” ucap Aruna getir sambil menatap langit lagi.
“Kayaknya semesta bener-bener pengen aku introspeksi hidup.”
Ia kembali ke mobil dan duduk di kursi kemudi, memeluk setir seperti memeluk boneka.
“Ya sudah lah. Mungkin aku harus nunggu keajaiban. Biasanya di film, habis diselamatin pahlawan misterius, tokohnya dikasih tanda atau clue. Mungkin dia bakal balik?”
Aruna menatap ke arah jalan kosong. Lima menit berlalu. Sepuluh menit. Lima belas menit. Tak ada mobil, tak ada suara, hanya jangkrik yang makin ramai.
Ia akhirnya menjatuhkan kepala ke setir dan berteriak pelan, “AAAAAAA kenapa cowok tampan selalu pergi tanpa pamit?!”
Suara klakson mobil yang tak sengaja kepencet membuatnya kaget sendiri. Ia menutup mulut cepat-cepat, menatap sekitar. “Ya ampun, semoga nggak ada penjahat sisa yang denger itu…”
Sambil menenangkan diri, Aruna membuka dasbor mobil dan menemukan sekotak cokelat sisa rapat. Ia membuka bungkusnya, mengunyah pelan.
“Setidaknya aku nggak mati kelaparan,” gumamnya sambil mengunyah. “Kalau ada malaikat lewat, tolong kasih sinyal ya.”
Tapi yang muncul bukan malaikat—melainkan suara deru mobil dari jauh. Aruna menegakkan tubuh, menatap jalan dengan penuh harap. “Please jangan mobil penjahat, please, please…”
Sebuah mobil sedan putih berhenti tak jauh darinya. Dari jendela, seorang pria paruh baya menurunkan kaca dan menatap Aruna heran.
“Nona, Anda baik-baik saja? Mobilnya kenapa?”
Aruna segera berdiri tegap, tersenyum manis. “Oh! Iya, saya baik-baik aja kok, cuma ban pecah dan… eh, mungkin radiatornya nangis juga.”
Pria itu menatap kondisi mobil yang rusak parah. “Pecah? Ini lebih kayak habis perang, Nona.”
Aruna tertawa canggung. “Hehe, iya, semacam begitu. Tapi saya baik-baik aja, sumpah.”
Akhirnya pria itu menawarkan tumpangan, dan Aruna mengangguk penuh syukur. Sebelum masuk ke mobil, ia menatap lagi ke arah jalan gelap tempat pria bertopeng tadi menghilang.
Wajahnya melembut, matanya memantulkan sedikit rasa penasaran yang belum terjawab.
“Terima kasih…” bisiknya pelan. “Walau kamu ninggalin aku, tapi ya, tetap… makasih udah nyelametin.”
Ia lalu masuk ke mobil tumpangan dan melaju pergi, meninggalkan mobil sport merahnya yang malang di pinggir jalan—masih berasap, dengan kap mesin sedikit terangkat seperti melambai sedih.
Dan di kejauhan, di atas bukit kecil tak jauh dari situ, sepasang mata hitam di balik topeng memperhatikan mobil putih itu menjauh. Angin meniup jas panjangnya perlahan.
Pria bertopeng itu menyentuh earpiece di telinganya. Suaranya rendah dan datar seperti biasa.
“Darren, pastikan dia sampai rumah dengan selamat.”
Dari seberang, suara Darren menjawab tenang, “Baik, Tuan.”
Pria itu menatap jalanan terakhir kalinya sebelum berbalik menuju mobilnya sendiri. Lampu mobil hitamnya menyala perlahan, memantul di topeng emasnya.
Dan untuk sesaat, bayangan senyum samar terlihat di sudut bibirnya.
Aruna, di dalam mobil tumpangan, tiba-tiba bersin kecil.
“Ah-ciuu! Hmm… siapa yang ngomongin aku ya?” katanya sambil memijat hidungnya. “Jangan-jangan pria bertopeng itu lagi mikirin aku—eh, stop! Aruna! Jangan baper!”
Ia menatap ke luar jendela, langit malam yang berkilau di atas sana.
“Tapi kalau dia beneran muncul lagi,” ujarnya dengan nada pelan namun sedikit bersemangat, “aku bakal minta nomor teleponnya. Setidaknya biar kalau aku diserang lagi, bisa langsung telepon ‘pahlawan pribadi berseragam hitam’.”
Ia terkekeh kecil, lalu bersandar di kursi sambil memejamkan mata.
“Dan tolong, Tuhan, kali ini jangan biarkan aku ketemu paku lagi di jalan pulang…”
...----------------...
Bunyi roda kursi berderit pelan di atas lantai marmer yang mengilap. Udara sore yang menembus tirai jendela terasa lembap, membawa aroma antiseptik dan obat dari tubuh Naya yang baru keluar dari rumah sakit.
Ia menatap refleksi dirinya di kaca besar ruang tamu apartemen mewah itu — wajah cantik yang dulu selalu jadi pujian di kalangan sosialita kini tampak berbeda. Ada bekas luka tipis di pelipis kiri, dan lingkar hitam pekat di bawah matanya. Tapi bukan luka itu yang membuatnya menatap lama.
Yang membuatnya berhenti adalah tatapan dirinya sendiri — dingin, menusuk, dan nyaris tak manusiawi.
“Cantik,” gumamnya dengan nada getir. “Tapi rusak…”
Tangannya yang masih lemah meraih cermin, menyentuh pantulan wajahnya yang tampak lebih tua dari biasanya. Ia tersenyum miring, senyum yang menakutkan bahkan untuk dirinya sendiri.
Suara notifikasi ponsel memecah keheningan.
Naya menoleh cepat, tubuhnya menegang. Ia menunduk, meraih ponsel dari meja kecil di samping kursinya. Nama yang muncul di layar membuat napasnya memburu.
|“Aruna Surya… selamat. Ia berhasil lolos.”
Pesan singkat itu datang dari seseorang yang ia bayar untuk mengikuti berita terbaru.
Mata Naya melebar, lalu mengecil perlahan. Suara tawa kecil keluar dari bibirnya — tawa yang serak, getir, seperti pecahan kaca digesek di dinding hati.
“Lolos?” katanya lirih. “Dia lolos?!”
Tangan kirinya meremas sandaran kursi hingga buku-bukunya memutih. “Tidak mungkin,” desisnya. “Tidak mungkin dia selamat. Aku sudah pastikan semuanya berjalan sempurna. Ban mobilnya bocor, tempat itu sepi, dan orang-orangku—”
Ia terdiam. Giginya terkatup rapat, rahangnya menegang.
“—tapi dia selamat?”
Kepalanya menunduk, lalu perlahan naik kembali, menatap kosong ke arah jendela. Di luar sana, langit mulai berubah warna — oranye keunguan, indah dan hangat, seolah mengejek.
Aruna.
Nama itu berputar-putar di kepalanya seperti mantra neraka yang tak mau pergi.
Suara langkah kaki memasuki ruangan membuat Naya menoleh. Seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun, asisten pribadinya, datang membawa nampan teh hangat dan obat.
“nyonya, sudah waktunya minum obat.”
“Letakkan saja.” Suaranya datar.
Sang asisten menunduk, lalu meletakkan nampan di meja. Ia tahu betul kapan harus diam — karena sejak Naya keluar dari rumah sakit, suasananya seperti bom waktu.
Begitu pintu tertutup lagi, Naya mengambil cangkir teh itu dengan tangan gemetar. Uapnya naik, menari di udara, tapi matanya kosong.
“Aruna selalu saja berhasil kabur, ya…” gumamnya sambil tersenyum miring. “Dulu dia berhasil menyingkirkan aku dari posisi sahabat… sekarang dia bahkan menyingkirkan aku dari hidupnya, seolah aku ini… bayangan.”
Cangkir di tangannya bergetar, lalu pecah saat dilemparkan ke dinding.
Suara kaca yang berhamburan menggema keras di apartemen itu.
“Tidak akan kubiarkan kau menang, Aruna!” teriaknya, napasnya memburu. “Kau pikir karena aku di kursi roda ini, aku akan menyerah? Hah?!”
Naya tertawa lagi, kali ini lebih keras, lebih gila. Air mata menetes di pipinya — bukan karena sedih, tapi karena emosi yang meledak dan tak bisa lagi dikendalikan.
“Kalau dunia berpihak padamu, maka aku akan jadi nerakanya.”
Naya duduk di kursinya di depan jendela, menatap lampu-lampu kota yang berkedip jauh di bawah sana. Ia menatapnya lama, memutar-mutar ponselnya di tangan.
Ponsel itu berbunyi. Kali ini, panggilan masuk.
Nomor tak dikenal.
Ia menjawab dengan suara tenang yang menipu: “Halo?”
“Bu Naya,” suara berat pria di seberang. “Kami sudah menemukan siapa yang membantu Aruna melarikan diri. Orang-orang itu bukan dari pihak biasa.”
“Bukan dari pihak biasa?”
“Ya. Mereka menggunakan kendaraan hitam tanpa plat. Bergerak cepat dan disiplin. Gaya mereka seperti—”
Tubuh Naya langsung menegang. “seperti apa??”
“Ya. Kami belum tahu identitasnya, tapi dari postur dan cara bertarung, dia bukan orang sembarangan.”
Suara napas Naya berubah kasar. Ia mengusap dadanya pelan, mencoba menenangkan diri, tapi jantungnya berdetak tak karuan.
“Pria itu…” gumamnya pelan. “Jadi itu orang yang menyelamatkannya.”
Kepalanya terangkat, matanya berkilat tajam.
Senyum dingin muncul di bibirnya.
“Kalau begitu, cari tahu siapa dia. Aku ingin tahu dari mana dia datang, siapa yang membayarnya, dan… siapa yang berani menyentuh milikku.”
“Milikmu, Bu?”
“Ya,” ucap Naya pelan tapi tajam. “Aruna Surya adalah milikku. Mainanku. Tak seorang pun boleh mengambil kesenangan itu dariku.”
Suara di seberang terdiam sesaat. “Baik, kami akan cari tahu.”
Begitu sambungan terputus, Naya bersandar di kursinya, memejamkan mata. Tapi bukannya tenang, ia malah semakin gelisah.
Wajah Aruna muncul di benaknya — wajah lembut dengan senyum cerah yang dulu membuat semua orang jatuh hati. Wajah yang kini menghantuinya siang dan malam.
“Kenapa kau selalu di depan, Aruna?” bisiknya pelan. “Kenapa semua orang mencintaimu? Kenapa Andrian—”
Ia terdiam. Dadanya sesak, matanya memanas.
Nama Andrian masih mampu membuat hatinya bergetar — tapi kini bukan karena cinta. Melainkan karena amarah dan rasa tertipu.
“Dia milikku,” kata Naya lagi, suaranya seperti racun. “Tapi kau merebutnya dariku, lalu berpura-pura tak tahu apa-apa. Kau berlagak suci, padahal kau yang paling licik.”
Tangannya meraih bingkai foto di meja — foto lama mereka bertiga, Aruna, Andrian, dan dirinya. Foto itu diambil bertahun-tahun lalu, saat masih kuliah. Tiga orang tersenyum di taman universitas, dengan cahaya matahari sore menyinari wajah mereka.
Kini, hanya satu yang masih bisa tersenyum seperti itu — Aruna.
Dengan tangan gemetar, Naya menggores foto itu menggunakan kuku panjangnya, mencoret wajah Aruna hingga sobek.
“Lihat, Run,” gumamnya dengan tawa serak. “Sekarang kau tak secantik dulu, kan?”
Beberapa menit kemudian, ponselnya kembali berbunyi — kali ini dari nomor pribadi.
Ia mengangkat tanpa pikir panjang.
“Bagaimana?”
“Bu Naya,” suara di seberang kali ini ragu. “Kami mendengar kabar bahwa pihak keluarga Adikara turun tangan. Mereka yang membantu Aruna.”
Wajah Naya menegang. “Keluarga Adikara?”
“Ya. Dan dari informasi awal, Aruna kini berada di bawah perlindungan penuh mereka.”
Tangan Naya mencengkeram kursi roda kuat-kuat hingga terdengar bunyi logam berderit.
“Adikara…” gumamnya pelan. “Keluarga paling berkuasa di negeri ini.”
Ia terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. Tawa itu dingin, nyaris seperti bisikan.
“Bagus,” katanya akhirnya. “Sangat bagus. Kalau permainan ini naik ke level itu, berarti aku tidak akan sendirian. Akan ada banyak mata yang menatapnya… dan satu demi satu akan kubutakan.”
Suara di seberang tak menjawab.
“Terus pantau dia,” lanjut Naya. “Dan cari tahu, siapa pria bertopeng itu. Aku ingin tahu apakah dia bagian dari keluarga Adikara… atau sekadar anjing bayaran yang beruntung.” telfon terputus,naya tersenyum kecil.
“Suatu hari nanti…” bisiknya. “Aku akan membuatmu menangis, Aruna. Aku akan buat kau menyesal karena pernah lahir di dunia yang sama denganku.”
Ia mengusap bekas luka di pelipisnya pelan. “Kau membuat aku seperti ini, jadi… wajar kalau aku membalas, bukan?”
Naya menghela napas, menatap bayangannya di kaca jendela. Dalam pantulan itu, ia tak lagi melihat perempuan rapuh di kursi roda. Yang ia lihat adalah sosok dengan mata tajam, bibir terangkat sinis, dan tatapan yang menyimpan bara.
Ia mungkin belum bisa berjalan, tapi pikirannya sudah berlari jauh — menuju jalan penuh darah dan dendam.
Dan di ujung jalan itu, hanya ada satu nama yang terus menggema di benaknya.
Aruna Surya.