Kisah Seorang Gadis bernama Yasmin yang baru pindah ke desa, setelah coba tinggal di kota dan tidak nyaman, dia tinggal di rumah sang nenek, Yasmin seorang gadis yang mandiri, ceria diluar, namun menyimpan sebuah duka, bertemu dengan Ziyad seorang dokter muda yang aslinya pendiam, tidak mudah bergaul, terlihat dingin, berhati lembut, namun punya trauma masa lalu. bagaimana kisahnya.. sedikit contekan ya.. kita buat bahasa seni yang efik dan buat kita ikut merasakan tulisan demi tulisan..
yda langsung gaskeun aja deh.. hehehe
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Pagi itu, udara desa terasa berat. Kabut masih menggantung di atas sawah, tapi bukan hanya embun yang membuat suasana muram. Ada sesuatu di udara—bisik-bisik yang makin kencang, gosip yang menyebar seperti api menjilat jerami kering.
Di warung kopi Pak Samin, beberapa lelaki duduk sambil menyeruput kopi hitam. Mereka tak lagi membicarakan harga gabah atau cuaca, melainkan satu nama yang tak berhenti disebut: Yasmin.
“Pantas saja cucu Nek Wan itu keras kepala. Rupanya lelaki yang ia gandeng selama ini penyebab kematian ayahnya sendiri,” ucap seorang lelaki paruh baya dengan nada menyindir.
“Benar, tak masuk akal. Itu bukan sekadar aib, tapi kutukan. Bagaimana mungkin darah korban dan pelaku bisa bersatu? Desa kita tak pantas menanggung malu seperti ini,” ujar lelaki lain dengan nada getir.
“Kasihan Nek Wan. Sudah tua, seharusnya cucu bisa jadi penyejuk. Eh, malah menyeret neneknya ke tengah bahan gosip,” timpal yang lain dengan nada prihatin.
Di tempat berbeda, sekumpulan ibu-ibu yang sedang menumbuk padi pun tak kalah riuh.
“Kau dengar? Ziyad datang lagi ke rumah Nek Wan kemarin. Katanya sampai Ridho marah besar,” bisik seorang ibu dengan nada penasaran.
“Iya, aku lihat dengan mata kepalaku. Hampir saja mereka berkelahi kalau bukan karena Yasmin yang melerai,” sahut yang lain dengan nada heboh.
“Naudzubillah. Beginikah jadinya kalau cinta buta? Gadis secantik Yasmin, masa tak bisa memilih lelaki lain? Padahal Ridho sudah jelas baik hati, rajin, dan tanpa beban masa lalu,” gumam seorang ibu dengan nada mencibir.
Bisik-bisik itu tak lagi terbatas di warung kopi atau di ladang. Gosip telah menjelma arus deras yang merembes ke seluruh penjuru desa, akhirnya sampai juga ke telinga para tetua. Dan di desa kecil ini, ketika suara ramai sudah terlalu keras, balai desa menjadi tempat mencari jawab.
***
Menjelang siang, Nek Wan dipanggil ke balai desa. Yasmin ikut mendampingi, meski wajahnya pucat pasi. Gadis itu berjalan pelan di samping neneknya, menunduk dalam, seolah ingin bersembunyi dari semua mata yang menatap.
Begitu mereka masuk, suasana langsung kaku. Puluhan pasang mata memandang, sebagian dengan iba, sebagian lain dengan sorot menyalahkan. Yasmin merasakan seakan tubuhnya menjadi api yang membakar tatapan mereka.
Pak Lurah yang duduk di depan berdehem, mencoba menjaga wibawanya. “Nek Wan, maafkan kami. Bukan maksud mencampuri urusan keluarga, tapi gosip ini sudah terlalu besar. Ini menyangkut nama baik desa,” ucapnya tenang dengan nada berat.
Nek Wan menunduk dalam-dalam, wajahnya keriput menegang. Yasmin menggenggam tangannya erat-erat, berusaha memberi kekuatan.
Seorang lelaki paruh baya dari pojok ruangan menyela dengan suara keras. “Semua orang tahu tragedi itu. Semua orang tahu siapa yang kehilangan, siapa yang menjadi korban. Tapi sekarang? Bagaimana mungkin cucumu menjalin hubungan dengan lelaki yang jadi penyebab malam kelam itu?” ucapnya tajam dengan nada menuding.
Yasmin menunduk makin dalam, air matanya jatuh membasahi lantai kayu. Ia ingin menjawab, ingin membela diri, namun suaranya tercekat di tenggorokan.
Beberapa perempuan mulai berbisik-bisik di belakang ruangan, suara mereka menusuk telinga Yasmin.
“Lihat, dia menangis. Menangis karena tahu salah.”
“Kalau dia mau, Ridho siap menikahinya. Lelaki tulus, tanpa beban masa lalu.”
Yasmin menggigit bibirnya. Tubuhnya gemetar menahan rasa malu yang makin menyesakkan.
Pak Lurah menatap lurus ke arah Yasmin. “Nak Yasmin, kami paham kau masih muda. Cinta bisa membutakan, tapi kau juga harus ingat: kau bukan hanya milik dirimu sendiri. Kau cucu Nek Wan, pewaris nama keluarga. Apa kau tega menyeret nama itu ke lumpur?” ucapnya datar dengan nada menekan.
Yasmin mencoba bersuara, namun suaranya bergetar. “Pak Lurah… aku…” ucapnya lirih dengan nada gugup.
Nek Wan segera menepuk tangannya, memberi isyarat agar diam. Ia sendiri menatap Pak Lurah dengan mata berkaca-kaca. “Kami tak berniat mempermalukan desa. Yasmin hanya… hanya seorang gadis yang kehilangan banyak, dan mungkin hatinya salah memilih sandaran,” ucapnya lirih dengan nada pasrah.
Beberapa orang mengangguk-angguk, namun masih ada yang menggeleng, wajah mereka kaku.
Tiba-tiba Ridho berdiri dari tempat duduknya. Wajahnya tegas, suaranya lantang. “Pak Lurah, warga semua… izinkan saya bicara. Yasmin tidak bersalah. Dia hanya seorang perempuan yang jatuh cinta. Jangan salahkan dia. Jika ada yang harus dipertanggungjawabkan, itu adalah Ziyad,” ucapnya lantang dengan nada tegas.
Seisi ruangan bergemuruh. Ada yang bertepuk meja, ada yang berbisik tanda setuju.
“Ya, benar! Ziyad yang harus disalahkan!” seru seorang pemuda dengan nada geram.
“Sudah jelas, malam itu Ziyad yang menyebabkan kecelakaan. Kenapa malah cucu korban yang harus menanggung aib?” sahut seorang bapak dengan nada menyalahkan.
Ridho menoleh sekilas ke arah Yasmin, sorot matanya penuh keyakinan. “Aku bukan ingin mempermalukan siapa pun. Aku hanya ingin melindungi Yasmin. Dia tidak pantas menanggung beban masa lalu. Kalau dia butuh pelindung, aku rela berdiri di sampingnya,” ucapnya tulus dengan nada mantap.
Nek Wan menatap Ridho dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ada rasa haru, tapi juga dilema. Kata-kata Ridho bagaikan pedang bermata dua: satu sisi membela Yasmin, sisi lain menuding Ziyad tanpa ampun.
Yasmin menunduk, air matanya semakin deras. Ia tahu Ridho tulus, ia tahu lelaki itu selalu ada. Tapi hatinya… hatinya masih terpaut pada Ziyad, meski luka di dalamnya terus menganga.
Suasana di balai desa makin panas. Warga mulai saling berbisik keras, bahkan ada yang berteriak menyalahkan keluarga Ziyad. Tekanan itu seperti pusaran, menarik Yasmin semakin ke dasar.
Dan saat itulah, pintu balai desa terbuka keras. Seorang lelaki melangkah masuk dengan wajah letih, sorot mata penuh tekad.
Ziyad berdiri di ambang pintu.
***
Pintu balai desa berderit keras ketika Ziyad melangkah masuk. Ruangan yang tadinya penuh bisik-bisik mendadak sunyi. Semua mata beralih padanya, ada yang melotot penuh benci, ada pula yang menatap dengan rasa ingin tahu.
Ziyad berdiri di tengah ruangan, tubuhnya tegap meski wajahnya pucat. Nafasnya berat, tapi sorot matanya tegas. “Cukup sudah. Jika kalian ingin menuduh, tuduh aku. Jangan Yasmin,” ucapnya lantang dengan nada tegas.
Pak Lurah mengerutkan dahi, suaranya meninggi. “Kau masih berani datang, Ziyad? Kau tahu betapa dalam luka yang diwariskan keluargamu pada keluarga Yasmin? Kau tahu betapa berat beban itu bagi desa?” ucapnya keras dengan nada marah.
Ziyad menunduk, lalu menarik napas panjang. “Aku tahu, Pak. Setiap malam aku dihantui oleh wajah almarhum Pak Rahman. Setiap doa, aku sebut namanya. Tapi jangan salahkan Yasmin. Dia tidak pernah minta dilahirkan untuk menanggung aib ini. Biarkan aku yang jadi bahan caci, bukan dia,” ucapnya lirih dengan nada tulus.
Suara warga mulai riuh. Ada yang menggeram, ada yang menggeleng, ada pula yang hanya menghela napas berat.
Ridho berdiri dari tempat duduknya, wajahnya merah padam. Ia melangkah maju, berdiri berhadapan dengan Ziyad. “Cukup sudah, Ziyad. Kau sudah membuat Yasmin menangis berkali-kali. Kau sudah menyeretnya ke dalam aib yang tak seharusnya ditanggung. Jangan pura-pura jadi pahlawan di sini,” ucapnya keras dengan nada menantang.
Ziyad menatap Ridho, rahangnya mengeras. “Aku tidak pernah berniat menyakitinya. Aku mencintai Yasmin dengan segenap jiwaku. Kalau aku bisa, aku ingin menebus semua luka dengan kebahagiaan untuknya,” ucapnya lirih dengan nada getir.
Ridho maju setapak, suaranya makin lantang. “Kalau benar kau mencintainya, lepaskan dia! Biarkan dia bahagia dengan lelaki yang bisa menjaganya tanpa bayangan dosa masa lalu. Jangan seret dia lebih jauh ke dalam luka yang kau buat,” ucapnya lantang dengan nada menekan.
Suasana makin panas. Beberapa pemuda bangkit dari kursinya, bersiap melerai kalau kedua lelaki itu benar-benar bentrok. Yasmin yang duduk di samping Nek Wan merasakan tubuhnya bergetar hebat.
Ziyad menatap lurus, suaranya meninggi. “Kau pikir cinta hanya soal siapa yang menjaga? Cinta itu pengorbanan. Aku sudah kehilangan Aulia malam itu. Aku sudah kehilangan sebagian diriku sendiri. Jangan kau ajari aku tentang kehilangan, Ridho,” ucapnya keras dengan nada getir.
Ruangan mendidih. Orang-orang mulai ribut, sebagian memihak Ridho, sebagian menggeleng menyalahkan Ziyad.
Ridho mengepalkan tangannya, wajahnya memerah. “Kau sudah cukup menghancurkan satu keluarga, Ziyad. Jangan kau tambah dengan menghancurkan Yasmin. Aku tidak akan diam jika kau terus mendekatinya,” ucapnya tajam dengan nada sinis.
Ziyad maju setapak, suaranya berat. “Kalau kau benar peduli pada Yasmin, berhenti memaksa jalanmu padanya. Biarkan dia memilih dengan hatinya sendiri, meski hatinya terluka,” ucapnya tegas dengan nada menantang.
Ketegangan hampir mencapai puncak ketika Yasmin tiba-tiba berdiri. Tubuhnya gemetar, suaranya pecah. “Berhenti! Aku mohon, berhenti!” ucapnya parau dengan nada putus asa.
Tangisnya pecah deras. Ia menatap keduanya dengan mata basah. “Aku sudah cukup menderita. Ayahku sudah tiada, ibuku tak ada, dan sekarang kalian berdua saling bertengkar demi aku. Apa salahku mencintai? Apa salahku percaya pada hati ini?” ucapnya lirih dengan suara pecah.
Ruangan membeku. Semua orang terdiam, hanya suara tangis Yasmin yang menggema.
Nek Wan segera berdiri, merangkul cucunya yang hampir jatuh. “Sudah, Min… cukup. Jangan sakiti dirimu lagi dengan air mata. Biarlah mereka bicara, biarlah dunia menuding. Kau tetap cucu kesayanganku,” ucapnya lirih dengan nada penuh kasih.
Ziyad menatap Yasmin dengan mata berkaca-kaca. Ia ingin melangkah mendekat, ingin menyeka air matanya, tapi langkahnya terhenti. Ridho berdiri menghadang dengan sorot mata tajam.
Pak Lurah akhirnya berdehem, mencoba mengembalikan wibawa ruangan. “Cukup sudah. Kita tidak ingin balai desa menjadi tempat pertengkaran. Ziyad, lebih baik kau pergi. Yasmin, kau juga pulanglah bersama Nek Wan. Kami akan mencari jalan keluar untuk masalah ini,” ucapnya datar dengan nada menutup.
Ziyad menggertakkan rahang, tapi akhirnya menunduk. “Baik, Pak. Tapi satu hal yang tak bisa kalian paksa dariku: cintaku pada Yasmin tidak akan pernah padam, meski aku harus menanggung semua caci maki,” ucapnya lirih dengan nada tegas.
Ia lalu berbalik dan berjalan keluar dengan langkah berat.
***
Malam itu, Yasmin duduk di kamarnya dengan mata sembab. Lampu minyak menyala redup, bayangan bergetar di dinding kayu. Di depannya terhampar sajadah, mushaf peninggalan ayahnya tergeletak di samping. Ia menunduk, air matanya kembali jatuh.
“Ya Allah… aku tak kuat lagi. Semua menuduhku, semua menekan aku. Aku hanya ingin bahagia. Tapi kenapa jalan menuju bahagia penuh luka dan air mata?” ucapnya lirih dengan suara pecah.
Ia menengadah, memandang langit-langit kamar dengan mata basah. “Ayah… kalau kau masih hidup, apa kau akan marah padaku karena memilih Ziyad? Atau kau akan melarangku? Aku butuh jawabanmu. Aku tidak tahu jalan mana yang benar,” ucapnya pilu dengan nada merintih.
Tangisnya kian deras. Ia memeluk mushaf erat-erat, seolah mencari jawaban dari lembaran suci itu.
Sementara itu, di rumahnya, Ziyad duduk sendirian di beranda. Hujan turun deras, membasahi tanah dan atap rumahnya yang sederhana. Ia menatap kosong ke jalan desa, hatinya remuk.
“Ya Allah… aku mencintainya. Tapi jika cintaku hanya membawa aib, ambil saja nyawaku. Jangan biarkan Yasmin binasa karena aku,” ucapnya lirih dengan suara pecah.
Tak jauh dari sana, Ridho berdiri di bawah deras hujan, menatap ke arah rumah Yasmin dengan sorot mata penuh tekad. “Aku tidak akan biarkan kau tersakiti lagi, Yasmin. Aku akan melindungimu, meski harus melawan dunia, meski harus berhadapan dengan Ziyad,” ucapnya lirih dengan nada berjanji.
Malam itu, tiga hati berdoa dengan luka yang sama, namun dengan arah yang berbeda. Yasmin berdoa untuk kekuatan, Ziyad berdoa untuk pengampunan, dan Ridho berdoa untuk kesempatan.
Dan desa kecil itu, yang dulu damai, kini terbakar oleh gosip, luka, dan cinta yang terhimpit takdir.
Bersambung…