Kata sah terdengar lantang dari dalam ruangan minimalis itu. Pertanda ijab kabul telah selesai dilaksanakan seiring dengan air matanya yang terus menerus menetes membasahi pipinya.
Apa jadinya jika, karena kesalahpahaman membuat seorang wanita berusia 25 tahun harus menjadi seorang istri secara mendadak tanpa pernah direncanakan ataupun dibayangkan olehnya.
Kenyataan yang paling menyakitkan jika pernikahan itu hanyalah pernikahan kontrak yang akan dijalaninya selama enam bulan lamanya dan terpaksa menjadi istri kedua dari suami wanita lain.
Mampukah Alfathunisa Husna menerima takdir pernikahannya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 8
Ke esokan harinya..
Nisa melaju dengan motor barunya hadiah spesial dari sang suami, Mayor Azhar. Motor itu memang sengaja dibelikan agar Nisa tidak kerepotan membawa banyak barang dagangan dan makanan pesanannya.
Sambil mengendarai, hatinya berbisik lirih.
“Saya harus selalu tampil rapi di depan Mas Azhar. Mbak Dian selalu terlihat modis, setidaknya penampilan saya jangan sampai jomplang… Saya nggak mau Mas menyesal memilih saya sebagai istri keduanya.”
Pagi itu Nisa tidak mengenakan gamis seperti biasanya. Ia memilih celana bahan rapi dipadukan dengan kemeja putih dan blazer biru muda. Simpel, tapi elegan membuatnya tampak lebih anggun, bukan sekadar pengantar makanan.
Di jok depannya, rantang-rantang susun tertata rapi. Ada juga beberapa kotak mika dan toples berisi kue basah serta kue kering, semua hasil tangannya sendiri. Semua itu ia siapkan penuh cinta untuk suami tercinta.
Sesampainya di gerbang rumah dinas TNI Angkatan Laut, Nisa berhenti dan menyapa pos jaga.
“Assalamualaikum, selamat pagi Pak Ramli,” ucapnya sambil tersenyum ramah.
“Waalaikumussalam, selamat pagi Mbak Nisa,” balas Pak Ramli dengan wajah hangat. Ia sudah hafal betul sosok perempuan lembut ini.
Nisa lalu mengambil satu kotak kecil dari tasnya dan menyerahkannya. “Ini ada sedikit kue untuk sarapannya Pak Ramli. Anggap saja tanda terima kasih karena selalu menyambut saya dengan baik.”
Pak Ramli melongo sejenak, kaget. “Lho… buat saya? Masya Allah, makasih banyak Mbak Nisa. Kebetulan istri saya sedang pulang ke kota, jadi pagi-pagi biasanya saya cuma ngopi tanpa sarapan.”
Nisa tersenyum lembut. “Kalau begitu alhamdulillah, semoga bisa jadi pengganti sementara buatan istri, ya Pak.”
Pak Ramli mengangguk penuh syukur. “Doa saya, semoga rumah tangga Mbak selalu diberkahi Allah.”
Nisa menunduk lirih. “Aamiin ya Allah, semoga doa itu sampai pada hati saya dan suami.”
---
Setelah memarkir motornya, Nisa berjalan sambil menenteng rantang. Tak jauh, ia bertemu Letnan Faris di jalan.
“Assalamualaikum, Pak Faris,” sapa Nisa ramah.
“Waalaikumussalam, wah Mbak Nisa sudah datang rupanya. Aku baru mau nyambut ke depan,” jawab Faris dengan raut gembira.
“Maaf agak terlambat, perjalanan agak jauh,” ucap Nisa sambil menyerahkan rantang dan kotak makanan.
Faris menerima dengan wajah cerah. “Alhamdulillah, akhirnya bisa sarapan juga. Tapi… ini apa ya? Kue? Kayaknya nggak ada di daftar perjanjian kita.”
Nisa terkekeh kecil. “Itu bonus untuk pelanggan setia. Tapi kalau Bapak mau nambah harga juga nggak nolak sih,” godanya ringan.
Faris tertawa, “Hahaha… gampang itu. Yang penting masakan Mbak selalu enak dan bikin nagih.”
Nisa tersenyum sopan. “Kalau begitu, saya pamit dulu, Pak. Mas Azhar dan anak-anak pasti sudah menunggu.”
“Baiklah, makasih banyak ya, Mbak. Hati-hati di jalan,” balas Faris sambil menatap Nisa dengan pandangan kagum yang tak bisa ia sembunyikan.
---
Beberapa langkah kemudian, Nisa sampai di depan rumah dinas Azhar. Pintu terbuka lebar, dan dua bocah mungil berlari-lari di halaman.
Nisa tertegun, hatinya tersentuh. Senyum tulus terbit di wajahnya. Ia spontan mengusap perutnya yang masih datar.
“Ya Allah, kapan saya bisa menghadiahkan anak untuk Mas Azhar? Seandainya saya diberi amanah seorang anak… pasti secantik mereka.”
Tanpa ia sadari, Azhar yang baru saja keluar ruang tamu melihat jelas gerakan kecil istrinya itu. Senyum lirih muncul di bibirnya.
“Aku tahu, kamu juga mendambakan anak, sayangku. Insya Allah, waktunya akan tiba. Bersabarlah…”
---
Nisa lalu jongkok di depan kedua bocah itu. “Anak-anak cantik sholehahnya Papa, lagi mau ke mana?” tanyanya sembari menowel hidung mereka.
Balqis, si sulung, menjawab polos. “Mau cari Mama Dian. Mama pergi sama temennya belum pulang.”
Tiba-tiba, adiknya, Berliana, langsung memeluk Nisa erat. “Mama cantik… Berlian mau gendong sama Mama cantik.”
Nisa tercekat, kedua matanya berkaca-kaca. Dengan penuh kasih, ia langsung mengangkat Berliana ke gendongannya.
Balqis buru-buru menegur adiknya. “Dek, dia bukan Mama kita, itu Tante cantik.”
Nisa tersenyum lembut. “Nggak apa-apa, sayang. Tante nggak marah kok dipanggil Mama. Malah Tante seneng banget.”
Azhar yang menyaksikan dari jauh, tak kuasa menahan rasa haru. Hatinya makin mantap: “Aku tidak salah memilihmu, Nisa…”
---
Tak lama, Azhar muncul mendekat. “Kamu sudah datang, sayang?”
Nisa sedikit kaget. “Iya, Mas. Maaf tadi mampir ke rumah Pak Faris dulu. Anak-anak sepertinya sudah lapar, jadi nyari Mbak Dian, ya?”
Azhar mengangguk. “Iya. Dian ada pertemuan Persit, jadi agak siangan pulangnya. Aku tadinya mau kerja, tapi terpaksa jagain anak-anak dulu.”
“Kalau begitu, sarapan dulu Mas. Saya bantu jagain mereka, biar Mas bisa kerja dengan tenang,” ucap Nisa penuh pengertian.
Azhar tersenyum tipis. “Kamu memang selalu ngerti kondisiku…”
---
Mereka lalu masuk bersama. Nisa menata makanan di meja, menyuapi kedua anak itu dengan sabar. Balqis dan Berliana tertawa-tawa kecil ketika Nisa bercanda mereka, sementara Azhar menyantap hidangan dengan tenang.
Sesekali, Azhar memperhatikan wajah lembut istrinya. Betapa berbeda ia dengan Dian yang sering membantah hal-hal kecil. Bersama Nisa, hatinya selalu teduh.
Balqis tiba-tiba menunjuk piring ayahnya. “Papa makan kue enak. Balqis mau juga.”
Nisa tertawa kecil. “Boleh, nanti Tante ambilkan. Tapi jangan nakal ya, habiskan dulu nasinya.”
---
Ketika Nisa sedang mencuci piring, tiba-tiba sepasang tangan hangat melingkar di pinggangnya.
“Arghh!” Nisa hampir menjatuhkan piring, tubuhnya menegang.
“Shhh… jangan ribut. Nanti anak-anak dengar,” bisik Azhar, suaranya berat menahan rindu. Ia menunduk, mencium aroma tubuh istrinya yang selalu membuatnya candu.
“Mas… jangan di sini, nanti ketahuan…” bisik Nisa panik.
Tapi Azhar memutar tubuhnya hingga berhadapan. Tatapannya dalam, haus akan belaian.
“Aku nggak tahan lagi, Nis. Sudah sebulan kita nggak punya waktu berdua…”
Tanpa memberi kesempatan, bibir Azhar melumat bibir istrinya. Nisa sempat menolak, tapi akhirnya luluh, membalas dengan penuh rindu.
---
Ketika tangan Azhar melingkar di pinggang Nisa, wajah istrinya itu memerah.
“Mas… jangan di sini, nanti anak-anak lihat,” bisik Nisa gugup.
Azhar menatapnya dalam. Ada kerinduan yang tak terbendung di matanya. “Aku sudah terlalu lama menahan rindu, Nisa. Izinkan aku, walau sebentar saja.”
Tanpa memberi kesempatan, ia memutar tubuh Nisa hingga berhadapan. Bibirnya segera meraih bibir sang istri. Sekejap, waktu seakan berhenti. Nisa sempat terkejut, tapi perlahan ia membalas, menyalurkan segala rindu yang juga ia simpan diam-diam.
Azhar lalu mengangkat tubuh Nisa ala bridal style, membawanya ke kamar khusus mereka. Kamar yang hanya dibuka ketika Nisa datang berkunjung.
---
Pintu tertutup.
Cahaya matahari menembus tirai tipis, membentuk siluet dua insan yang saling merengkuh.
Nisa terbaring di samping Azhar, jantungnya berdegup kencang. Tatapan Azhar begitu lembut, jemarinya menyusuri wajah istrinya seolah ingin menghafalnya.
“Mas…” bisik Nisa, napasnya bergetar.
“Shh… jangan bicara. Biarkan aku yang berbicara dengan caraku,” ucap Azhar lirih, lalu ia mengecup kening Nisa lama, penuh rasa syukur.
Waktu pun berjalan, meninggalkan hanya desahan rindu, pelukan erat, dan doa-doa yang terpanjat dalam hati keduanya.
Mereka menyatu bukan hanya sebagai suami-istri, tapi juga sebagai dua jiwa yang saling melengkapi.
---
Beberapa waktu kemudian, Nisa merebahkan diri di dada suaminya. Azhar mengusap rambutnya pelan.
“Mas makin yakin… nggak ada yang bisa menggantikanmu. Kamu adalah tenangku, Nisa,” ucap Azhar tulus.
Nisa tersenyum malu, menyembunyikan wajah di dada bidang itu. “Saya juga bersyukur Allah mengirimkan Mas dalam hidup saya.”
Azhar mengecup keningnya sekali lagi. “Semoga Allah segera menitipkan anak untuk kita, ya sayang.”
Setelah selesai, Azhar mengecup kening istrinya. “Makasih banyak, sayangku. Aku semakin tergila-gila padamu.”
Nisa tersenyum malu, cepat-cepat merapikan diri agar tidak ketahuan.
---
Sebelum pulang, Nisa mencium kedua anak sambungnya. Tapi Balqis dan Berliana justru menangis keras, tidak rela ditinggal.
“Papa… jangan biarkan Tante Nisa pulang,” rengek Berliana.
Azhar terperanjat, tak menyangka kedekatan mereka sudah begitu kuat.
Nisa ikut terharu, memeluk keduanya erat. “Besok Tante datang lagi, insya Allah. Jangan nangis ya, sayang.”
Balqis mengusap matanya. “Tante janji, ya?”
“Iya, Tante janji…” Nisa menoleh ke Azhar, menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
Azhar balas tersenyum, penuh syukur. “Ya Allah, betapa beruntungnya aku memiliki wanita ini di sisiku.”
aku agak binggung bacanya 🙏🙏🙏
Nisa lebih baik menikah dengan duda dari pada jadi plakor