Menjalin hubungan dengan pria lajang ❌
Menjalin hubungan dengan duda ❌
Menjalin hubungan dengan suami orang ✅
Mawar tak peduli. Bumi mungkin adalah suami dari tantenya, tapi bagi Mawar, pria itu adalah milik ibunya—calon ayah tirinya jika saja pernikahan itu dulu terjadi. Hak yang telah dirampas. Dan ia berjanji akan mengambilnya kembali, meskipun harus... bermain api.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ila akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Kembali ke Masa Kini…
Mawar menatap Lusi yang masih terdiam kaku. Ia bisa merasakan ketakutan wanita itu, meskipun Lusi mati-matian mencoba menyembunyikannya di balik senyum tipis yang terasa semakin dipaksakan.
Menarik.
Tapi tidak, ia tidak boleh terburu-buru.
Aku akan membuatmu membayar semuanya, Tante Lusi.
Tapi tidak sekarang.
Dengan lembut, Mawar menundukkan kepalanya, menampilkan wajah penuh kepolosan. Senyum yang manis, namun kosong.
“Maaf, Bu. Apakah ada yang salah dengan saya?” tanyanya dengan nada lembut, seakan benar-benar peduli.
Lusi tersentak. Seakan tersadar dari mimpi buruk yang menyeretnya terlalu dalam.
“Eh, iya... kenapa?”
Seketika, ia berdeham pelan, mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Oh, tidak. Tidak ada yang salah apa-apa.”
Ia berusaha bersikap santai, menepis bayangan masa lalu yang kembali mengusik pikirannya. Dengan cepat, ia menarik napas panjang dan mengulas senyum ramah.
“Oh iya. Tadi namamu Mawar, ya?”
Mawar tersenyum sopan, berpura-pura tidak tahu bahwa wanita di hadapannya sedang menahan kepanikan. “Iya, Bu. Nama saya Mawar.”
Lusi mengangguk kecil. “Baiklah, Mawar. Tugasmu di rumah ini berbeda dengan Mbok Ijah.”
Sekilas, matanya melirik ke arah Mbok Ijah—pembantu senior yang malam itu tengah membuang sampah ke luar.
“Kau tidak hanya mengurus pekerjaan rumah,” lanjutnya, “aku memiliki seorang putri, usianya sembilan tahun. Namanya Raya.”
Lusi menoleh ke arah lantai atas dan memanggil putrinya dengan suara lembut. “Raya, Sayang! Tolong ke sini!”
Tak butuh waktu lama, suara langkah kaki kecil terdengar. Raya berlari keluar dari kamarnya, wajahnya penuh semangat dan polos.
“Iya, Mamah! Ada apa?”
Lusi langsung meraih tangan putrinya, mengajaknya duduk di pangkuannya. Wajahnya penuh kasih sayang saat menatap gadis kecil itu.
“Sayang, Mbak Atun sudah keluar. Dan ini Mbak Mawar, dia yang akan mengasuhmu mulai sekarang.”
Mawar terdiam.
Matanya menatap lekat-lekat ke arah bocah kecil di hadapannya.
Jadi… ini putri Tante Lusi dan Om Bumi?
Tangannya mengepal erat tanpa sadar. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya, sesuatu yang sulit dijelaskan.
Sangat sempurna hidup Tante Lusi.
Terlalu sempurna.
Raya, bocah kecil yang tak tahu apa-apa, menatapnya dengan mata berbinar. Tanpa ragu, ia meraih tangan Mawar dan mengguncangnya penuh semangat.
“Oke, Mamah! Mbak Mawar, kenalin, namaku Raya. Semoga Mbak Mawar betah ya, mengasuh aku!” katanya polos, wajahnya cerah tanpa beban.
Mawar terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum lembut. Tangannya terangkat, mengusap rambut gadis kecil itu dengan kelembutan yang nyata.
“Iya, Non Raya. Senang bertemu denganmu,” ucapnya.
Senyum itu tampak tulus. Di dalam hatinya, Mawar tahu satu hal yang tak bisa diubah.
Mereka berdua terhubung oleh darah yang sama.
Mereka saudara.
Melihat keduanya langsung akrab, Lusi tersenyum puas.
“Oke, Mawar. Tugas utamamu adalah menjaga, mengurus, dan melayani Raya dengan baik. Pastikan semua kebutuhannya terpenuhi,” ucapnya, suaranya tegas namun tetap lembut.
Mawar segera menjawab tanpa ragu, “Baik, Bu. Mawar pasti akan menjaga, mengurus, dan melayani Non Raya dengan sebaik mungkin.”
Lusi mengangguk, merasa lega. “Bagus. Karena hari sudah malam, kamu mulai bekerja besok saja. Sekarang bawa tasmu ke kamar, lalu istirahat.”
Mawar mengangguk sopan. “Baik, Bu.”
Namun, tiba-tiba, Mawar terdiam.
Tunggu dulu.
Ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Perlahan, ia menoleh kembali ke arah Lusi.
Tapi… ngomong-ngomong, Om Bumi di mana ya?
Kenapa tidak kelihatan sama sekali sejak tadi?
Sejenak, bibir Mawar melengkung dalam senyum samar. Hatinya mulai bergejolak, ada sesuatu yang sulit dijelaskan.
Apakah Om Bumi masih setampan dulu? Masih selembut dulu?
Apakah pria itu masih memiliki tatapan yang dulu membuatnya merasa aman? Atau… apakah ia sudah benar-benar berubah?
Ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya. Bukan hanya dendam.
Tapi sesuatu yang lebih dalam.
Lebih berbahaya.
Lusi tidak menyadari perubahan ekspresi Mawar. Ia hanya berkata, “Sudah, sekarang kamu istirahat, Mawar. Aku panggil Mbok Ijah untuk mengantarkanmu ke kamar.”
Namun sebelum sempat Mbok Ijah datang, suara kecil penuh antusias memotong pembicaraan.
“Nggak usah, Mah! Biar Raya saja yang antar Mbak Mawar ke kam—”
BRAAAK!
Suara pintu gerbang terbuka keras, memotong ucapan gadis kecil itu.
Sebuah mobil memasuki halaman rumah, mesinnya menderu pelan sebelum akhirnya berhenti.
Hening sejenak.
Mawar, Lusi, dan Raya sama-sama menoleh.
Dari dalam mobil, seorang pria keluar dengan langkah tegap.
Bumi.
Suaranya terdengar tegas saat berbicara dengan pria lain yang ikut turun bersamanya. Wajah pria itu tidak terlihat jelas, tertutup oleh tubuh Bumi yang tegap.
“Jangan mengabaikan telepon dariku lagi! Kamu harus terbiasa dengan pekerjaan ini. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan meneruskan perusahaan Ayah?"
Pria tersebut—yang sedang mengenakan helm dan bersiap menaiki motor gedenya yang telah terparkir di halaman—mendengus.
“Sudah selesai ceramahnya? Aku nggak punya waktu buat ini. Masih banyak urusan di luar yang harus aku selesaikan,” sahutnya, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa hormat.
Tanpa menunggu balasan, ia menepuk bahu Bumi sekilas, lalu dengan gerakan santai menyalakan mesin motor dan melaju keluar halaman dengan kecepatan tinggi.
Bumi hanya bisa menarik napas panjang, sementara matanya terus mengikuti punggung pria itu yang semakin menjauh.
“Mau sampai kapan kamu terus seperti ini?” gumamnya lirih. “Sekarang kamu sudah dewasa.”
Ia mengembuskan napas pelan, tangannya terangkat memijat pelipis yang berdenyut, lalu melangkah masuk ke dalam rumah, meninggalkan debu yang masih berputar di halaman.
Begitu melihat ayahnya, Raya langsung melompat dari pangkuan ibunya dan berlari menghampiri pria itu dengan penuh semangat.
“Papa pulang!” serunya riang.
Bumi tersenyum tipis—senyum yang meskipun samar, tetap mampu menyalakan cahaya di mata putrinya. Dengan mudah, ia mengangkat tubuh kecil itu ke dalam gendongannya. Seolah semua lelah yang menggelayuti tubuhnya seharian sirna begitu saja saat mendengar suara gadis kecilnya.
Langkahnya tenang namun penuh wibawa saat ia masuk ke dalam rumah. Sekilas, ia menyalami Lusi sebelum akhirnya berdiri di sana—tanpa menyadari bahwa, di sudut ruangan, ada sepasang mata yang menatapnya tanpa berkedip.
Mawar.
Jantungnya berdebar tak menentu, darahnya mengalir lebih cepat dari biasanya.
Demi Tuhan…
Pria itu.
Bumi.
Ia masih tampan.
Sangat tampan.
Lebih tampan dari yang ia ingat.
Waktu seolah tidak meninggalkan jejak di wajahnya. Garis rahangnya semakin tegas, sorot matanya tajam dan dalam, mengandung misteri yang sulit ditebak. Tubuhnya tegap, membangun aura kuat yang nyaris membuat udara di sekitarnya bergetar. Dingin, berwibawa, dan—entah bagaimana—memabukkan.
Setelan formal yang dikenakannya sedikit berantakan. Kemejanya tergulung hingga siku, dan dasinya longgar, menampilkan leher jenjangnya yang kokoh—seolah menandakan betapa lelahnya ia setelah seharian bekerja. Namun, justru itu yang membuatnya terlihat semakin… menarik.
Lebih maskulin.
Lebih dewasa.
Lebih memikat.