“Bagaimana jika cinta bukan dimulai dari perasaan, melainkan dari janji terakhir seorang yang sekarat?”
Risa tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan kekasih sahabatnya sendiri—terlebih, di kamar rumah sakit, dalam suasana perpisahan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi demi Kirana, satu-satunya sosok yang ia anggap kakak sekaligus rumah, Risa menerima takdir yang tak pernah ia rencanakan.
Aditya, pilot yang selalu teguh dan rasional, juga tak bisa menolak permintaan terakhir perempuan yang pernah ia cintai. Maka pernikahan itu terjadi, dibungkus air mata dan janji yang menggantung di antara duka dan masa depan yang tak pasti.
Kini, setelah Kirana pergi, Risa dan Aditya tinggal dalam satu atap. Namun, bukan cinta yang menghangatkan mereka—melainkan luka dan keraguan. Risa berusaha membuka hati, sementara Aditya justru membeku di balik bayang-bayang masa lalunya.
Mampukah dua hati yang dipaksa bersatu karena janji, menemukan makna cinta yang sebenarnya? Atau justr
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Risa menggelar pertemuan rahasia di ruang VVIP rumah sakit, di mana Aditya masih menjalani pemulihan.
Stefanus duduk di sebelahnya, sementara Papa Aditya, Pak Wibowo memperhatikan dokumen hukum yang disodorkan Risa.
“Pa, saya butuh bantuan Anda. Pengalaman Anda di bidang hukum penerbangan bisa jadi kunci. Mereka mencoba menjatuhkan Aditya, dan sekarang... mereka juga membidik saya.”
Pak Wibowo mengangguk pelan, menyesap kopi hitamnya.
“Kita akan bentuk tim hukum yang solid. Aku punya dua mantan rekan yang ahli dalam litigasi maskapai dan hukum internasional. Kita harus bergerak cepat.”
Sementara itu, di markas besar maskapai, tim PR dan hukum memutar strategi.
Mereka menggali latar belakang Risa, dan menemukan rekaman kabar lama dimana ernikahan Risa dan Aditya yang mendadak, tanpa pesta besar. Rumor pun sengaja ditiupkan ke media.
"Risa adalah pelakor, penyebab keretakan hubungan Aditya dengan mantan tunangannya, Kirana!" teriak headline berita gosip yang mulai menyebar di media sosial.
Risa membaca berita itu dengan rahang mengeras. Tapi bukannya gentar, ia berkata tegas pada tim hukumnya, “Kita gugat balik. Fitnah ini bagian dari skema besar. Biar publik tahu siapa yang benar.”
Stefanus menambahkan, “Aku akan cari tahu siapa yang mengatur penyebaran berita ini. Kita akan patahkan mereka satu per satu.”
Kini, tak hanya pertarungan hukum di pengadilan, tapi juga perang opini publik yang mulai memanas.
Risa berdiri di hadapan barisan wartawan, wajahnya tenang namun matanya tajam.
Kamera dan mikrofon mengarah padanya. Ruangan konferensi hotel dipenuhi dengan bisik-bisik penasaran.
"Selamat siang. Saya Risa Wardhana, istri sah dari Kapten Aditya Wardhana," ucapnya tegas.
Kilatan kamera mulai menyala.
"Berita yang beredar tentang saya adalah fitnah keji yang dilontarkan oleh pihak-pihak yang ingin mengalihkan perhatian dari fakta sebenarnya: kecelakaan itu terjadi karena kelalaian maskapai, bukan suami saya."
Suasana langsung hening.
"Saya bukan pelakor. Pernikahan kami sah secara hukum dan agama. Dan saya akan buktikan bahwa pihak maskapai telah dengan sengaja menerbangkan pesawat yang tidak layak terbang. Mereka tahu mesinnya rusak dan tetap memaksa suami saya untuk terbang."
Salah satu wartawan bertanya, “Apa Anda memiliki bukti?”
Risa mengeluarkan berkas dari tasnya, lalu menyerahkannya ke meja depan.
"Di sini ada rekaman email internal teknisi dan instruksi atasan maskapai yang membuktikan adanya tekanan kepada Kapten Aditya untuk tetap terbang."
Sorakan kecil terdengar dari sebagian wartawan.
“Mulai hari ini,” lanjut Risa, “kami akan membawa kasus ini ke jalur hukum internasional. Saya juga menuntut maskapai atas pencemaran nama baik dan meminta kompensasi kepada seluruh keluarga korban. Keadilan harus ditegakkan."
Setelah itu, Risa berdiri sejenak, menatap tajam ke arah kamera.
“Dan untuk suami saya, bertahanlah. Aku akan melindungi namamu sampai akhir.”
Tepuk tangan kecil terdengar dari sudut ruangan.
Beberapa keluarga korban duduk di ruang tamu rumah sakit setelah menyaksikan siaran konferensi pers Risa.
Beberapa dari mereka menunduk, air mata jatuh tanpa suara. Yang lain memeluk foto anggota keluarga yang hilang dalam kecelakaan itu.
"Dia… dia nggak cuma bela suaminya. Dia bela kita juga," ucap seorang ibu yang kehilangan putranya, suaranya parau dan bergetar.
Seorang ayah yang sebelumnya bersikap netral kini berdiri, menatap layar TV yang menampilkan ulang cuplikan konferensi pers Risa.
“Saya akan ikut berdiri bersama Bu Risa. Dia perempuan yang tahu arti keadilan.”
Beberapa keluarga korban mulai menghubungi Risa melalui Stefanus, menyatakan dukungan penuh.
Mereka bersedia menjadi saksi di pengadilan, menyampaikan bahwa mereka tidak menuntut Aditya karena mereka tahu kini siapa yang benar-benar harus bertanggung jawab.
Stefanus menatap ponselnya yang terus berbunyi, lalu mendekati Risa yang baru keluar dari ruangan Aditya.
"Ris… keluarga-keluarga korban, mereka semua… mereka memihak kita sekarang."
Risa menahan air mata, dan untuk pertama kalinya sejak tragedi itu, ia mengangguk dengan senyum lega.
“Kita tidak sendiri lagi, Stef.”
Risa dan Pak Wibowo ayah Aditya yang juga mantan jaksa senior duduk di ruang kerja kecil rumah sakit yang telah mereka ubah jadi pusat strategi hukum.
Pak Wibowo membuka map tebal berisi dokumen bukti dan laporan teknis pesawat.
“Kita akan gunakan dua pendekatan, Ris: pertama, pembuktian bahwa maskapai lalai secara teknis. Kedua, pembentukan opini publik melalui keluarga korban yang sekarang bersama kita.”
Risa mengangguk mantap, matanya tajam. “Aku juga akan ajukan tuntutan balik pencemaran nama baik atas tuduhan ‘pelakor’ yang mereka lemparkan padaku. Kita akan pakai itu sebagai bukti mereka panik dan sedang menyerang pribadi karena kehabisan argumen hukum.”
Stefanus masuk, membawa flashdisk. “Ini hasil penyelidikan teknis dari tim independen. Mesin nomor dua memang sudah rusak sejak dua penerbangan sebelumnya. Maskapai sengaja menyembunyikannya.”
Pak Wibowo tersenyum. “Sempurna. Ini amunisi utama kita.”
Sementara itu, dari ranjang rumah sakit, Aditya menyaksikan semua dari kejauhan. Ia melihat Risa berjalan keluar dari ruang kerja membawa dokumen tebal, raut wajahnya lelah tapi tekadnya kuat. Sesuatu dalam dirinya mencair, bukan karena rasa bersalah, tapi karena rasa haru.
Aditya menggenggam selimut. “Itu istriku… perempuan yang lebih kuat dari siapa pun yang pernah aku kenal,” bisiknya.
Malam sebelum sidang.
Risa duduk di sisi ranjang Aditya, memegang tangan suaminya yang mulai kembali hangat.
Lampu kamar rumah sakit redup, hanya cahaya dari lampu baca di meja yang menyinari wajah keduanya.
Aditya menatap wajah istrinya yang tampak tegar, namun matanya sembab karena kelelahan.
“Aku minta maaf, Ris...” suaranya lirih, nyaris bergetar.
“Aku tahu aku bukan suami yang baik. Dulu aku selalu mengabaikanmu, bersikap dingin, dan... egois.”
Risa menggeleng perlahan, mengeratkan genggaman tangannya.
“Mas Aditya, tidak usah dibahas masa lalu. Aku juga pernah terluka, tapi itu sudah lewat. Sekarang mas harus kuat, tetap bertahan.”
Aditya menarik napas panjang. “Tapi aku lumpuh... wajahku rusak. Aku bukan Aditya yang dulu.”
“Benar,” Risa menatapnya tajam tapi lembut, “Mas Aditya yang sekarang lebih berarti, karena mas membuatku merasa pantas dicintai kembali. Jadi, tolong... jangan menyerah. Aku akan berdiri di pengadilan, dan mas hanya perlu percaya padaku.”
Aditya tak kuasa menahan air matanya. Ia mengangguk pelan.
“Aku percaya padamu, Ris... sepenuhnya.”
Risa tersenyum, meski hatinya sesak. Ia menunduk dan mengecup punggung tangan suaminya.
“Besok adalah awal dari akhir semua ini. Kita akan menangkan keadilan... bersama.”
Pagi hari di Inggris.
Kabut masih menyelimuti jalanan ketika mobil pengantar berhenti di depan gedung pengadilan. Suasana tampak tegang namun tertib.
Beberapa wartawan dan keluarga korban telah memadati halaman luar, membawa poster dan harapan.
Seorang polisi Inggris dengan sikap hormat mendorong kursi roda tempat Aditya duduk.
Wajahnya masih menyimpan bekas luka yang belum sepenuhnya pulih, namun sorot matanya sudah lebih hidup karena seseorang bernama Risa.
Di sisi lain, Risa melangkah mantap mengenakan jubah hitam kebesarannya sebagai pengacara, diikuti oleh Pak Wibowo ayah Aditya sekaligus pengacara senior yang terpandang. Keduanya terlihat khidmat dan siap bertarung.
Flashes kamera menyala saat mereka bertiga memasuki gedung pengadilan.
Di dalam ruang sidang, suasana hening. Hakim telah duduk di kursinya.
Pengacara maskapai tampak percaya diri, dengan tumpukan dokumen yang disiapkan di mejanya.
Risa menarik napas dalam, lalu memeluk berkas tuntutan yang disusunnya dengan penuh perjuangan. Ia menatap Aditya dan mengangguk kecil.
tata bahasanya bagus, enak dibaca
moga happy ending