"Nikah Dadakan"
Itulah yang tengah di alami oleh seorang gadis yang kerap di sapa Murni itu. Hanya karena terjebak dalam sebuah kesalahpahaman yang tak bisa dibantah, membuat Murni terpaksa menikah dengan seorang pria asing, tanpa tahu identitas bahkan nama pria yang berakhir menjadi suaminya itu.
Apakah ini takdir yang terselip berkah? Atau justru awal dari serangkaian luka?
Bagaimana kehidupan pernikahan yang tanpa diminta itu? Mampukan pasangan tersebut mempertahankan pernikahan mereka atau justru malah mengakhiri ikatan hubungan tersebut?
Cerita ini lahir dari rasa penasaran sang penulis tentang pernikahan yang hadir bukan dari cinta, tapi karena keadaan. Happy reading dan semoga para readers suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imelda Savitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bicara
Matahari kian terik ketika jam menunjukkan hampir pukul dua siang. Para pekerja mulai istirahat, duduk berjejer di bawah bayangan pohon pisang yang tumbuh di sisi pekarangan. Kaan tampak berdiri di pinggir fondasi, memantau hasil pekerjaan sambil menyeka keringat di dahinya.
Dan saat itulah, Cherry datang dari arah rumah sambil membawa dua bungkus es cekek dingin yang baru saja ia beli.
"Mas Kaan…” Panggil Cherry dengan nada manja yang dibuat-buat, membuat beberapa ibu-ibu melirik ke arahnya. “Haus ya? Nih, aku bawain es cekek. Seger, loh.”
Kaan yang memang kehausan sempat menatap ragu, namun akhirnya menerima es itu sambil berucap, “Thanks.”
Cherry tersenyum lebar, dan tanpa diminta langsung duduk di dekat Kaan, tangannya menyodorkan beberapa bungkus lainnya.
“Itu buat temennya mas Kaan yang kerja bareng ya… Tapi ini, yang rasa jeruk spesial, aku sengaja bawain buat mas Kaan.”
Kaan hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Ia tampak tidak terlalu nyaman, namun tak juga menyingkirkan Cherry dari sisinya.
Dari kejauhan, Murni yang baru muncul sambil membawa nampan berisi teko besar es teh manis dan gelas-gelas plastik, sempat tertegun melihat pemandangan itu. Langkah kakinya sempat terhenti sebentar.
Namun alih-alih ikut bersaing, Murni hanya menghela nafas pendek dan meneruskan langkahnya. Ia menghampiri para pekerja lain yang tengah duduk di bangku panjang.
"Bapak-bapak, ini es teh buat istirahat, ya…” Ucap Murni ramah, berusaha menyembunyikan getaran di suaranya.
“Wah, seger buanget Mur, makaseh ya…” ujar salah satu dari mereka.
Murni tersenyum, tapi matanya sesekali melirik ke arah Kaan dan Cherry yang masih duduk berdekatan. Ia tidak mengatakan apa-apa, namun hatinya diam-diam menegang. Ada sesuatu di dalam dirinya yang seperti berkecamuk, tapi ia belum bisa menamai rasa itu.
Sementara Cherry masih sibuk mencari topik obrolan dengan Kaan, yang hanya menjawab sekenanya. Namun jelas sekali, Cherry tidak berniat mundur sedikit pun dari ‘misinya’.
.
.
.
Malam itu langit dipenuhi bintang, dan angin berembus pelan menyejukkan udara desa yang biasanya panas di malam hari. Kaan duduk bersandar di kursi rotan tua di teras rumah bu Sri, sembari menatap langit malam yang luas dan sunyi. Di sebelahnya, sang ayah, Jonathan, ikut duduk sembari menyeruput teh hangat buatan bu Sri.
“Jadi, kapan kamu akan kembali ke Jakarta?” Tanya Jonathan tiba-tiba memecah keheningan yang sudah cukup lama tercipta.
Kaan tak langsung menjawab. Ia menatap langit sebentar sebelum menghela nafas pelan.
“Mungkin minggu depan, pah. Setelah rumah Pak Aryo sudah bisa ditinggali. Aku akan berusaha rumah itu selesai secepatnya, setidaknya mereka sekeluarga sudah bisa pindah ke sana dulu. Sisa pembangunannya akan ku pantau dari jauh.”
Jonathan mengangguk pelan. “Kamu sudah bilang ke Murni?” Tanya nya, saat itu mereka berbicara dalam bahasa inggris yang membuat beberapa orang yang lewat tidak memahami apa yang mereka bicarakan
Kaan menggeleng. “Belum. Tapi aku akan segera memberitahu hal ini. Aku tahu, Murni dan keluarganya harus tahu secepatnya. Agar Murni siap ketika harus ikut ke kota.”
"Hm, bagus kalau kamu sadar,” sahut Jonathan sambil memutar cangkir di tangannya. “Mereka bukan cuma menumpang hidup di dunia kamu, Ka. Kamu harus anggap mereka bagian dari dunia itu.”
Kaan hanya diam sesaat, lalu mengangguk pelan. “Yeah, pah. Aku mengerti.”
Jonathan lalu bertanya lagi, lebih tenang, “Kira-kira gimana keadaan perusahaan kamu sekarang?”
Kaan menyandarkan punggungnya, matanya menerawang ke kegelapan kebun di seberang jalan. “Perusahaan ku baik, tapi tidak sepenuhnya baik. Aku mulai curiga dengan asisten ku. Ada sesuatu yang janggal dengan laporan yang aku dapatkan. Aku melihat beberapa laporan keuangan yang ia kirimkan, pengeluaran dan pemasukannya terlihat tidak seimbang." Ungkapnya.
"Kesalahan itu memang tidak terlihat jelas, dan bisa saja kesalahan teknis dari mesin, tapi aku tetap harus mengeceknya secara langsung. Laporan itu tampak seperti dimanipulasi.” Timpalnya.
Jonathan menaikkan alisnya sedikit ketika mendengarnya. “Mau ku bantu periksa?”
Secepatnya Kaan langsung menggeleng.
“Tidak usah, pah. Aku bisa mengurusnya sendiri. Itu tanggung jawabku. Aku tahu ini baru awal, tapi aku tidak bisa membiarkan orang lain mengacak-acak perusahaan yang sudah susah payah ku bangun.” Balasnya dengan ekspresi wajah tidak senang, ia benar-benar akan memberi sanksi yang berat bila sekretaris nya itu ketahuan memanipulasi data perusahaannya.
Mendengar itu, Jonathan terlihat menyunggingkan senyuman bangga. “Baiklah. Tapi kalau kamu butuh bantuan, jangan sungkan bilang, ya?”
Kaan menatap ayahnya dan mengangguk. “Yeah, pah.”
Mereka kembali tenggelam dalam keheningan, ditemani suara jangkrik malam yang berirama pelan. Malam itu terasa panjang, tapi juga memberi ruang bagi Kaan untuk merenung, karena keputusan yang akan ia ambil keesokan hari bisa jadi akan mengubah arah hidupnya dan Murni.
Di sela-sela diamnya mereka yang diterpa hembusan angin malam, mendadak terdengar suara langkah kaki pelan mendekat.
“Permisi…” Suara lembut Murni menyusup di antara sunyi.
Ia berdiri di ambang teras, sembari tangannya menggenggam ujung bajunya dengan gugup. “Makan malamnya sudah siap, mas, pak. Semuanya juga sudah pada kumpul di dalam.”
Jonathan langsung mengangguk sopan dan meneguk sisa teh hangatnya. Ia bangkit dari kursi dengan santai. “Baiklah, mari makan dulu.”
Tanpa banyak bicara, Jonathan pun masuk ke dalam rumah, meninggalkan Kaan yang masih tetap duduk di kursi rotan. Ia tampak nyaman, bahkan tidak menunjukkan sedikit pun niat untuk bangkit.
“Mas... Mas ndak masuk?” Tanya Murni, sedikit bingung.
Kaan tidak langsung menjawab. Matanya menatap lurus ke depan.
“Murni.”
"Ya mas?" Murni tampak menunggu kalimat selanjutnya dari Kaan.
“Bisa kita bicara sebentar?" Lanjut Kaan, masih tanpa menoleh.
“Tapi... Mas ndak makan dulu?" Tanya balik Murni.
"Makannya nanti saja. Saya ingin bicara denganmu dulu." Ucap Kaan cepat, kali ini sambil menoleh ke arah Murni. Sorot matanya serius dan dalam, membuat Murni tidak enak hati untuk menolak lagi.
Dengan ragu, Murni akhirnya melangkah pelan dan berdiri di samping Kaan.
“Duduklah.” Kata Kaan, menunjuk ke kursi kosong di sebelahnya, kursi yang tadi diduduki oleh ayahnya.
Murni mengangguk kecil dan duduk perlahan, dengan gerak-gerik yang masih terlihat canggung. Tangannya ia lipat di pangkuannya, sementara matanya melihat ke bawah, ia tidak tahu harus meletakkan pandangan ke mana.
Beberapa detik hanya diisi keheningan sebelum akhirnya Kaan berbicara.
“Murni... Saya rasa, minggu depan saya harus kembali ke kota.”
Murni yang sedari tadi menunduk langsung mendongak. Matanya menatap Kaan dengan sedikit terkejut.
“O-Oh, secepat itu, mas?” Tanyanya pelan.
Kaan mengangguk, lalu melanjutkan, “Tapi kamu tenang saja... Kamu akan ikut dengan saya.”
Murni menelan ludah pelan. “Saya?”
“Yeah.” jawab Kaan tenang. “Tapi... Apa kamu siap berpisah dengan keluargamu?”
Murni tidak langsung menjawab. Matanya menatap ujung kakinya, lalu beralih ke pemandangan kebun di depan rumah.
“Ndak tahu, Mas... Saya belum pernah kepikiran sampai sana. Saya... belum pernah jauh dari mereka.”
Kaan ikut menatap ke arah yang sama. “Saya mengerti. Tapi... cepat atau lambat, kamu memang harus memulai hidup baru bersama saya.”
Keheningan seketika menerpa mereka berdua.
“Keluarga saya... pasti sedih,” Ujar Murni menepis keheningan itu. “Terutama ibu.”
Kaan menoleh padanya. “Kita bisa sering pulang ke sini, atau ajak mereka ke kota sesekali.”
Murni diam. Ia mengangguk pelan, meskipun wajahnya masih menyiratkan kegundahan.
“Kamu tidak apa-apa?” Tanya Kaan akhirnya.
Jujur saja, Kaan merasa agak kikuk juga ketika berbicara berdua saja dengan Murni, padahal biasanya ia tidak merasa segugup ini ketika berbicara berdua dengan perempuan.
“Iya... cuma belum biasa diajak bicara empat mata sama Mas.” Jawab Murni jujur, lalu tersenyum tipis.
Kaan terkekeh pelan, “Sama, saya juga agak canggung.”
Senyum kecil Murni mengembang sedikit lebih lebar. Tapi tak lama, kembali ia tunduk, karena perasaannya benar-benar campur aduk, antara gugup, sedih, dan perasaan asing yang tidak ia tahu apa namanya.
Setelah hening sejenak, suara Kaan terdengar kembali, kali ini lebih pelan dan dalam. “Murni…”
Murni menoleh pelan, menunggu.
“Saya ingin kamu tahu… Kalau saya tidak mempermasalahkan pernikahan kita ini.” Kaan menatap lurus ke depan, seakan sedang bicara pada malam, bukan pada orang di sampingnya.
“Saya tidak pernah menganggap pernikahan ini sebagai paksaan.” Timpalnya.
Murni tertegun. Matanya sedikit membulat, dan beralih menatap wajah Kaan dari samping.
"Saya tahu ini terjadi dengan cepat, mungkin terasa aneh atau janggal buat kamu. Tapi saya... saya benar-benar akan berusaha menjadi suami yang bertanggung jawab. Apa pun yang kamu butuhkan, akan saya usahakan. Saya akan coba jadi suami yang seharusnya.”
Kaan akhirnya menoleh menatap Murni, sorot matanya terlihat jujur. “Tapi saya ingin tahu... Apa kamu tidak keberatan mendapat suami seperti saya?”
Murni menunduk cepat, merasa pipinya perlahan memanas.
"N-Ndak, Mas...” jawabnya lirih. “Justru... saya bersyukur. Saya ndak pernah mimpi bisa menikah dengan seseorang seperti mas Kaan. Saya cuma takut... ndak bisa jadi istri yang baik.”
Kaan tersenyum tipis, senyum yang tenang dan hangat. “Kita sama-sama belajar, Murni. Saya pun belum tahu bagaimana jadi suami yang baik.”
Ia menarik nafas panjang. “Mungkin perjalanan pernikahan kita bakal terasa berat. Tidak seperti pasangan lain yang menikah karena cinta...”
Murni mengangguk pelan.
"Tapi... kalau kamu tidak keberatan, saya ingin kita tetap saling menghargai, dan menjalani semuanya perlahan. Saya yakin... perasaan bisa tumbuh dengan sendirinya.”
Murni melirik Kaan, hatinya seperti dicubit kecil-kecil oleh sesuatu yang hangat tapi juga membingungkan. Ia hanya mampu mengangguk dengan senyum malu-malu, tidak berani berkata banyak. Tapi dari sorot matanya, tampak jelas ada harapan kecil yang baru tumbuh malam itu.
ga cocok msk ke circle kaan. 😅😅😅
aq plg ga suka sm tokoh pajangan yg bermodal baik hati & cantik aja tp ga pny kontribusi apa2 di alur cerita. 🤣🤣🤣