Khanza hanya berniat mengambil cuti untuk menghadiri pernikahan sepupunya di desa. Namun, bosnya, Reza, tiba-tiba bersikeras ikut karena penasaran dengan suasana pernikahan desa. Awalnya Khanza menganggapnya hal biasa, sampai situasi berubah drastis—keluarganya justru memaksa dirinya menikah dengan Reza. Padahal Khanza sudah memiliki kekasih. Khanza meminta Yanuar untuk datang menikahinya, tetapi Yanuar tidak bisa datang.
Terjebak dalam keadaan yang tak pernah ia bayangkan, Khanza harus menerima kenyataan bahwa bos yang sering membuatnya kesal kini resmi menjadi suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Setelah pertengkaran di rumah sakit, Reza sampai di rumahnya.
Reza masuk ke kamar dan ia tidak menemukan keberadaan istrinya.
"Khanza, kamu dimana? Khanza!"
Reza mengambil ponselnya dan menghubungi istrinya.
Disaat yang sama Devan menghentikan mobilnya di depan rumah Reza.
Reza melihat dari kejauhan ketika ada sebuah taksi yang berhenti di depan rumahnya.
Khanza turun dari taksi dan ia mengucapkan terima kasih kepada Devan.
"Kalau ada apa-apa langsung hubungi aku, Za." ucap Devan.
Khanza tersenyum tipis dan setelah itu Devan melajukan mobilnya.
Reza keluar dari rumah dan menghampiri istrinya yang baru sampai di rumah.
Khanza langsung masuk ke kamar tanpa mengajak bicara suaminya.
"Za, kamu dari mana? Dan kenapa kamu senyum-senyum dengan supir taksi itu?" tanya Reza.
Khanza masih tetap tidak menjawab pertanyaan dari suaminya.
Setelah mengganti pakaiannya, ia menuju ke dapur untuk membuatkan makan malam.
"Za, aku sedang bicara sama kamu!"
Khanza menghela nafas panjang dan mematikan kompor.
"Mau bicara atau ngajak aku bertengkar? Aku capek, Mas. Kamu selalu cemburuan." ucap Khanza.
Reza berdiri di ambang pintu dapur, kedua tangannya mengepal.
“Aku cemburu? Wajar, Za! Kamu pulang larut malam, turun dari taksi, senyum ke laki-laki lain! Apa aku harus diam aja seolah-olah itu nggak ada artinya?”
Khanza menoleh ke arah wajah suaminya yang sedang mengajaknya bicara.
“Mas, kamu nggak tahu apa yang aku rasain! Aku baru saja hampir mati dikunci di gudang kantor. Aku masih trauma. Yang aku butuh sekarang bukan interogasi, tapi pelukan suami yang menenangkan. Bukan teriakan ataupun tuduhan.”
Reza langsung terdiam saat mendengar perkataan dari istrinya.
“Za, maaf. Aku takut kehilangan kamu. Aku takut kalau kamu kembali lagi ke Yanuar, Za."
"Astaghfirullah, Mas. Pikiran macam apa itu? Kamu nggak percaya sama aku, Mas?" tanya Khanza sambil menangis sesenggukan.
Reza langsung menghampiri istrinya yang sedang menangis.
"Za, jangan menangis lagi. Aku minta maaf, Za." ucap Reza.
Reza menjelaskan kalau ia sangat takut jika Khanza akan kembali ke Yanuar setelah apa yang terjadi tadi siang.
"Mas, aku tidak akan kembali ke Yanuar. Aku mencintaimu dan aku hanya ingin kamu percaya sama aku."
Khanza memukul-mukul dada bidang suaminya yang sudah membuatnya kecewa.
"Aku minta maaf, Za. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi. Dan sekarang aku pesankan makanan saja. Kamu tidak usah memasak."
Khanza menganggukkan kepalanya sambil tersenyum tipis.
Reza mengambil ponselnya dan memesan makanan online.
"Mas, tambah cumi asam manis."
Reza menganggukkan kepalanya dan memesan apa yang diinginkan oleh istrinya.
Mereka berdua masih duduk di kursi dapur sambil berpegangan tangan.
"Za, tadi siapa yang mengantarmu?" tanya Reza.
"Devan, Mas. Dia yang mengantarkan aku ke pantai dan pulang ke rumah." jawab Khanza.
Reza menatap wajah istrinya yang menjawab pertanyaannya.
"Pantai? Berduaan dengan Devan?"
Reza bangkit dari duduknya dan masuk ke kamarnya.
"Mas, aku hanya kepantai untuk menjernihkan pikiranku saja. Dan aku sama Devan juga tidak apa-apa."
Reza menahan emosinya dan menghampiri istrinya.
"Kalau aku pergi sama wanita lain, kamu cemburu nggak?" tanya Reza.
"A-aku cemburu, Mas."
"LALU KENAPA AKU NGGAK BOLEH CEMBURU SAAT ADA LELAKI LAIN YANG MENDEKATI ISTRIKU!! DAN KAMU TAHU KALAU AKU DAN DEVAN TIDAK PERNAH AKUR!!"
Khanza mundur selangkah, air matanya jatuh lagi.
“Mas, kenapa harus teriak? Kenapa nggak bisa bicara baik-baik? Aku bukan musuhmu!”
Reza terdiam dan dadanya naik turun menahan amarah yang sebenarnya lebih banyak rasa takut.
"Kalau kamu lebih nyaman dengan lelaki lain, Za. Silahkan kamu ke Yanuar atau ke Devan. Memang aku nggak pernah ada di hati kamu!"
Reza mendorong tubuh Khanza keluar dari kamarnya.
Khanza menggedor-gedor pintu agar suaminya membukanya.
"Mas Reza! Aku minta maaf, Mas. A-aku janji tidak akan seperti itu lagi."
Reza naik ke atas tempat tidurnya sambil memejamkan mata.
Tak berselang lama pengantar makanan datang dan memberikan pesanan Reza.
Tok.... tok.... tok..
"Mas Reza, ayo makan dulu."
Khanza mengetuk kembali tetapi tidak ada jawaban dari suaminya.
Ia kembali ke dapur dan menaruh makanannya disana.
Khanza masuk ke ruang tamu dan memutuskan untuk tidur disana.
"Ya Allah, aku memang salah. Maafkan hambamu ini." gumam Khanza.
Khanza yang kelelahan akhirnya memejamkan matanya.
Keesokan paginya Khanza membuka matanya dan ia melihat matahari yang sudah bersinar terang.
"Mas Reza..."
Ia langsung bangkit dari tempat tidurnya dan menuju ke kamar suaminya yang ternyata sudah tidak ada dikamar.
"Mas, kenapa kamu nggak bangunin aku?" gumam Khanza.
Khanza melihat makanan yang tidak disentuh sama sekali oleh Reza.
"Mas, kamu sengaja nggak makan atau memang nggak mau menyentuh apa pun dariku?” bisik Khanza dengan air matanya yang mengalir.
Khanza segera mandi dan bersiap-siap untuk menuju ke kantor.
Ia memanggil taksi untuk mengantarkannya ke kantor.
Sesampainya di sana ia melihat suaminya yang sedang berbicara dengan petugas kepolisian.
Wajah Reza tampak kaku dengan tatapannya yang dingin.
“Pak Reza, jadi Anda ingin kami segera memproses laporan ini?” tanya salah satu polisi.
Reza menganggukkan kepalanya dan meminta mereka untuk segera menangkap Bimo, Zaenal dan dua lainnya.
Setelah mengobrol dengan petugas kepolisian, Reza kembali masuk ke ruangan kerjanya.
Khanza masuk dan duduk disamping suaminya yang sedang menandatangani beberapa dokumen.
"Mas, aku minta maaf." ucap Khanza.
Reza tetapi asyik menandatangani dokumen dan tidak menjawab perkataan dari istrinya.
Ia menekan tombol dan meminta Janet untuk masuk kedalam.
Mendapatkan panggilan dari Reza, Janet langsung tersenyum bahagia.
Ia masih berharap jika Reza akan mencintainya sebagai wanita bukan karyawannya.
Janet masuk kedalam ruangan kerja Reza dengan senyuman manisnya.
"Ada apa Pak? Apa Pak Reza membutuhkan sesuatu?" tanya Janet sambil menatap sinis ke arah Khanza.
Reza memberikan surat dimana ia memecat Khanza.
"Ambil uang pesangon kamu dan semoga kamu mendapatkan pekerjaan yang lebih baik."
Janet menatap wajah khanza dan mengatakan kalau semuai ini rencana Khanza.
"Tega kamu, Za. Kamu sudah merebut Pak Reza dan sekarang kamu memintanya untuk memecat ku?!"
"Aku pimpinan disini dan kamu tidak bisa menyalahkan Khanza."
Reza meminta Janet untuk segera keluar dari ruangan kerjanya.
Janet menangis dan langsung keluar dari ruangan kerja Reza.
"Mas...."
Reza bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke ruang meeting.
Begitu pintu ruang meeting terbuka, semua mata langsung tertuju padanya.
Direksi, investor, dan beberapa karyawan senior menoleh kaget, tapi tetap menahan diri karena sadar posisi Khanza sebagai istri CEO.
Reza yang sedang berdiri di depan layar presentasi langsung menghentikan kalimatnya.
Tatapannya menusuk ke arah Khanza, dingin dan penuh tekanan.
“Za, kenapa kamu di sini?” tanya Reza berat.
Khanza menelan ludah, mencoba tersenyum meski jantungnya berdebar kencang.
“A-aku ingin bicara denganmu sebentar," jawab Khanza.
Silakan tunggu di ruanganku. Setelah ini aku akan bicara denganmu.” ucap Reza singkat.
Khanza menunduk, lalu melangkah keluar dengan hati hancur.
Ia mendengar perkataan dari mereka yang ada disana kalau dirinya tidak bisa membedakan masalah pribadi dan pekerjaan.