Raina tak pernah membayangkan bahwa mahar pernikahannya adalah uang operasi untuk menyelamatkan ibunya.
Begitupun dengan Aditya pun tak pernah bermimpi akan menikahi anak pembantu demi memenuhi keinginan nenek kesayangannya yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan.
Dua orang asing di di paksa terikat janji suci karena keadaan.
Tapi mungkinkah cinta tumbuh dari luka, bukan dari rasa????
Tak ada cinta.Tak ada restu. Hanya diam dan luka yang menyatukan. Hingga mereka sadar, kadang yang tak kita pilih adalah takdir terbaik yang di siapkan semesta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asmabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu Larasati.
Mobil berhenti perlahan di depan sebuah restoran berdesain klasik. Lampu-lampu temaram menerangi pekarangan yang dipenuhi tanaman hijau menjuntai.
“Mas,” panggil Raina lirih, suaranya hampir tertelan bunyi mesin mobil yang baru saja dimatikan.
“Iya,” sahut Aditya sembari memarkirkan mobil dengan tenang.
Raina menarik napas dalam-dalam, menoleh, lalu menatap pria di sampingnya dengan mata yang dipenuhi keraguan dan harapan. “Berikan aku alasan yang kuat... kenapa Mas melarangku bekerja?”
Aditya terdiam sejenak, lalu menatapnya penuh arti. “Alasannya ada di black card yang Mas berikan untuk kamu. Mas tahu kamu bahkan belum pernah menyentuhnya. Jadi, sekarang... untuk apa kamu bekerja?”
Raina tercekat. Dadanya terasa sesak. Dia memang tak pernah menyentuh kartu itu. Bahkan isinya pun dia tak tahu. Ia terlalu takut. Takut bila suatu saat diminta mengganti semua nominal di dalamnya. Kontrak pernikahan mereka yang seharga dua miliar saja sudah cukup membuatnya tertekan.
“Tapi... itu bukan uangku, Mas. Itu uang Mas. Aku tidak mau suatu saat harus menggantinya. Seperti kontrak itu...” ucapnya lirih, hampir tak terdengar.
Aditya menatapnya dengan pandangan teduh yang membuat jantung Raina berdegup tak menentu.
“Kamu tahu berapa isi kartu itu?” tanya Aditya lembut.
Raina menggeleng pelan. “Tidak.”
Aditya tersenyum simpul, lalu menjawab, “Di dalamnya, bahkan lebih dari lima kali lipat nilai kontrak pernikahan kita.”
Raina menahan napas. Matanya melebar. Tenggorokannya tercekat. Lima kali lipat? Itu berarti... sepuluh miliar?
Tubuhnya limbung. Seandainya tidak duduk, mungkin ia sudah jatuh pingsan.
Namun Aditya kembali menatapnya serius. Suaranya pelan, tapi mengandung kekuatan yang membuat hati Raina gemetar.
“Tapi ini semua bukan tentang uang, Na. Kamu jauh lebih berharga dari semua nominal yang Mas punya.”
Raina membelalak. Bibirnya bergetar. Hatinya tak karuan. Ia ingin bicara, ingin menanyakan banyak hal. Tapi yang keluar hanyalah satu kata, terbata.
“Tapi, Mas... soal kontrak...”
“Sssstt...” Aditya meletakkan jari telunjuknya lembut di bibir Raina. “Jangan bahas itu sekarang. Kita turun, ya? Mas sudah lapar.”
Raina masih terpaku. Kata-kata Aditya mengalun pelan namun membekas dalam. Apakah itu berarti... semua ini bukan lagi tentang kesepakatan? Apakah... perasaan itu benar-benar ada?
Lamunannya buyar saat Aditya mendekat, membisikan di telinganya dengan nada menggoda, “Mau Mas gendong, atau jalan sendiri?”
Raina menunduk, malu-malu. Pipinya memerah. Tapi hatinya... mulai merasa tenang. Mungkin... ini bukan lagi tentang kontrak, melainkan tentang cinta yang perlahan tapi pasti, sedang tumbuh di antara mereka.
Setelah sarapan bersama, keduanya langsung melaju menuju kantor pusat perusahaan. Langit cerah menyambut pagi, seolah ikut merayakan sesuatu yang tak terucap antara mereka. Mobil hitam mengilap berhenti tepat di depan gedung pencakar langit berlapis kaca—markas besar perusahaan tempat Aditya menjabat sebagai CEO.
Begitu keduanya melangkah ke dalam lobi utama, Raina langsung merasakan suasana yang berbeda dari terakhir kali ia menginjakkan kaki di sana. Dulu, ia datang dengan rasa canggung dan sedikit luka hati. Ia masih mengingat jelas bagaimana petugas resepsionis saat itu memandangnya sinis, bahkan sempat menertawakannya karena kedatangannya yang tanpa pengawalan, dan tanpa perkenalan resmi sebagai istri seorang CEO.
Namun kini, semuanya berubah.
Petugas resepsionis yang dulu kini sudah tak ada. Barisan wajah-wajah baru terlihat di balik meja lobi. Mereka tersenyum ramah, menyambut dengan sopan, tanpa sedikit pun nada meremehkan. Bahkan setiap karyawan yang berlalu-lalang dan berpapasan dengan mereka tak henti membungkuk hormat sambil mengucapkan, “Selamat pagi, Tuan Aditya. Selamat pagi, Nyonya.”
Raina sedikit bingung, tapi ia tetap menjaga sikapnya. Langkahnya mengikuti langkah panjang Aditya yang percaya diri, menyusuri koridor luas berdesain modern minimalis dengan lantai marmer putih mengilap, dinding kaca beraksen hitam, dan pencahayaan hangat seperti kantor-kantor CEO dalam drama Korea kesukaannya. Bau kopi, parfum elegan, dan kesibukan korporat menyatu dalam atmosfer yang terasa begitu eksklusif.
“Mas,” bisik Raina pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh suara langkah sepatu mereka di lantai marmer.
“Hem?” sahut Aditya tanpa menoleh, tetapi ia memperlambat langkahnya.
“Resepsionisnya baru ya?”
Aditya menghentikan langkah, lalu menoleh dengan tatapan waspada. “Kenapa? Apa mereka menyinggungmu?”
Raina buru-buru menggeleng. “Enggak, justru mereka ramah banget. Cuma... yang lama ke mana?”
Aditya tersenyum kecil, samar, tapi menyiratkan sesuatu.
“Tanyakan saja ke Asisten Dika. Bisa jadi itu ulahnya.”
Raina mengangguk pelan, mulai memahami maksud suaminya. Dika, asisten pribadi Aditya yang terkenal perfeksionis dan super protektif terhadap bosnya, kemungkinan besar tak ingin hal yang sama terjadi lagi padanya.
Mereka akhirnya tiba di depan sebuah pintu besar berwarna hitam matte, dengan ukiran huruf timbul bertuliskan CEO’s Office. Pintu otomatis terbuka saat sensor mengenali sidik jari Aditya.
Ruangannya luas, elegan, dan berkelas. Jendela setinggi langit-langit menampilkan pemandangan kota dari lantai 35, sementara perabotannya berwarna putih tulang, abu-abu, dan aksen emas. Sebuah meja kerja besar dari marmer berdiri megah di tengah ruangan, dikelilingi oleh sofa-sofa premium dan rak buku penuh dokumen penting.
Raina berdiri di tengah ruangan, terpaku sejenak. Dunia Aditya memang begitu berbeda darinya. Tapi kini, ia berada di sisi pria itu—bukan sebagai tamu, bukan sebagai orang asing, tapi sebagai istri sahnya. Suasana yang dulu menegangkan, kini terasa hangat dan menguatkan.
Aditya menoleh dan memandangnya dari balik meja kerjanya.
“Selamat datang kembali... Nyonya CEO,” ucapnya sambil tersenyum penuh arti.
Raina hanya bisa menunduk, tersenyum malu. Namun hatinya... terasa hangat seperti mentari siang yang menembus dari balik jendela kaca.
Di Tempat Lain…
Pintu kaca lobi utama kembali terbuka. Kali ini, langkah kaki seorang wanita tinggi semampai terdengar jelas menggema di antara lantai marmer yang mengilap. Semua mata otomatis menoleh ke arahnya. Aura bintang yang melekat padanya langsung menyedot perhatian seluruh ruangan.
Dia adalah Larasati—model internasional dengan wajah yang kerap terpampang di papan iklan dunia, majalah fashion ternama, dan catwalk Paris hingga Milan. Dan yang lebih mencengangkan: semua orang di kantor tahu, dulu dia pernah menjalin hubungan khusus dengan CEO mereka, Aditya Dirgantara.
Larasati masuk dengan percaya diri yang nyaris angkuh. Gaun satin berpotongan rendah yang membalut tubuh rampingnya menonjolkan setiap lekuk dengan anggun, tetapi menggoda. Bahunya yang terbuka memperlihatkan kulit mulus yang memantulkan cahaya. Rambut panjang bergelombang ditata rapi, dan di tangannya tergantung tas branded keluaran terbaru yang harganya cukup untuk membeli mobil kecil.
Parfum mahal yang ia kenakan meninggalkan jejak aroma ke mana pun ia melangkah. Mewah. Mengintimidasi. Mengesankan.
Bisik-bisik mulai terdengar.
"Itu Larasati, kan? Masih cantik banget, ya…"
"Katanya dulu hampir menikah sama Pak Aditya…"
"Coba dibandingin sama Nyonya sekarang… jauh banget penampilannya."
Perbandingan itu tak terelakkan. Sebab hanya berselang beberapa menit sebelumnya, mereka semua masih menyaksikan Raina, istri sah Aditya, yang datang dengan pakaian sederhana: kaus oblong putih yang dilapisi outer tipis, celana kulot jeans yang membentuk siluet santai, dan rambut dikuncir asal, tanpa polesan makeup berlebih.
Tapi ada sesuatu yang tak bisa ditiru dari Raina. Aura teduh. Ketulusan. Dan kecantikan alami yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Gadis desa itu mungkin tak memiliki gaya metropolis, tapi tatapan matanya menyimpan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar penampilan.
Namun bagi sebagian orang, standar mereka tetap berpihak pada yang terlihat mencolok.
Larasati menyapa resepsionis dengan senyum kecil yang profesional namun mengintimidasi. "Saya ada janji dengan Aditya," ucapnya ringan, seperti menyebut nama seseorang yang masih sangat akrab dengannya.
Seketika, suasana di lobi menjadi tegang.
Asisten Dika yang sedang berjalan menuju lift, langsung menghentikan langkahnya saat melihat kehadiran wanita itu. Ekspresinya berubah. Ia segera menekan earpiece-nya, “Pak Aditya, ada tamu. Larasati. Dan… dia bilang sudah punya janji.”
Di lantai atas, di ruangan CEO…
Aditya yang tengah berbicara dengan Raina tiba-tiba membeku sesaat. Ekspresinya mengeras. Ia meletakkan dokumen yang sedang dibacanya, lalu menghela napas dalam-dalam.
Raina memperhatikan perubahan wajah suaminya, lalu bertanya pelan, “Kenapa, Mas?”
Aditya menatapnya sejenak, lalu menjawab dengan suara tenang namun penuh makna.
“Bukan siapa-siapa, tidak penting. "
Raina mengernyit bingung. Hatinya merasa tidak enak… tapi ia mencoba tetap tenang.
Aditya berdiri, merapikan jasnya. Wajahnya bersiap, tapi bukan untuk menyambut. Melainkan untuk menghadapi.
—