Raisa tak pernah mengira hidupnya akan berubah drastis setelah ulang tahunnya yang ke-23. Gadis ceria itu terkejut ketika sang mama mengenalkannya pada seorang pria—bukan untuk dijodohkan dengan lelaki muda seperti biasanya, melainkan dengan teman dekat mamanya sendiri, seorang pria dewasa bernama Ardan yang berusia hampir dua kali lipat darinya.
Ardan, seorang duda mapan berwibawa, awalnya tak berniat menerima tawaran perjodohan itu. Namun, kepribadian Raisa yang hangat dan polos perlahan membuatnya goyah. Raisa pun dilanda dilema: bagaimana bisa ia jatuh hati pada seseorang yang selama ini ia kenal sebagai “Om Ardan”, sosok yang sering datang ke rumah sebagai sahabat mamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 17
Hujan deras mengguyur kota malam itu. Suara gemericik di jendela apartemen jadi latar hening antara Raisa dan Ardan.
Raisa duduk di sofa, menggenggam cangkir teh yang sudah mulai dingin. Setelah semua yang terjadi—debat publik, gosip kampus, tatapan orang-orang—ia merasa tubuhnya berat, seolah dunia menindihnya.
Ardan, seperti biasa, tampak tenang. Ia berdiri di depan jendela, punggungnya menghadap Raisa, tangan dimasukkan ke saku celananya.
“Om…” suara Raisa nyaris tenggelam oleh suara hujan.
Ardan menoleh, matanya langsung jatuh ke wajahnya. “Ya?”
“Aku… nggak tahu aku sanggup nggak.”
Ardan melangkah mendekat. “Sanggup apa?”
“Semua ini.” Raisa menghela napas. “Tatapan orang-orang, gosip, komentar jahat… bahkan keluargaku sendiri nggak sepenuhnya terima. Aku capek.”
Ardan duduk di sebelahnya, mengambil cangkir itu dari tangannya dan meletakkannya di meja. Lalu ia memegang kedua tangannya, menggenggam erat.
“Kalau kamu mau berhenti, Raisa… bilang.”
Raisa mendongak, menatapnya. “Dan Om bakal biarin aku pergi?”
Ardan tersenyum kecil, getir. “Nggak. Tapi aku akan tahu aku harus berjuang lebih keras.”
Raisa terdiam.
Ardan menatapnya lama, seolah menimbang sesuatu. Lalu ia berkata, “Kalau kita melawan dunia, kita lakukan dengan nama yang sama.”
Raisa mengerutkan dahi. “Nama yang sama? Maksudnya…”
Ardan menatapnya lurus. “Nikah sama aku.”
Dunia Raisa berhenti berputar.
“A… apa?” suaranya tercekat.
“Kalau aku cuma pacaran sama kamu, mereka akan terus menyerang. Tapi kalau aku jadikan kamu istriku, mereka nggak bisa lagi menganggapmu ‘mainan’ atau ‘mahasiswi simpanan’. Kamu akan berdiri di sampingku—sebagai pasangan hidupku. Resmi.”
Raisa membuka mulut, tapi tak ada kata keluar.
Pernikahan? Dengan Ardan? Ia tahu pria itu serius, tapi mendengarnya langsung membuat jantungnya berdetak tak karuan.
“Om… ini gila,” akhirnya ia berkata.
“Ya,” jawab Ardan cepat. “Aku memang gila. Gila karena aku nggak mau kehilangan kamu. Kalau dunia mau memusuhiku karena itu, biar saja.”
Air mata menggenang di mata Raisa. “Om… ini terlalu cepat.”
“Enggak. Kita udah tahu apa yang kita mau. Kamu tahu apa yang kamu mau?” Ardan mencondongkan tubuh, menatapnya dekat. “Kamu mau aku?”
Raisa terdiam. Hujan di luar semakin deras. Tapi di dalam dadanya, suara detak jantungnya jauh lebih kencang.
“Ya,” bisiknya.
Ardan mengusap pipinya, lalu menunduk, mencium bibirnya pelan—sekilas, namun penuh makna. “Kalau gitu, jangan takut. Dunia akan selalu ribut. Tapi kalau kamu jadi istriku, mereka nggak akan bisa menjatuhkanmu lagi.”
Malam itu, mereka duduk lama di sofa. Raisa bersandar di dada Ardan, mendengarkan detak jantungnya. Tak ada kata-kata lagi, hanya keheningan yang penuh dengan keputusan besar.
Keesokan harinya, langkah pertama dilakukan Ardan.
Raisa tak pernah merasa lebih gugup dalam hidupnya selain saat berdiri di depan rumah keluarga besar Ardan—rumah megah yang dipenuhi orang-orang bersetelan formal, dari saudara, kolega, hingga orang-orang penting yang selama ini hanya ia lihat di berita.
“Om… aku nggak bisa,” bisiknya sambil menarik lengan Ardan.
Ardan menoleh, menatapnya dengan ketenangan khasnya. “Pegang tanganku. Sisanya biar aku.”
Begitu mereka masuk, semua mata langsung tertuju pada Raisa. Ia bisa mendengar bisik-bisik—tentang usianya, tentang hubungannya dengan Ardan—tapi Ardan berjalan tegap, menggenggam tangannya erat, seolah berkata: biarkan mereka.
Di tengah ruang, Ardan berdiri dan memperkenalkan Raisa.
“Ini Raisa,” katanya lantang. “Wanita yang akan menjadi istriku.”
Suasana hening. Seolah semua orang menahan napas.
Raisa ingin menghilang dari pandangan dunia. Tapi ketika Ardan menggenggam tangannya lebih kuat, ia sadar—ia tidak sendirian.
Malam itu, mereka pulang dengan kelelahan luar biasa. Di mobil, Raisa hanya menatap keluar jendela, pikirannya penuh.
“Om…” akhirnya ia berkata.
“Ya?”
“Apa Om yakin?”
Ardan mengulurkan tangannya, mengenggam jemari Raisa. “Aku nggak pernah se-yakin ini seumur hidupku.”
Dan untuk pertama kalinya, Raisa mulai percaya—mungkin, hanya mungkin—mereka bisa benar-benar melawan dunia bersama.
*
Langit sore Jakarta berwarna jingga keemasan ketika mobil Ardan berhenti di depan rumah keluarga Raisa.
Raisa menggenggam ujung roknya, gelisah. “Om… aku takut Mama nggak setuju. Dia memang suka Om, tapi… menikah? Itu beda cerita.”
Ardan yang duduk di sampingnya menoleh, menatapnya dengan ketenangan khasnya. “Kalau dia benar-benar sayang kamu, dia akan lihat apa yang bikin kamu bahagia. Bukan apa kata dunia.”
Begitu pintu dibuka, Mama Raisa muncul. Mengenakan daster bunga-bunga, rambutnya diikat seadanya, tapi ekspresinya berubah total ketika melihat putrinya berdiri di sana dengan Ardan.
“Loh? Om Ardan! Raisa!” Mama langsung menutup mulutnya dengan tangan, matanya membesar. “Jangan bilang… kalian—”
Ardan tersenyum, menunduk sedikit memberi salam. “Iya, Lis. Aku datang untuk menyampaikan kabar baik.”
Raisa menelan ludah. Ia bersiap menerima segala macam ceramah.
Tapi yang keluar dari mulut Mamanya membuatnya nyaris terbatuk.
“Kalian mau nikah?” suara Mamanya sambil terkekeh, namun bukan marah.
Ardan mengangguk mantap. “Iya, Lis. Kami berencana menikah dalam waktu dekat.”
Mama Raisa terdiam.
Lalu, tanpa diduga, ia menepuk-nepuk pipi anaknya, air mata menggenang di sudut matanya. “Astaga… jadi beneran Om Ardan ini calon suami kamu? Raisa… kamu akhirnya nemu laki-laki yang serius sama kamu!”
Raisa melongo. “Ma… Mama nggak marah?”
“Mau marah kenapa?!” Mama mendengus sambil mengelap air matanya. “Nak, aku tahu hubungan kalian nggak mudah. Tapi kamu pikir aku nggak lihat cara dia jagain kamu? Kamu pikir aku nggak tahu berapa banyak cowok seusia kamu yang cuma main-main? Kalau ada laki-laki yang mau berdiri di depan dunia buat kamu… apalagi yang perlu dipertanyakan?”
Raisa menunduk. Ia tak menduga Mamanya akan semudah itu menerima.
Mama Raisa menoleh ke Ardan. “Ardan, aki titip anak aku. Jangan pernah biarin dia nangis sendirian.”
Ardan menata Lisa temannya dengan hormat. “Saya janji, Lis. Kalau dia menangis… itu hanya di bahu saya. Dan bukan karena saya menyakitinya.”
Mama tersenyum sambil menepuk pundak Ardan. “Kalau gitu, kapan aku bisa mulai sibuk ngurus resepsi?”
"Nanti kita bicarakan."
"Eh ngomong-ngomong kamu nanti panggil aku mama? Ih geli banget" Lisa mamanya Raisa tertawa ngakak, membuat Ardan ikutan tertawa.
Raisa menghela napas panjang—campuran lega dan gugup.
Di perjalanan pulang, ia bersandar di kursi mobil, menatap Ardan. “Aku nggak nyangka Mama bakal seceria itu.”
Ardan menoleh sekilas, senyumnya tipis. “Seorang ibu cuma mau anaknya bahagia. Dan kamu kelihatan bahagia.”
Raisa terdiam. Ia menatap tangan Ardan yang menggenggam setir, dan untuk pertama kalinya, ia membayangkan… tangan itu menggenggamnya di pelaminan.
Dan anehnya—ia tidak lagi takut.