Melati berubah pendiam saat dia menemukan struk pembelian susu ibu hamil dari saku jas Revan, suaminya.
Saat itu juga dunia Melati seolah berhenti berputar, hatinya hancur tak berbentuk. Akankah Melati sanggup bertahan? Atau mahligai rumah tangganya bersama Revan akan berakhir. Dan fakta apa yang di sembunyikan Revan?
Bagi teman-teman pembaca baru, kalau belum tahu awal kisah cinta Revan Melati bisa ke aplikasi sebelah seru, bikin candu dan bikin gagal move on..🙏🏻🙏🏻
IG : raina.syifa32
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raina Syifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17
Suara adzan subuh menggema lembut namun tegas, memecah keheningan kamar yang masih diselimuti gelap. Melati membuka matanya perlahan, tubuhnya yang baru saja terlelap selama satu jam terasa berat dan enggan untuk bergerak. Ia menggeliat malas, tapi pikiran tentang video semalam tetap menghantui. Video itu—rekaman suaminya, Revan, menyuapi perempuan lain. Wajah Revan menampakkan keterpaksaan, seolah hatinya berontak menolak, tapi tindakan itu tetap dilakukannya.
Bahkan wanita itu dibiarkan Revan bergelayut di pundak dan lengannya, dan Revan membalasnya dengan mengusap lembut perut wanita itu yang sedikit membuncit. Apa yang dilakukan sepasang manusia hina itu sungguh membuat hati Melati tercabik-cabik.
Melati menarik napas panjang, desahannya pelan terlepas dari bibirnya yang mengatup rapat. Ia bersandar pada headboard, menatap sosok suaminya yang masih tertidur lelap, wajahnya tenang dan damai, tanpa beban yang Melati rasakan di dadanya. Tatapan Melati tajam namun penuh luka, mata itu berkilat menahan air yang hampir jatuh.
“Ya Allah, apa yang harus aku lakukan?” bisiknya serak, suaranya nyaris tenggelam oleh gema adzan yang terus berlanjut. Hatinya berperang antara rasa sakit, kebingungan, dan keinginan untuk memperbaiki atau justru melepaskan. Tubuhnya gemetar, tangan kecilnya meremas selimut, seolah mencari pegangan di tengah badai perasaan yang mengamuk. Di balik wajahnya yang lelah, ada tekad yang mulai terbentuk, meski belum tahu langkah mana yang akan diambil.
Tanpa membangunkan suaminya Melati bergerak menuju ke kamar mandi, beberapa menit kemudian Melati keluar dengan wajah basah, membentangkan sajadah dan melaksanakan kewajibannya.
Tangan Melati tengadah khusyuk dalam doa, meminta petunjuk-Nya.
Sementara itu Revan mulai bergerak dari atas tempat tidurnya, kedua matanya mengerjab, menemukan istrinya yang tengah melipat mukena dah sajadah.
"Lho sayang, kok nggak bangunin mas? Kita bisa berjamaah."
Melati tersenyum kecut, tanpa menoleh. "Mas kayaknya terlalu capek, nggak tega banguninnya," sahut Melati lirih akan tetapi tetdengar dingin.
Revan terdiam lalu beringsut turun dan mendekap Melati dari belakang, "Kamu masih marah? Maaf aku nggak bermaksud bikin kamu terbuka, aku nggak nyangka kamu masih mengingat peristiwa belasan tahun yang lalu, tapi sumpah sayang waktu itu aku benar-benar nggak sengaja."
Melati dengan tegas menepis tangan Revan yang masih tergenggam erat di pinggangnya. "Sudahlah, Mas. Aku mau bantu Mama masak," suaranya mengandung kelelahan dan kesal.
Tangan Revan seolah terhenti di udara, menunggu tanggapan. "Aku akan pekerjakan orang buat meratakan bukit itu," ucapnya, nada suara penuh keyakinan.
Melati berhenti melangkah, tatapannya menusuk penuh kemarahan. "Bukit itu punya siapa, Mas? Moyangmu? Itu tanah milik orang mas, kok seenaknya kamu mau rusak begitu saja." Matanya memerah, tapi ia berusaha menahan emosi.
"Aku akan mencari pemilik tanah itu dan membelinya," sahut Revan ringan, seolah masalah besar bisa diselesaikan dengan uang.
Melati menghela napas panjang, wajahnya melembut. "Enggak semua hal bisa dibeli, Mas. Aku nggak marah soal itu, aku sudah lupa juga kok. Mungkin aku cuma lelah, makanya jadi sensitif. Jadi nggak usah lebay deh!"
Revan menunduk, suaranya tercekat dalam hati, "Katanya lupa, tapi malah diingat terus sampai sekarang."
Melati mengeratkan genggaman tangannya, napasnya bergejolak menahan rasa muak yang tiba-tiba merambat. Matanya berkaca-kaca, tapi dia tak ingin meledakkan amarahnya sekarang. Dengan langkah gontai, dia berbalik pergi, bertekad menyelidiki perempuan di dalam video itu.
"Apa ini Dewi?" gumamnya pelan, teringat susu ibu hamil dan beberapa potong daster dengan struk yang tersembunyi di saku jas suaminya. Hatinya perih, tapi ada bara penasaran yang tak bisa padam begitu saja.
Melati melangkah ke dapur di sana Mamanya juga simbok penjaga villa sedang sibuk memasak.
"Eh kamu Mel sudah bangun?"
"Iya ma, ada yang bisa dibantu ma?"
"Oh itu bantu mama bikin bulatan bakso, cuaca dingin-dingin begini enaknya makan yang panas dan berkuah, apalagi diluar hujan gerimis."
Melati melongok ke jendela besar, benar hujan mulai turun, tangannya dengan terampil membentuk bulatan-bulatan bakso. Sandra mendekati menantunya.
"Mel, kamu sakit? Matamu sembab, kamu habis nangis ya? Revan bikin kamu nangis lagi?" Cecarnya.
Melati mengusap wajahnya dengan lengannya. "Nggak ma, tadi malam nggak bisa tidur."
Sandra menyenggol bahu menantunya. "Pasti anak mama gangguin kamu ya? Bikin kamu tidak bisa tidur semalaman?" Ledeknya.
"Enggak ma. Setelah pesta barbeque itu mas Revan langsung tidur."
Sandra menoleh saat mendengar suara langkah kaki mendekat. "Panjang umur, baru juga diomongin udah nongol aja. Istrimu kamu apain Van, sampe bengep gitu?"
Revan melihat Melati yang sibuk membuat bulatan-bulatan bakso. Pria itu mendekat dan menyentuh dahi istrinya.
"Kamu sakit Yank?"
Melati mendengkus. "Enggak," jawabnya ketus.
"Ya udah kamu istirahat saja, biar mas yang bikin baksonya."
"Jangan!" Sandra mamanya berteriak.
"Kenapa jangan sih ma."
"Nanti bakso mama jadi kotak."
Revan terkekeh. "Mama ngeremehin Revan!"
Pria itu memperhatikan tangan istrinya, mengamati sebentar lalu mempraktikkannya, Sandra cekikikan melihat anak lelakinya ternyata bisa melakukannya.
"Hahaha ternyata kamu pinter juga Van, kamu cocok jadi Abang tukang bakso."
Melati hanya tersenyum tipis melihat ibu dan anak itu saling bersendau gurau. Perlahan-lahan Melati meninggalkan keduanya.
"Van kenapa dengan istrimu?"
Revan mengedikkan bahunya. "Nggak tau ma, kadang istriku suka ngambek nggak jelas, jangan-jangan Melati hamil lagi ya ma."
Sandra termangu sebentar. "Bisa jadi sih, tapi mama rasa bukan itu deh, coba kamu ingat-ingat kamu ngerasa nggak ada yang kamu sembunyikan?"
Revan terkaget, menggeleng. "Nggak ada ma."
"Yakin nggak ada?"
Sandra mengedikkan bahunya. "Ya udah nggak usah overthinking kayak gitu dong," jawab Sandra santai, seolah paham yang terjadi pada putranya.
***
Melati menyerahkan ponsel suaminya ketika mereka sudah sampai dirumah setelah 3 hari liburan di puncak.
Revan mendongak. "Apa ini sayang?"
"Kamu tau ini ponsel kan?"
"Iya mas tau tapi untuk apa?"
Melati menarik nafas dalam-dalam. "Liburan telah selesai mas, jadi ponsel ini aku kembaliin ke kamu. Maaf tadi aku sempat membukanya."
Revan tersentak.
"Kenapa mas kok panik gitu?"
"Ah enggak."
"Sayangnya nggak bisa. Sejak kapan kamu kasih sandi mas?
Revan menarik nafas lega namun itu belum berakhir. "Oh itu si Reino, asisten mas, suka usil buka-buka ponsel atasannya. Emang si Reino asisten nggak ngotak!" Pura-pura kesal.
"Masak sih mas, Reino selancang itu, ya udah kalau aku ke kantor kamu, aku marahin dia!"
"Jangan nggak usah, gaji Reino udah mas potong kayaknya itu hukuman paling ampuh bikin dia jera!"
"Ya udah mas ke ruang kerja mas dulu, ada yang mas mau kerjain sebelum besok ngantor lagi," sahut Revan sembari berjalan ke ruang kerjanya.
Melati tersenyum tipis. "Serapat-rapatnya kamu menyimpan bangkai mas, bakal tercium juga."
Di ruang kerjanya, Revan segera mengaktifkan ponselnya, puluhan chat dan telepon masuk dan itu dengan rentang waktu 2 jam yang lalu. Revan seolah melupakan video yang dikirimkan Dewi yang belum sempat ia buka.
Revan mengerang frustasi. "Arrghh, perempuan itu benar-benar bikin gue repot!"
Ponsel kembali berdering. Buru-buru Revan mengangkatnya.
"Cepat ke sini aa atau video yang aku kirim itu sampai ke tangan aa?"
Revan tersentak dahinya terangkat. "Video? Video yang mana. Jangan pernah macam-macam kamu Wi!"
"Iya besok aku ke Bandung."
Melati yang mendengar obrolan Revan dan penelpon itu hanya bisa meneteskan air mata, tangannya terkepal.
"Besok kamu mau ke Bandung mas," gumamnya. "Jangan harap besok kamu bisa mengelak!"
revan pulsa jgn sembunyikan lg msalah ini terlalu besar urusannya jika km brbohong terus walau dg dalih g mau nyakitin melati ,justru ini mlh buat melati salah pham yg ahirnya bikin km rugi van
sebgai lelaki kok g punya pendirian heran deh sm tingkahnya kmu van, harusnya tu ngobrol baik" sm melati biar g da salah paham suka sekali trjd slh pham ya.