Aruna hanyalah perawat psikologi biasa—ceroboh, penuh akal, dan tak jarang jadi sasaran omelan dokter senior. Tapi di balik semua kekurangannya, ada satu hal yang membuatnya berbeda: keberaniannya mengambil jalan tak biasa demi pasien-pasiennya.
Sampai suatu hari, nekatnya hampir membuat ia kehilangan pekerjaan.
Di tengah kekacauan itu, hanya Dirga yang tetap bertahan di sisinya. Sahabat sekaligus pria yang akhirnya menjadi suaminya—bukan karena cinta, melainkan karena teror orang tua mereka yang tak henti menjodohkan. Sebuah pernikahan dengan perjanjian pun terjadi.
Namun, tinggal serumah sebagai pasangan sah tidak pernah semudah yang mereka bayangkan. Dari sahabat, rekan kerja, hingga suami istri—pertengkaran, tawa, dan luka perlahan menguji batas hati mereka.
Benarkah cinta bisa tumbuh dari persahabatan… atau justru hancur di balik seragam putih yang mereka kenakan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 . Kehangatan dan Sendu
Malam itu rumah Nadya terasa lebih hidup dari biasanya. Lampu ruang tengah menyala hangat, aroma bawang tumis dan rempah mulai memenuhi udara.
Bima berdiri di dapur, masih dengan kemeja kerjanya yang lengannya ia gulung sampai siku. Tangannya cekatan mengiris sayur sesuai instruksi Nadya.
“Jangan terlalu tipis, Bim. Itu nanti hancur kalau ditumis,” tegur Nadya sambil sesekali melirik.
Bima terkekeh. “Siap, Chef. Pokoknya malam ini aku jadi asisten pribadi kamu.”
Nadya menggeleng sambil tersenyum, lalu kembali sibuk dengan wajan. Sementara itu, suara tawa kecil terdengar dari ruang tamu. Alex sedang asik bermain mobil-mobilan dengan boneka dinosaurus, sesekali memanggil Bima.
“Om, dinosaurusnya kejebak macet!” teriak Alex polos.
Bima menoleh sambil mengangkat alis, lalu pura-pura panik. “Waduh, gawat banget. Untung ada polisi lalu lintas super.” Ia menaruh pisau, lalu berjongkok di samping Alex, mengatur mobil-mobilan dengan serius seakan benar-benar sedang mengurai kemacetan.
Nadya tak kuasa menahan tawa melihat pemandangan itu. Ada sesuatu yang menenangkan hatinya saat melihat Bima begitu tulus dekat dengan anaknya.
Beberapa saat kemudian, mereka bertiga duduk di meja makan. Makanan sederhana tersaji: sayur tumis, ayam goreng tepung, dan sup hangat. Tidak ada yang mewah, tapi suasananya begitu penuh kehangatan.
“Om Bima yang masak?” tanya Alex sambil mengunyah ayam.
Bima tersenyum, melirik Nadya sekilas. “Om bantuin Mama kamu. Jadi setengah masakan Mama, setengah masakan Om.”
Alex mengangguk serius, lalu berkata, “Pantesan rasanya lebih enak. Soalnya dimasak berdua.”
Ucapan polos itu membuat Nadya dan Bima sama-sama terdiam sejenak, sebelum akhirnya keduanya tersenyum samar.
“Minggu depan di sekolah alex ada peringatan Hari Ayah,” ucapnya polos. “Guru bilang semua anak harus bawa ayahnya. Sekalian cosplay jadi superhero bareng. Tapi…” suara kecilnya merendah, “Alex kan nggak punya.”
Hening sesaat. Nadya spontan menoleh pada Alex, dadanya langsung sesak. Sebelum ia sempat berkata apa pun, suara ceria Alex kembali terdengar.
“Om baik… mau nggak pura-pura jadi ayah alex?” tanyanya sambil menyodorkan tangan mungilnya pada Bima.
Nadya nyaris terlonjak di kursinya. “Alex…” suaranya bergetar, setengah ingin menghentikan, setengah bingung harus bagaimana.
Namun Bima justru tersenyum lembut, matanya tak lepas dari Alex. Ia meraih tangan kecil itu dan menggenggamnya penuh ketulusan.
“Hmmm…” ia pura-pura berpikir, lalu berkata dengan nada hangat, “jadi ayah pura-pura? Boleh. Tapi Om lebih seneng lagi kalau bisa jadi ayah beneran buat Alex.”
Ucapan itu meluncur begitu saja, jujur dan tanpa filter.
Nadya terbelalak, wajahnya memerah seketika. “Bim!” Ia buru-buru mencubit lengan Bima di bawah meja, membuat pria itu meringis sambil terkekeh.
Sementara Alex tertawa lepas, sama sekali tidak sadar betapa kata-katanya barusan mengguncang hati ibunya.
_________
Setelah makan malam selesai, Alex akhirnya digiring oleh baby sister kecilnya ke kamar untuk tidur. Rumah menjadi lebih tenang, hanya tersisa suara piring yang dibereskan dan detik jam dinding yang terdengar jelas.
Nadya duduk di sofa ruang tamu dengan segelas teh hangat di tangannya. Bima ikut duduk di seberangnya, memperhatikannya dalam diam. Ada sesuatu di mata Nadya, tatapan jauh yang tak bisa ia sembunyikan meski berusaha tersenyum.
“Terima kasih sudah menemaniku malam ini,” ucap Nadya lirih, matanya jatuh pada permukaan teh yang berasap tipis.
Bima mengangguk. “Aku yang harusnya berterima kasih. Jarang-jarang aku bisa makan masakan rumah yang enak begini.” Ia mencoba mencairkan suasana, tapi melihat wajah Nadya yang tiba-tiba sendu, senyumnya perlahan meredup.
“Aku jarang cerita ke orang lain, Bim…” suara Nadya pelan, nyaris berbisik. “Tentang… suamiku.”
Bima tidak menyela, hanya menatapnya penuh perhatian.
“Dia meninggal… tepat saat aku akan melahirkan Alex. Kecelakaan. Aku masih ingat jelas telepon malam itu, saat aku sudah hampir menuju rumah sakit. Rasanya seperti seluruh dunia runtuh di atas kepalaku.” Nadya menarik napas panjang, suaranya bergetar. “Aku melahirkan Alex dengan tubuh yang gemetar dan hati yang hancur.”
Air mata perlahan menggenang di pelupuknya, namun Nadya memaksa tersenyum samar.
“Sejak saat itu… aku jatuh. Jatuh sedalam-dalamnya. Aku pernah merasa tidak akan sanggup bangkit lagi. Semua terasa gelap, semua terasa tidak adil.”
Bima menunduk sedikit, kedua tangannya menggenggam erat, seakan ikut menahan sakit yang dirasakan Nadya.
“Tapi Alex… dia membuatku bertahan. Dia tumbuh jadi anak yang… entah bagaimana, bisa memahami keadaannya sendiri. Dia tidak pernah marah karena berbeda dari teman-temannya, dia tidak pernah menuntut lebih. Seolah… dia tahu aku sudah berusaha sekuat tenaga. Kadang, aku justru merasa dia yang menguatkanku, bukan sebaliknya.” Nadya tersenyum getir, air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan.
Suasana hening menyelimuti. Bima perlahan bergeser, duduk lebih dekat. Tangannya menyentuh punggung tangan Nadya, hangat dan mantap.
“Kamu luar biasa, Nadya,” ucapnya lirih. “Tak semua orang bisa bangkit dari luka sedalam itu. Tapi kamu bisa… demi Alex. Dan aku yakin, Alex akan selalu tahu betapa hebat ibunya.”
Nadya menoleh, menatap Bima dengan mata basah. Hatinya bergetar mendengar ketulusan itu. Ada sesuatu yang tumbuh pelan, seperti cahaya kecil yang menyusup ke ruang hatinya yang lama gelap.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sementara itu, di sisi lain kota…
Aruna berdiri sendirian di dekat halte bus. Udara malam yang dingin menusuk kulit, ditambah sepi jalanan membuatnya merasa semakin kecil. Lampu jalan redup, tak banyak orang lewat, hanya beberapa motor yang melintas cepat.
Ia merapatkan tas ke dadanya, menunggu taksi yang tak kunjung datang. Sesekali ponselnya ia lihat, tapi baterai sudah sekarat.
Perasaan tidak enak tiba-tiba merayap. Seperti ada mata yang mengawasinya dari kejauhan. Aruna menoleh sekilas, tapi tak melihat siapa pun. Ia berusaha mengabaikan, menarik napas panjang.
Namun beberapa langkah kaki terdengar, semakin lama semakin dekat. Aruna mempercepat langkahnya, meninggalkan halte dan menuju jalan kecil di sampingnya. Suara itu ikut membuntutinya.
Deg.
Jantungnya berdegup kencang.
“Siapa di sana?” suaranya bergetar, tapi tidak ada jawaban. Justru langkah itu makin cepat.
Aruna panik, mulai berlari. Malam terasa begitu panjang, setiap bayangan di trotoar tampak menakutkan. Hingga akhirnya kakinya tersandung, tubuhnya jatuh ke aspal kasar.
Sebelum sempat bangkit, sebuah tangan dingin mencengkeram bahunya dari belakang.
.
.
.
Bersambung.
...~Aruna ~...
Terima kasih sudah membaca bab ini hingga akhir semuanya. jangan lupa tinggalkan jejak yaa, like👍🏿 komen😍 and subscribe ❤kalian sangat aku nantikan 🥰❤
lanjut next bab yaa guys 👇👇👇