Seorang pria bernama Lorenzo Irsyadul, umur 25 tahun hidup seorang diri setelah ibunya hilang tanpa jejak dan dianggap tiada. Tak mempunyai ayah, tak mempunyai adik laki-laki, tak mempunyai adik perempuan, tak mempunyai kakak perempuan, tak mempunyai kakak laki-laki, tak mempunyai kerabat, dan hanya mempunyai sosok ibu pekerja keras yang melupakan segalanya dan hanya fokus merawat dirinya saja.
Apa yang terjadi kepadanya setelah ibunya hilang dan dianggap tiada?
Apa yang terjadi kepada kehidupannya yang sendiri tanpa sosok ibu yang selalu bersamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon A Giraldin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17: Bitch
Saat ia sedang berjalan dengan sekelilingnya desahan-desahan dari pria dan wanita di bangunan-bangunan penuh warna dalam gelapnya malam terdengar dengan jelas sampai ke telinganya.
Ia berbisik pelan dengan wajah memerah hebat. “Aaakhh ... sepertinya menyenangkan.” Tiba-tiba ia teringat Clayra. “Benar juga, aku sudah punya Clayra, tempat ini tidak mungkin bisa membuatku bergairah.”
Ia melanjutkan berjalan sambil terus menahan gairahnya yang tak bisa dibendung lagi. Di dalam hati, ia hanya bisa bicara sendiri sambil membuka lebar mata yang melihat ke segala arah. “Sial, sial, sial. Mereka cantik sekali. bayangan-bayangan hitam brengsek. Tak mungkin aku akan terjerat ke dalamnya. Pelacur ... bitch ... sama saja atau satu kata yang sama, tak akan bisa membuatku jatuh ke perangkap mereka.”
Di atas salah satu bangunan dengan adanya balkon di bangunan tersebut, sosok wanita rambut panjang warna biru menggodanya. “Heyy!!” teriaknya kecil.
Lorenzo melihat ke arahnya dan jantungnya langsung berdetak kencang tak karuan. “Ya-ya, ada apa?” tanyanya dengan wajah memerah hebat, tersipu malu, dan anu berdiri.
“Kemarilah! Mari bersenang-senang bersama di malam hari yang cerah ini, tuan...”
“Lo-lorenzo, nona...”
“Elizabeth.”
Perkenalan nama singkat terdengar oleh masing-masing. Lorenzo langsung berjalan cepat dan berlari meninggalkannya sambil teriak kencang. “Maafkan aku, nona Elizabeetthh!!!”
Elizabeth yang tak pakai baju atau bugil, tentu saja ia tinggalkan. “Waaaww, larinya kencang sekali ya!” pukaunya. “Hatsyuumm,” bersinnya karena udara malam. “Dingin sekali.” Ia merangkul badan bugilnya dengan kedua tangannya. “Oke, waktunya masuk ke dalam dan menghangatkan diri di kotatsu.”
Lorenzo yang berlari kencang sampai sejauh 200 meter, berhenti karena dirasa diperhatikan oleh orang-orang. Setelah berhenti dan berjalan normal, para pria yang menatapnya langsung beraktivitas seperti semula dan para wanita mulai menggoda para pria.
Godaan dari paling biasa sampai paling maut dikerahkan oleh masing-masing wanita. Lorenzo hanya bisa lanjut berjalan sambil menundukkan kepalanya dengan wajah memerah hebat dan anu berdiri terus saking cantik dan menggodanya wanita-wanita di tempat ini.
“Aku gugup sekali,” bisiknya pelan. Tiba-tiba seorang wanita yang 2 cm lebih rendah darinya memegang tangan kanannya dari belakang. Lorenzo langsung membalikkan badannya.
Wajahnya memerah hebat karena gaun putih yang dikenakannya. Gaun putih tembus pandang membuatnya tak bisa berkata apa-apa. “Tuan, mau main denganku malam ini!” ajaknya kepadanya.
“Ya-ya,” jawabnya karena sudah tak bisa menolak tawaran.
Ia tersenyum kecil. Mata hijau dan rambut hitam panjang keriting terlihat sangat indah. “Kalau begitu..” tiba-tiba dirinya merangkul pundak kanannya. “Ayo pergi bersama!” serunya sambil berjalan ke depan terus.
“Ba-baikkk.”
Perjalanan yang akan membuatnya menjadi pria sejati dimulai. Karena sekarang dirinya sudah kembali seperti semula, ia bertanya kepadanya. “Nama nona siapa?”
“Namaku Violet Gevvany, umur 25 tahun kalau kamu mau tahu. Lalu, nama tuan tampan siapa?” tanyanya balik kepadanya dengan pertanyaan sama.
Wajah merah Lorenzo terlihat lagi dengan jelas. “Lo-lorenzo Irsyadul, umur 25 tahun,” jawabnya singkat.
“Woahh,” pukaunya sambil merangkul pundak kanannya lebih erat. “Bagus sekali. Karena umur kita sama, mau sekalian menjadi teman sek* denganku!” tawarnya kepadanya.
Tawaran itu langsung ia tolak. “Tidak,” tegasnya. “Aku sudah punya pacar, jadi... hanya malam ini saja.”
Ia sedikit ngambek. “Tak mau selingkuh denganku!” godanya dengan lebih berani karena dadanya menempel ke tangan kanannya.
“Tidak. Ukuran payudaramu lebih kecil daripada punya pacarku.” Sebuah perbandingan valid ia keluarkan.
Perbandingan itu membuatnya semakin ngambek sampai memeluk punggungnya dari belakang yang membuat keduanya berhenti bergerak. “Pacarmu pernah melakukan hal ini padamu kah!”
“Tentu saja. Kami bahkan hampir ciuman, sek*, tapi... tak bisa.”
Sebuah fakta yang harusnya tak diucapkan, malah diucapkan. “Kenapa bisa seperti itu?” tanyanya dengan nada mengasihani.
Tubuhnya memutih dalam sekejap. “Karena... kesalahan teknis.”
“Apa yang kau maksud?” tanyanya bingung.
“Bu-bukan apa-apa.” Ia berusaha keras melepaskan diri dari pelukannya. “Malam ini tak jadi. Lalu, carikan aku tempat penginapan, bocah usia 15 tahun.”
Ucapannya membuatnya terkejut. “Ke-kenapa kau bisa tahu?” tanyanya penasaran.
Lorenzo langsung menjawabnya dengan posisi mereka berdua saling berhadapan satu sama lain. “Itu karena aku seorang detektif. Seseorang sepertiku, mana mungkin bisa ditipu dengan mudah.”
Jawabannya malah membuatnya ngambek. “Lalu, kenapa anu mu sampai berdiri? Lolicon?”
Wajahnya memerah hebat dan anu nya tetap berdiri. “Ti-tidak, bu-bukan seperti itu. Karena pakaianmu tembus pandang... tentu saja semua laki-laki yang melihatnya, anu pasti berdiri.”
“Benar juga.” Dengan wajah santainya, ia mengatakan itu dengan singkat.
Lorenzo mengembuskan napas pelan dan langsung bertanya kepadanya. “Jadi, bocah sepertimu, apa yang kau lakukan di sini? mencari ibu atau ayahmu kah!”
Ia menundukkan kepalanya. “Mau mendengar ceritaku!” tawarnya kepadanya.
Saat ia menundukkan kepalanya, sebuah perasaan seperti sedih terlihat dengan sangat jelas. Karena posisi mereka menghalangi para pejalan kaki, Lorenzo memutuskan untuk pergi ke tempat lain. “Boleh saja, tapi... ceritakan saja di tempat lain!”
“Ba-baiklah. Ikuti aku, Lorenzo.” Ia berjalan di depannya dan setelah berjarak sekitar 3 cm, ia berhenti karena Lorenzo tak bergerak. Ia ngambek lagi dan langsung membalikka badan. “Ada apa lagi?!”
“Panggil aku paman Lorenzo!”
“Paman Lorenzo. Puas!”
“Tentu saja, ayo.”
“A-ayo.”
Mereka berdua berjalan ke depan lagi dengan melewati bangunan-bangunan yang berbeda bentuk dan warna, para pejalan kaki, para pelacur yang mengajak, dan akhirnya sampai di sebuah air mancur yang juga merupakan titik tengah wilayah ini.
Mereka berdua duduk di tengah-tengah air mancur bagian samping kanan dengan berlalu lalangnya orang-orang yang menuju toko swalayan, supermarket, pedagang keliling, rumah masing-masing, rumah bordil atau rumah para pelacur berada, dan lain sebagainya.
Pembicaraan dibuka oleh Violet yang langsung bercerita kehidupan dulunya. “5 tahun yang lalu...
Aku hidup di bagian selatan tempat ini. Aku, ibu, dan ayah hidup bersama bertiga sebagai keluarga. Kami sangat bahagia, sampai hari itu datang yang membuat kehidupan kami berantakan.
Jatcchew Huwkon, seorang pria brengsek umur 25 tahun tertarik denganku. Saking tertariknya, ia terus mencoba merekrutku untuk masuk ke dalam rumah bordilnya. Orang tuaku menolak dan aku sendiri menolak. Masalah pertama selesai dan ia pergi dari tempat kami.
Masalah selanjutnya datang. Kali ini, ia mencobanya lagi dan gagal lagi. Sampai pada akhirnya, hari ke-30 tiba dengan kondisi sudah muak sekali, ia mengancam akan membunuh kedua orang tuaku kalau aku tidak mau ikut dengannya.
Orang tuaku terus menolak sampai saat pedang mau menebas leher keduanya, aku langsung menerimanya tanpa pikir panjang lagi. Kedua orang tuaku yang tak bisa melindungiku hanya bisa pasrah, berlinang air mata, dan menyesal karena tak bisa menyelamatkanku.
Dari situ, aku pun menjadi budak di tempat bordilnya yang bernama Chewbordil. Salah satu dari 10 rumah bordil terkenal yang ada di tempat ini. Posisinya nomor 10 atau paling bawah.”
Setelah mendengar ceritanya, ia sedikit berlinang air mata dan langsung mengusap-usap kepalanya. Berasa sudah tenang, Violet tersenyum kecil. Lorenzo yang melihatnya juga ikutan tersenyum kecil.
Keduanya tiba-tiba tertawa bersama dan langsung berjalan lagi menuju tempat tujuan selanjutnya dengan saling berjarak satu sama lain. Di perjalanan ini, Lorenzo bertanya kepadanya. “Violet, sekarang kita mau ke mana?”
“Rumah bordilku. Kau tetaplah pelangganku, jadi aku harus bekerja sampai akhir untuk memuaskanmu malam ini.”
Ia mengusap-usap kepalanya lagi. “Jangan terlalu memaksakan diri! Mengajakku ngobrol saja, sudah cukup.”
“Begitu ya, baiklah aku mengerti.” Suasana hatinya menjadi baik dan karena sepertinya Lorenzo ini berbeda dari kebanyakan pria yang sudah ia ajak bermain, tentu saja hal seperti ini bisa terjadi.
Keduanya pun tersenyum lebar dan berjalan bersama menuju rumah bordil Violet.
Bersambung...
Tulisanmu bagus, Loh... semoga sukses ya...
ayo, Beb @Vebi Gusriyeni @Latifa Andriani