NovelToon NovelToon
Bring You Back

Bring You Back

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Cintamanis / Romansa / Cintapertama / Gadis Amnesia
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Aquilaliza

Kecelakaan yang merenggut istrinya menjadikan Arkana Hendrawan Kusuma tenggelam dalam perasaan kehilangan. Cinta yang besar membuat Arkan tak bisa menghilangkan Charissa Anindya—istrinya—dari hidupnya. Sebagian jiwanya terkubur bersama Charissa, dan sisanya ia jalani untuk putranya, Kean—pria kecil yang Charissa tinggalkan untuk menemaninya.

Dalam larut kenangan yang tak berkesudahan tentang Charissa selama bertahun-tahun, Arkan malah dipertemukan oleh takdir dengan seorang wanita bernama Anin, wanita yang memiliki paras menyerupai Charissa.

Rasa penasaran membawa Arkan menyelidiki Anin. Sebuah kenyataan mengejutkan terkuak. Anin dan Charissa adalah orang yang sama. Arkan bertekad membawa kembali Charissa ke dalam kehidupannya dan Kean. Namun, apakah Arkan mampu saat Charissa sedang dalam keadaan kehilangan semua memori tentang keluarga mereka?

Akankah Arkan berhasil membawa Anin masuk ke kehidupannya untuk kedua kalinya? Semua akan terjawab di novel Bring You Back.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aquilaliza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hutang Budi

Anin terdiam, berpura-pura fokus menatap layar komputer, mengerjakan pekerjaannya. Namun begitu, ia tahu Arkan tengah menatapnya melalui sekat kaca yang menjadi dinding bagian depan ruangannya. Kejadian tadi, ia menyaksikan semuanya. Menyaksikan bagaimana Arkan menyeret kasar keluar wanita yang sempat dipangkunya.

Saat Arkan kembali berjalan, ia pikir lelaki itu akan kembali ke ruangannya. Itu cukup membuatnya merasa lega. Namun, itu tak berlangsung lama, sebab beberapa detik berikutnya terdengar suara Arkan memanggilnya.

"Anin."

Glek.

Perempuan itu meneguk ludahnya lantas bergerak pelan, menoleh ke arah sumber suara. Disana, di ambang pintu, Arkan berdiri sambil bersandar di kusen pintu dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana.

Mata tajamnya lekat menatap Anin. Menambah rasa gugup dan canggung Anin. Perempuan itu perlahan berdiri, sedikit menunduk. Bibirnya masih bungkam, tak segera menjawab panggilan Arkan.

"Anin?" Sekali lagi Arkan memanggil.

"Iya, Pak?" jawab Anin tanpa memandang Arkan.

"Lihat saya!"

Perlahan Anin mengangkat wajahnya, menatap lekat wajah atasannya tersebut. Melihat wajah Arkan membuatnya kembali teringat pada kejadian beberapa saat lalu dalam ruangan. Dan perasaan sakit yang tak pantas masih terus bersemayam di hati Anin. Entah apa penyebabnya, Anin tak bisa memastikannya.

"Saya minta maaf."

"Seharusnya saya yang minta maaf, Pak." Anin kembali menundukkan kepalanya. "Saya sungguh tak sengaja melihatnya. Saya tidak bermaksud mengganggu kalian."

Arkan menarik nafasnya. "Kau salah paham. Kami tidak memiliki hubungan apapun. Kami juga tidak akrab dan sering berselisih pendapat."

"Tidak miliki hubungan? Dia, bukan istri Pak Arkan?" Arkan mengangguk.

"Dia bukan istri saya. Istri saya sudah ... meninggal." Arkan berat mengatakan jika istrinya meninggal.

"Ya Tuhan. Maaf, Pak! Saya tidak bermaksud—"

"Tidak. Bukan salah mu," potong Arkan cepat.

"Kau sudah menyelesaikan laporan yang saya minta?" Sengaja Arkan menanyakan hal tersebut. Dia tidak ingin membahas tentang Vanesha, atau mengingat tentang kematian Charissa yang sebenarnya sekarang mulai ia ragukan. Hati kecilnya terus mengatakan jika Anin adalah Charissa.

"Sudah, Pak. Akan saya antarkan ke ruangan anda."

Arkan mengangguk pelan. Lelaki itu kemudian berbalik meninggalkan ruangan Anin.

***

Arkan bergerak cepat masuk ke mobil dan melajukannya. Dia terus berharap agar Anin belum mendapatkan kendaraan untuk pulang. Perasaannya tak enak tentang perempuan itu. Hal tersebut mengingatkannya pada empat tahun lalu, dimana ia terus merasa khawatir pada Charissa.

"Semoga dia masih disana," gumam pelan Arkan.

Namun, saat mobilnya baru saja akan tiba di halte, Anin sudah pergi bersama seorang driver ojek online. Arkan berdecak. Meski begitu, dia tetap mengikuti mereka dengan jarak yang cukup jauh, memastikan jika perempuan itu tiba di rumahnya dengan selamat.

Di pertengahan jalan, motor yang ditumpangi Anin diberhentikan oleh sebuah mobil—menghalangi jalan mereka. Pengemudi ojek mencoba membantu, namun malah dihajar oleh dua orang pria bertubuh cukup kekar.

Arkan yang melihat pun terkejut, lalu melaju kan mobilnya lebih cepat. Dia berhenti dan langsung menarik Anin menjauh sebelum pria-pria itu berhasil menyentuh Anin.

"Brengsek!!" umpat Arkan lantas memberi tendangan tepat di dada salah satu pria itu. Salah satunya lagi berusaha melawan, namun bisa dibalas Arkan.

"Kau tidak apa-apa?" Arkan bertanya dengan wajah khawatir, menatap Anin dengan tatapan yang membuat Anin merasakan getaran hebat dalam dadanya. Tatapan itu, Anin merasa sangat familiar.

"Ti-tidak. Aku—Pak!"

Arkan berbalik dan langsung menahan bilah tajam pisau yang hampir menusuk perutnya. Wajahnya berubah sangat dingin, tatapannya tajam dan penuh api kemarahan.

"Kau ...!" Arkan menekan kata dengan rahang mengeras. Satu bogeman ia layangkan tepat di wajah pria itu hingga terhuyung. Arkan melangkah, berjongkok dan menarik kasar kerah baju yang pria itu kenakan.

"Siapa yang—"

"Pak Arkan awas!!"

Bugh!

"Akh!" Arkan meringis pelan ketika satu tendangan mengenai punggungnya. Membuatnya terjatuh, sementara pria itu segera membantu temannya.

"Ayo!" Dengan cepat keduanya berlari ke arah mobil dan menjauh dari tempat tersebut.

"Pak!" Anin dengan cepat mendekat dengan wajah khawatir. Driver ojek pun ikut Anin membantu Arkan.

"Pak, Anda terluka." Anin meraih telapak tangan Arkan yang berdarah. Perempuan itu sudah hampir menangis.

"Sebaiknya kita ke rumah sakit saja," ujar driver ojek yang langsung mendapat gelengan Arkan.

"Tidak perlu. Hanya luka kecil. Saya bisa obati sendiri."

"Luka kecil? Ini berdarah banyak, Pak. Telapak tangan anda sepenuhnya tersayat. Bukan luka kecil seperti yang Anda bilang." Anin berucap dengan suara bergetar. Tangannya pun masih memegang tangan Arkan.

"Ada First Aid Box di mobil saya. Saya biasa gunakan itu untuk mengobati luka saya."

"Biarkan saya membantu Anda."

Arkan menatap Anin. Mata berkaca-kaca dan penuh kekhawatiran itu membuatnya kembali memutar beberapa kenangan saat Charissa hampir menangis dulu. Sangat persis sperti Anin sekarang.

"Kau yakin?" tanya Arkan pelan, masih terus menatap Anin.

"Sangat yakin." Anin menjawab yakin. Matanya pun beralih pada driver ojek yang masih berdiri—setia menanti penumpangnya. "Maaf, Pak. Saya harus mengobati atasan saya." Anin melepas pegangannya pada tangan Arkan. Ia merogoh tas, mengeluarkan dompet lalu membayar pengemudi ojek tersebut.

"Ini kelebihan, Nona."

"Tidak, ambil saja. Terima kasih sudah mau menolong saya. Maaf sudah membuat Anda dalam bahaya."

"Tidak masalah, Nona. Kalau begitu saya permisi."

Anin mengangguk, lalu kembali mengalihkan tatapannya pada Arkan. Lelaki itu masih setia menatapnya.

"Kau mau mengobati ku?" Anin mengangguk pelan. "Ayo."

Keduanya kemudian berjalan bersama menuju mobil. Anin segera mengambil First Aid Box yang terdapat di bagasi mobil, lalu menyusul Arkan memasuki mobil.

Segera perempuan itu membersihkan luka Arkan dengan peralatan yang disediakan dalam First Aid Box. Ia melakukannya dengan hati-hati. Saat mengoleskan obat dan memberi perban pada luka pun ia bergerak dengan pelan dan penuh kelembutan.

Usai membantu Arkan, Anin menyimpan kembali berbagai peralatan kesehatan yang dia gunakan kedalam First Aid Box.

"Terima kasih, Pak." Anin menunduk, tak berani menatap Arkan. Sorot yang terpancar dari mata tajam Arkan tadi masih begitu lekat dalam ingatannya, dan itu membuatnya semakin merasakan sesuatu yang tak benar-benar ia pahami.

"Hm." Arkan bergumam pelan. "Terima kasih juga kau sudah mengobati saya."

"Tidak perlu berterima kasih, Pak. Saya berhutang budi pada Anda. Mengobati Anda hanya sebagian kecil dari rasa terima kasih saya."

Mendengar kata berhutang budi membuat beberapa ide muncul di benak Arkan. Dia bisa menggunakan kata itu untuk bisa membuat Anin lebih dekat padanya.

"Apa terima kasih dan mengobati itu cukup sebagai bayaran hutang budi?"

Sontak Anin menoleh, menatap lelaki itu. Mata tajam itu menatapnya hangat, membuat Anin cepat memalingkan wajah dan menunduk.

"Tidak. Apa Anda ingin saya lakukan sesuatu?"

Arkan menatap lurus kedepan, lalu menggeleng pelan. "Tidak sekarang. Akan saya minta bantuan mu saat saya butuh nanti. Anggap saja itu sebagai balas budi."

"Saya akan antar kau pulang."

"Mengantar saya?" Anin menatapnya.

"Hm."

"Tangan anda terluka. Anda—"

"Saya masih bisa menyetir, Anin. Tidak perlu khawatir, saya akan pastikan kau sampai ke rumah dengan selamat."

"Bukan begitu maksud saya, Pak. Saya bukan mengkhawatirkan keselamatan saya. Tangan Anda sedang terluka. Menyetir dengan jarak tempuh dua kali lipat dari biasanya dengan kondisi tangan seperti itu sangat tidak baik."

"Saya bisa meminta pengawal saya menjemput di rumahmu nanti."

Anin terdiam. Tidak ada protes apapun lagi, bahkan ketika Arkan mulai melajukan mobil ke arah rumahnya.

1
Paradina
kok belum up kak?
Aquilaliza
Sangat direkomendasi untuk dibaca. Selamat membaca.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!