NovelToon NovelToon
Tuan Muda Kami, Damien Ace

Tuan Muda Kami, Damien Ace

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Romansa / Persaingan Mafia
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Ferdi Yasa

Mereka bilang, Malaikat ada di antara kita.

Mereka bilang, esok tak pernah dijanjikan.

Aku telah dihancurkan dan dipukuli, tapi aku takkan pernah mati.

Semua darah yang aku tumpahkan, dibunuh dan dibangkitkan, aku akan tetap maju.

Aku telah kembali dari kematian, dari lubang keterpurukan dan keputusasaan.

Kunci aku dalam labirin.

Kurung aku di dalam sangkar.

Lakukan apa saja yang kalian inginkan, karena aku takkan pernah mati!

Aku dilahirkan dan dibesarkan untuk ini.

Aku akan kembali dan membawa bencana terbesar untuk kalian.

- Damien Ace -

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2 Bertingkah Aneh

Memang apa yang bisa Damien lakukan?

Dia hanya bisa menghela napas panjang, pasrah melihat laptopnya disita oleh Ayahnya. Bibir kecilnya menekan, membentuk garis lurus yang nyaris tak bergerak.

Sementara Daisy, yang tidak tahu apa-apa, menatap kakaknya dengan wajah polos. “Apa yang salah? Kenapa Ayah bertingkah aneh begitu?”

“Seharusnya aku yang bertanya padamu.” Damien menoleh dengan tatapan datar. “Apa yang sudah kau bicarakan dengan Darren?”

Daisy memiringkan kepala, bingung. “Apa hubungannya dengan Darren?”

“Kau bersamanya tadi, kan?”

“Iya.”

“Dan apa yang kalian bicarakan?”

“Tidak ada. Aku hanya bilang kalau dia payah, dan … oh! Borg0l beludru Ayah!” Daisy tersenyum kecil seolah baru ingat. “Tapi Darren bilang itu milik kepolisian. Lalu … tidak ada lagi.” Ia mengedikkan bahunya. “Apa itu penting buat Ayah?”

Damien menatap adiknya lekat-lekat. Wajahnya mengeras.

Pantas saja Ayahnya datang tiba-tiba dan langsung menyita laptopnya. Rupanya karena itu ….

“Damien, apa itu berpengaruh pada Ayah?”

Dia terdiam. Mau dijelaskan pun hanya akan membuat keadaan semakin jelas. Tidak mungkin dia membiarkan Daisy tahu lebih jauh.

“Aku rasa tidak. Mungkin Ayah cuma tidak mau aku bermain laptop terlalu lama,” ujarnya datar.

Dalam hati, Damien mendesah kesal.

Setelah ini pasti dia mulai membatasi dan mengawasiku. Ah, sial.

Dia melompat turun dari kasur dan berjalan keluar kamar.

“Kau mau ke mana?” tanya Daisy cepat.

“Mencari makanan,” jawabnya singkat tanpa menoleh.

Daisy hampir saja menyusul, tapi pandangannya tertumbuk pada tas ibunya yang tergeletak di kursi. Ia memungutnya dan membawanya keluar menuju kamar orangtuanya.

Di ruang tengah, Pak Frans berdiri tegak di sisi sofa — diam, seperti menunggu sesuatu.

“Anda mau ke mana, Nona?” tanyanya sopan.

“Ibu meninggalkan tasnya di kamar Damien. Aku mau mengembalikannya,” jawab Daisy sambil melangkah.

“Biarkan saya yang mengembalikannya, Nona,” kata Pak Frans cepat. “Ibu Anda sedang … ah, sedang sedikit tidak sehat. Beliau perlu beristirahat, dan Ayah Anda sedang merawatnya sekarang.”

“Sungguh?” Mata Daisy membulat. “Kalau begitu, aku harus menengok Ibu!”

“Nona, Nona!” Pak Frans buru-buru menahan langkah Daisy. “Ibu Anda sedang beristirahat, jadi biarkan beliau tidur, oke? Sebentar lagi juga pasti membaik. Jika Nona memerlukan sesuatu, katakan saja pada saya. Kalau Ibu Anda terbangun sekarang, beliau tidak akan bisa istirahat lagi nanti.”

Bibir Daisy langsung mengerucut. Wajahnya memelas, cemberut kecil terlihat di pipinya. Namun akhirnya, ia menyerahkan tas itu juga pada Pak Frans.

“Baiklah,” gumamnya lirih. “Aku tidak akan mengganggunya. Aku akan menunggunya sampai makan malam nanti.”

Pak Frans mengusap dahinya yang mulai berkeringat.

Dalam hati ia mengumpat dirinya sendiri — ini semua karena kebodohannya tadi. Kenapa juga ia sempat bertanya pada Alex apakah masih membutuhkan alat-alatnya itu?

Sekarang, ia harus memastikan anak-anak tidak sampai mendekat, apalagi mengetuk-ngetuk pintu kamar.

Itu kebiasaan Daisy.

“Damien ….”

Anak laki-laki itu berdiri di depan lemari es, menggenggam segelas jus di tangannya. Saat Daisy memanggil, ia tidak menoleh sedikit pun.

“Damien,” ulang Daisy, “Apa kau tahu Ibu kita sedang tidak sehat?”

Alis Damien berkerut.

Belum sempat ia menjawab, Daisy sudah menimpali sendiri, “Iya, Pak Frans bilang kita tidak boleh mengganggu Ibu dan harus membiarkan Ayah merawatnya. Tapi kenapa ya, Ibu bisa tiba-tiba sakit?”

Damien menoleh pelan, matanya menyipit sedikit menatap Pak Frans yang masih berdiri di ruang tengah. Tatapan itu tajam, penuh curiga.

Pria tua itu buru-buru mengalihkan pandangan — dia tahu anak laki-laki itu terlalu cerdas untuk dibelokkan dengan alasan sepele.

“Apa Ibu akan keluar untuk makan malam? Padahal aku ingin bersamanya,” gumam Daisy lagi.

“Dia tidak akan keluar untuk makan malam.” Damien meletakkan gelasnya di meja, lalu menarik tangan adiknya. “Ayo ikut. Aku mau menemui Nely.”

“Dia sudah kembali?” Daisy menatapnya dengan mata berbinar.

Damien mengangguk kecil.

Dari semua yang pergi berbulan madu, hanya Nely dan Nic yang belum juga pulang. Mereka bukan sekadar berbulan madu — Nely membawa Nic ke kampung halamannya, tinggal di sana selama hampir sebulan.

Dan karena Nely-lah yang selama ini merawat Damien, wajar jika ia merindukannya.

Sudah sejak kemarin Damien terus menghubungi Nely, menanyakan kapan mereka akan kembali.

Edgar mengantar mereka berdua ke apartemen Nic, dan bahkan menunggu sampai mereka sampai di depan pintu.

Pintu terbuka, memperlihatkan Nic yang tampak sedikit terkejut melihat kedatangan mereka. “Kalian di sini?” katanya, menaikkan alis. “Kami baru saja berencana datang ke rumah kalian.”

“Ibu dan Ayah tidak akan keluar dari kamar sampai urusannya selesai,” jawab Damien datar sambil melangkah masuk.

“Di mana Nely?” tanyanya lagi.

“Masih di kamar mandi. Kalian ada perlu dengannya?” Nic menoleh.

“Kami datang untuk makan malam,” sahut Daisy, lalu duduk santai di sofa.

“Makan malam? Tentu. Kalian bisa makan di sini. Atau mau ke luar? Aku tanya dulu ke Nely.” Nic berbalik menuju kamar mandi—tepat saat itu Nely keluar.

Wajahnya syok; tangannya menggenggam sebuah test kehamilan. “Nic … aku hamil! Bagaimana bisa ini terjadi?”

“Sungguh? Padahal aku sudah ‘mengeluarkannya’ di luar,” jawab Nic kikuk.

“Apa yang dikeluarkan di luar?” Daisy mendongak, penasaran, menatap Nely yang terlihat memerah di samping Nic.

“Kalian … di sini?” Nely mendadak gugup.

“Nic, apa yang kau maksud tadi, dikeluarkan di luar apa?” Daisy meneruskan, tak sabar ingin tahu.

Nely menatap suaminya tajam — sekarang giliran Nic yang harus bertanggung jawab atas ucapannya sendiri.

Otak Nic berputar cepat. “Itu … maksudku sampah. Ya, benar, sampahnya, kan, Nell?”

“Aku … ke kamar dulu.” Nely buru-buru melarikan diri, menutup pintu kamar rapat-rapat.

“Aa … kalian tunggu di sini. Kami akan siap-siap.” Nic pergi dengan panik sambil mengejar istrinya, takut Daisy akan terus menggali keterangan.

Setelah pintu tertutup, Nely menegur, “Kau tahu mereka di sana. Kenapa kau tidak bisa jaga mulutmu tadi?”

“Aku tidak sengaja,” jawabnya. Nic lalu beringsut mendekat dan menarik pinggul istrinya agar tak jauh. “Kau benar-benar hamil, Nell?”

Nely menatapnya, napasnya bergeser—seolah masih meraba kenyataan itu sendiri. “Ah, iya … aku hampir lupa. Jadi bagaimana ini bisa positif? Kita kan berencana punya anak tahun depan.”

“Kalau kau hamil sekarang, anak kita juga akan lahir tahun depan. Bukankah aku sudah menepati janji?” Nic tersenyum canggung.

“Jadi kau sengaja?” Nely menuding, setengah bercanda setengah marah.

“Sengaja atau tidak—kelihatannya kau juga tidak bisa membedakannya, kan? Kau hanya tahu, ah, eh, ah, eh, Nic, stop! Ah—“ Lalu tiba-tiba dia menjerit kesakitan, “Ah—Nell! Ah—sakit!”

Cubitan Nely benar-benar keras; Nic meringis sambil memegangi pinggangnya.

“Jangan coba-coba mengulanginya, atau aku akan cubit sampai kulitmu mengelupas.”

Nic nyengir, memamerkan gigi ratanya. “Jadi, apa kau setuju? Sebenarnya aku sudah tidak sabar memiliki bayi kita. Kalau bisa tiga sekaligus juga tidak apa-apa. Akan jauh lebih baik dari Alex. Atau empat.”

“Berhenti memikirkan hal yang tidak-tidak, Nic! Tapi … ya, kau benar. Kita akan memiliki bayi tahun depan, dan aku … sangat bahagia.” Nelly merentangkan tangan, memeluk pinggang suaminya erat-erat.

“Terima kasih karena sudah mengandung calon anak kita. Mulai sekarang, biarkan aku yang merawat kalian berdua. Kau hanya boleh kuperiksa jika aku sendiri yang menanganinya.”

Nic mengusap lembut kepala Nelly, lalu mengecupnya ringan di kening.

Karena mereka sudah berjanji akan membawa anak-anak makan di luar, malam itu mereka pergi ke restoran pilihan Nic. Tidak jauh—hanya sekitar dua puluh menit dari rumah.

Nely yang sedang hamil tidak dibiarkan memilih; Nic sendiri yang menentukan menu untuknya. Sedangkan Damien dan Daisy, seperti biasa, hanya duduk diam menunggu tanpa banyak protes.

Tak lama kemudian, hidangan yang mereka pesan disajikan.

Di saat yang sama, dua wanita masuk dan menempati meja kosong di sebelah mereka. Salah satunya langsung menarik perhatian mereka, dan salah satu dari mereka memakai jaket hitam, topi, sampai masker, dan semua itu hampir menutup wajahnya hingga tidak terlihat.

“Celline?” Nelly dan Nic memanggil bersamaan.

Celline baru saja hendak duduk. Tatapannya sempat terkejut, tapi segera berubah saat pandangannya jatuh pada Damien.

“Hai, Celline …,” sapa Damien, mengira Celline hanya kaget melihatnya di tempat itu.

Namun Celline tidak segera menjawab. Matanya bergerak cepat ke arah wanita yang bersamanya—terlihat panik.

“Kalian … di sini? Ah, maaf. Sepertinya aku harus pergi dulu. Kalian nikmati saja makan malam kalian, ya. Aku—aku ada urusan sedikit.”

Tak ada yang sempat menahannya. Dalam sekejap, Celline sudah menarik wanita itu dan berjalan cepat keluar dari restoran.

Nely memandang bingung. “Nic, kenapa dengannya? Kenapa dia panik begitu?”

Nic tidak langsung menjawab. Tatapannya masih mengikuti punggung Celline yang menjauh.

“Nic ….” Damien memanggilnya lebih keras kali ini. Dia sepertinya mengenali wanita bertopi tadi, tapi dia tidak bisa memastikan karena tidak melihat wajahnya dengan jelas.

Namun sepertinya Nic mengetahui itu, tapi dia malah bengong.

“Ah, tidak ada apa-apa. Mungkin Celline memang sedang terburu-buru. Ayo makan. Bukankah kita ke sini untuk menikmati malam ini? Tidak perlu mencampuri urusan orang lain.”

Meski begitu, Nic tidak benar-benar melepas hal itu begitu saja.

Sambil semua orang sibuk dengan makanan masing-masing, dia merogoh ponselnya diam-diam dan mengetik pesan singkat.

“Aku perlu menemuimu.”

***

1
Dheta Berna Dheta Dheta
😭😭😭😭
Idatul_munar
Gimana ayah nya tu..
Arbaati
hadir Thor...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!