Nayra Kirana, gadis berusia 22 tahun yang baru lulus kuliah, dihadapkan pada kenyataan pahit, ayahnya sakit keras dan keluarganya berada di ambang kehancuran ekonomi. Ketika semua pintu tertutup, satu-satunya jalan keluar datang dalam bentuk penawaran tak terduga—menikah dengan Arka Pratama, pria terpandang, CEO sukses, sekaligus... paman dari senior sekaligus bos tempatnya magang.
Arka adalah duda berusia 35 tahun, dingin, tertutup, dan menyimpan banyak luka dari masa lalunya. Meski memiliki segalanya, ia hidup sendiri, jauh dari kehangatan keluarga. Sejak pertama kali melihat Nayra saat masih remaja, Arka sudah merasa tertarik—bukan secara fisik semata, melainkan pada keteguhan hati dan ketulusan gadis itu. Ketika Nayra tumbuh dewasa dan kesulitan menghimpit hidupnya, Arka melihat kesempatan untuk menjadikan gadis itu bagian dari hidupnya.
Tanpa cinta, tanpa keromantisan, mereka memulai hidup sebagai suami istri berdasarkan perjanjian: tidak ada kewajiban fisik, tidak ada tuntutan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lee_ya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sakit yang Tak Terucap
“Kamu makin pucat, Nay,” kata Arka sambil membantuku turun dari tempat tidur. “Kita cek ke dokter lagi, ya?”
“Aku cuma kurang tidur, Ka.” Aku memaksakan senyum, meski tubuhku terasa semakin berat dan pegal. Kakiku membengkak. Pinggangku nyeri terus-menerus. Tapi aku masih ingin kuat untuk Arka untuk anak kami.
Tapi semuanya runtuh pagi itu. Aku pingsan di kamar mandi. Tubuhku membentur lantai marmer dengan suara keras. Arka, yang baru pulang dari rapat virtual, langsung berlari masuk dan memanggilku panik.
“NAYRA!”
***
Di rumah sakit, hasil pemeriksaan cepat keluar. Aku hanya mendengar samar-samar pembicaraan antara Arka dan dokter di luar ruangan, sementara aku terbaring lemah, merasakan tubuhku seperti melayang.
“Tekanan darahnya turun drastis, Pak Arka dan hasil lab menunjukkan penurunan fungsi ginjal. Ini perlu perhatian serius. Bisa membahayakan kehamilan jika tidak ditangani.” Jelas dokter.
Arka menatap dokter dengan ekspresi hancur. “Tapi tolong jangan bilang ke istri saya dulu. Dia mudah panik, saya yang akan urus semuanya. Saya janji akan melakukan semua yang terbaik agar istri saya bisa sembuh," ucapan Arka.
Dokter mengangguk. “Baik, asal Bapak benar-benar awasi. Terutama pola makan. Kurangi garam, santan, makanan pedas, semua yang tajam di lidah dan dia harus banyak istirahat.”
***
Minggu-minggu berikutnya berubah drastis.
Aku mulai merasa seperti narapidana di rumahku sendiri. Arka menyita semua cemilan favoritku, bahkan sambal botol yang selalu kusimpan diam-diam di kulkas.
“Makanannya hambar banget, Ka,” rengekku suatu malam.
“Kamu butuh makanan sehat, bukan makanan enak,” jawab Arka lembut, tapi tegas.
“Aku bukan anak kecil!” bentakku, air mata tiba-tiba jatuh.
“Kenapa kamu kontrol semuanya lagi kayak dulu?!”
Arka hanya diam. Ia berdiri, memunggungiku sebentar, lalu berkata lirih,
“Karena aku lebih takut kehilangan kamu daripada dibenci oleh kamu.”
Aku terdiam.Tapi aku tak tahu bahwa setelah menenangkanku malam itu, Arka duduk sendiri di balkon, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia menangis diam-diam.
Karena menyembunyikan sesuatu dari istri yang kau cintai jauh lebih menyakitkan daripada dimarahi.
***
Aku mulai menyadari sesuatu tak beres. Tubuhku semakin mudah lelah, perutku kencang, bahkan aroma makanan membuatku mual bukan karena hamil tapi seperti tubuhku menolak segala sesuatu.
Satu malam, aku mengendap keluar kamar dan membuka file medis yang Arka simpan di laptopnya. Passwordnya masih sama "nayra0509".
Dan di sana, aku menemukan semuanya. Hasil lab, catatan dokter. Tindakan medis yang sudah dilakukan tanpa sepengetahuanku.
"Indikasi penurunan fungsi ginjal. Pantauan ketat disarankan hingga persalinan."
Tubuhku gemetar.
Bukan karena marah. Tapi karena sedih. Karena aku tahu Arka menanggung semuanya sendirian lagi.
***
Pagi harinya, aku menyiapkan teh hangat untuk Arka sebelum dia bangun. Saat dia turun, aku duduk di meja makan dengan wajah tenang.
“Ka, besok kita ke dokter bareng, ya?”
Arka menghentikan langkahnya. “Kenapa?”
Aku tersenyum tipis. “Karena aku ingin tahu langsung seberapa parah ginjalku.”
Wajah Arka seketika berubah pucat.
“Nayra...”
“Kenapa kamu gak bilang?”
Dia duduk di depanku. “Karena kamu sedang hamil. Aku gak bisa nambah beban kamu.”
Aku mengangguk, menahan air mata.
“Dan sekarang aku tahu kenapa kamu begitu keras soal makanan dan istirahat.”
Aku memandangnya dalam.
“Maaf karena aku sempat mengira kamu mengendalikan aku lagi.” ucapku penuh penyesalan.
Arka menggenggam tanganku erat.
“Kamu gak salah. Aku memang mengontrol, tapi kali ini bukan karena ego, tapi karena takut.”
Kami berpelukan lama di ruang makan. Tak ada kata yang cukup, selain keheningan yang menyatukan luka kami.
***
Akhir trimester ini bukan hal yang indah. Tapi kami menghadapinya bersama.
Aku tetap menjalani diet ketat. Arka tetap bekerja dari rumah. Kami belajar hidup lebih tenang, lebih teratur.
Dan satu malam, saat kami berdua berbaring dalam diam, Arka memeluk perutku dan berkata,
“Terima kasih karena tetap tinggal. Bahkan ketika tubuhmu memberontak dan hatimu sakit, kamu tetap memilih kita.”
Aku membelai rambutnya, mencium keningnya.
“Terima kasih karena kali ini kamu tidak menyembunyikan cintamu di balik dinding keras.”
Dan di luar, hujan turun perlahan. Seolah ikut membersihkan semua yang pernah menyakitkan.
***
Kontraksi itu datang lagi.
Kali ini lebih tajam dari sebelumnya. Aku meringis sambil menggenggam pinggiran tempat tidur, tubuhku bergetar, keringat dingin membasahi pelipis, pandangan pun terasa kabur.
“Ka...” bisikku lemah.
Arka segera menghampiri, menyeka wajahku dengan handuk hangat.
“Tenang, Nay, ambil napas ikuti ritmaku, ya. Satu... dua... tiga...”
Aku berusaha sekuat tenaga, tapi tubuhku menolak. Rasanya seperti dihantam gelombang demi gelombang tanpa bisa bernapas. Kontraksi itu datang lebih sering, tapi janinku belum cukup umur untuk dilahirkan.
Dan di luar itu ginjalku terus menurun fungsinya.
Tanpa pikir panjang Arka menggendongku dan langsung menuju Rumah Sakit.
***
“Dok, berapa lama lagi Nayra bisa bertahan tanpa tindakan?” tanya Arka serius saat dokter memanggilnya keluar ruangan.
Dokter menghela napas panjang.
“Kita kejar waktu. Janinnya masih dalam rentang aman, tapi tubuh Bu Nayra tidak. Tekanan darahnya naik-turun dan kadar kreatinin terakhir menunjukkan kerusakan ginjal semakin parah.”
“Donor?” Arka mendesak.
“Kami sudah lakukan pencocokan. Sayangnya, tak ada yang cocok termasuk dari orang tua kandungnya.”
Arka mengusap wajahnya. Hatinya remuk. Ia tahu Nayra mencoba bertahan untuk bayi mereka. Tapi berapa lama lagi?
***
Aku menghubungi Mama malam itu. Suaraku tersendat, napasku pendek, dada terasa berat.
“Ma... aku capek...”
Suara Mama langsung panik.
“Nayra? Sayang, kamu kenapa? Jangan buat Mama takut.”
“Aku... aku cuma pengen bilang kalau nanti aku gak kuat tolong jaga anakku.”
“JANGAN KATAKAN ITU!” Mama menangis. “Kamu kuat, kamu pasti kuat. Kamu cuma butuh istirahat. Mama akan ke sana besok, ya?”
Aku menggigit bibir bawahku, menahan tangis.
“Aku juga pengen kuat, Ma. Tapi tiap malam sakitnya makin parah. Kadang aku mikir, lebih baik aku sendiri yang hilang, asal bayiku selamat.”
Suara di seberang hening.
Lalu Mama berkata, dengan suara yang bergetar, “Kalau kamu hilang, Nay, anakmu kehilangan rumahnya. Arka kehilangan hidupny dan Mama kehilangan segalanya. Jadi, kamu harus bertahan.”
Air mataku jatuh. Aku tidak tahu bisa atau tidak. Tapi aku tahu aku harus mencoba.
***
Arka duduk di pojok kamar, menatap tubuhku yang lemah. Ia membaca ulang semua file medis, daftar donor, hingga mencari informasi soal perawatan alternatif. Tapi waktu terus berlari.
Pukul 3 pagi, kontraksi datang lebih kuat. Kali ini aku nyaris pingsan saat muntah darah.
“DOKTER! PERAWAT!!” Arka berteriak.
Ruangan jadi hiruk-pikuk. Mesin monitoring berdengung keras. Perawat mendorong ranjangku ke ruang tindakan darurat. Aku hanya bisa melihat langit-langit rumah sakit, cahaya lampu yang menyilaukan, suara Arka yang memanggil namaku berulang kali.
“NAYRA! Aku di sini! Tolong bertahan, demi kita, demi anak kita.”
Aku ingin menjawab, tapi gelap menelanku.