NovelToon NovelToon
Teman Level Adalah Pokoknya

Teman Level Adalah Pokoknya

Status: sedang berlangsung
Genre:Trauma masa lalu / Teen Angst / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:4
Nilai: 5
Nama Author: Firmanshxx969

Firman (22) punya satu prinsip dalam hidupnya: "Jangan pernah berharap sama manusia, maka kamu tidak akan kecewa." Pengkhianatan di masa lalu mengubahnya menjadi jurnalis yang dingin dan skeptis terhadap komitmen. Baginya, cinta adalah variabel yang tidak rasional.

​Di sebuah lapangan badminton di Samarinda, ia bertemu Yasmin (22). Seorang dokter muda yang lembut namun memiliki tembok yang sama tingginya dengan Firman. Yasmin adalah ahli dalam mengobati fisik, tapi ia sendiri gagal menyembuhkan luka akibat ditinggalkan tanpa penjelasan.

​Mereka tidak menjanjikan selamanya. Mereka hanya sepakat untuk berada di "level" yang sama sebagai teman diskusi, teman batin, namun tanpa ikatan yang mencekik. Namun, ketika masa lalu mulai kembali menagih janji dan jarak antar kota (Bontang hingga Labuan Bajo) mulai menguji, mampukah mereka tetap di level yang aman? Ataukah mereka harus memilih: Berhenti sebelum terluka, atau berani hancur demi satu kesempatan bahagia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 16: RETAKAN DI BALIK BADAI

Hujan yang mengguyur Samarinda malam itu bukan lagi sekadar rintik yang menenangkan, melainkan badai yang seolah ingin mencuci bersih segala dosa yang tersembunyi di balik gemerlap lampu kota. Di sebuah kafe remang-remang di pinggiran Sungai Mahakam, suasana di dalam ruangan justru jauh lebih dingin daripada udara di luar. Aroma kopi yang biasanya mengundang selera kini tertutup oleh bau pengap dari ketegangan yang menyesakkan paru-paru.

Firman duduk mematung di kursinya. Di depannya, Pak Handoko ayah Sarah menyesap cerutunya dengan ketenangan seorang predator yang tahu mangsanya sudah terpojok. Di sudut-sudut ruangan, empat pria berbadan tegap dengan tatapan mata yang tajam berdiri mengawasi setiap gerak-gerik Firman.

"Kamu punya nyali, anak muda," suara Pak Handoko berat, bergetar pelan di antara suara rintik hujan yang menghantam atap seng kafe. "Jurnalis tingkat lokal seperti kamu berani menodongkan rekaman pada orang seperti saya? Kamu tahu, di kota ini, kebenaran adalah barang mewah yang harganya bisa dibayar dengan nyawa."

Firman merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya, namun matanya tidak berkedip. Tangannya di bawah meja meremas ponsel yang masih aktif merekam. "Saya tidak peduli dengan kemewahan, Pak. Saya hanya peduli pada fakta. Dan faktanya, Anda mengorbankan karir seorang dokter muda yang jujur hanya untuk menutupi borok manajemen rumah sakit Anda di Surabaya. Itu bukan bisnis, itu kejahatan."

Pak Handoko tertawa, sebuah tawa yang kering dan tanpa emosi. Ia memberikan isyarat kecil dengan jemarinya. Dalam sekejap, salah satu pria tegap itu melangkah maju dan menghantam meja dengan keras, membuat gelas kopi Firman pecah berkeping-keping.

"Serahkan ponselnya, atau kita selesaikan ini dengan cara yang tidak akan disukai oleh pembaca beritamu besok pagi," ancam pria itu.

Firman menarik napas panjang. Pikirannya melayang pada Yasmin. Wajah pucat perempuan itu saat ia mengusirnya tadi sore terus membayangi. Ia tahu ia telah menyakiti Yasmin dengan kata-kata kasarnya, namun itu adalah satu-satunya cara agar Pak Handoko percaya bahwa Firman melakukan ini murni karena "transaksi" dengan Sarah, bukan karena cinta. Jika Pak Handoko tahu Firman mencintai Yasmin, Yasmin akan berada dalam bahaya yang jauh lebih besar.

"Silakan ambil," Firman meletakkan ponselnya di meja dengan perlahan. "Tapi Anda harus tahu, saya jurnalis. Saya tidak pernah bekerja sendiri. Data ini sudah terunggah ke cloud server kantor redaksi saya. Begitu saya tidak memberikan kode 'aman' dalam sepuluh menit, berita ini akan meledak secara nasional."

Itu gertakan. Firman tahu server kantornya sedang mengalami gangguan teknis sejak sore, tapi ia harus bertaruh. Pak Handoko tampak ragu sejenak. Matanya menyipit, mencoba mencari celah kebohongan di wajah Firman yang sedingin es.

Di Sisi Lain Kota, Perumahan Tenang.

Yasmin menatap tas jinjingnya yang sudah terisi penuh. Di dalamnya, tidak banyak barang yang ia bawa. Hanya beberapa lembar pakaian, stetoskop hadiah dari ayahnya, dan sebuah buku catatan kecil yang berisi draf-draf pemikirannya selama bertugas di Samarinda. Ia menatap kamar kosnya untuk terakhir kali. Kamar yang selama beberapa bulan ini menjadi saksi bisu bagaimana ia mencoba bangkit dari trauma Surabaya.

"Ternyata aku memang tidak pantas untuk mulai lagi," bisiknya pada keheningan ruangan.

Air matanya sudah mengering, meninggalkan jejak perih di pipinya. Kata-kata Firman sore tadi seperti pisau bedah yang memotong habis sisa-sisa harapannya. “Saya melakukannya bukan karena level kita, Yas. Saya melakukannya karena saya berutang budi.” Kalimat itu terus berputar seperti kaset rusak di kepalanya.

Yasmin merasa dirinya seperti sebuah kegagalan yang berjalan. Di Surabaya, ia dianggap dokter yang lalai. Di Samarinda, ia dianggap perusak hubungan orang lain oleh Sarah, dan sekarang, pria yang ia pikir adalah pelabuhan terakhirnya justru melihatnya sebagai beban yang harus dibayar dengan utang budi.

Ia meraih ponselnya, berniat memesan taksi menuju Bandara APT Pranoto. Ada jadwal penerbangan terakhir menuju Surabaya pukul 23.30. Ia memutuskan untuk menyerahkan diri pada komite medik di Surabaya. Ia lelah berlari. Jika ia harus kehilangan ijin prakteknya selamanya, biarlah itu terjadi. Setidaknya ia tidak perlu lagi hidup dalam kebohongan dan penolakan.

Namun, sebelum ia menekan tombol pesan, sebuah notifikasi masuk dari Rendy.

Rendy: YAS! JANGAN PERGI DULU! Firman dalam bahaya! Dia sedang menemui Pak Handoko di Kafe Tepian. Firman nekat, Yas! Dia mencoba memeras Handoko buat dapat bukti asli kasusmu. Tapi infoku bilang Handoko sudah tahu Firman bawa rekaman. Yas, tolong hubungi Firman! Dia nggak angkat teleponku!

Jantung Yasmin seolah berhenti berdetak. Bahaya? Menemui Pak Handoko?

Yasmin segera menyadari kebodohannya. Firman... pria itu tidak benar-benar membencinya. Kata-kata kasarnya tadi sore hanyalah sebuah tameng. Firman sedang bertaruh nyawa untuknya. Rasa sesak yang tadi menghimpit dadanya kini berganti menjadi ketakutan yang luar biasa bagi keselamatan Firman.

"Bodoh... Firman, kamu benar-benar bodoh," tangis Yasmin pecah kembali. Tanpa berpikir panjang, ia menyambar tasnya dan berlari keluar menuju hujan yang deras. Ia tidak menuju bandara. Ia harus menuju kafe itu.

Kembali ke Kafe Tepian.

Suasana semakin mencekam. Salah satu anak buah Pak Handoko mulai menggeledah jaket Firman. Mereka menemukan perekam suara kedua yang disembunyikan di balik ikat pinggang. Pak Handoko berdiri, wajahnya kini dipenuhi kemurkaan yang nyata.

"Kamu pikir kamu pintar, Jurnalis? Kamu pikir bisa bermain-main dengan saya?" Pak Handoko menghampiri Firman dan mencengkeram kerah jaketnya. "Berita itu tidak akan pernah naik. Karena malam ini, kamu akan mengalami 'kecelakaan' tragis di sungai ini."

Dua pria mulai menyeret Firman menuju pintu belakang kafe yang langsung menghadap ke dermaga kayu di pinggiran Sungai Mahakam. Firman mencoba melawan, namun luka di bahunya akibat insiden investigasi sebelumnya membuatnya lemah. Pukulan mendarat di perutnya, membuatnya tersungkur di atas papan kayu yang licin karena hujan.

"Buang dia," perintah Pak Handoko dingin.

Di saat itulah, suara decit ban mobil yang direm mendadak terdengar dari arah parkiran depan. Yasmin turun dari taksi dengan napas memburu, tubuhnya langsung basah kuyup terkena hujan. Ia melihat mobil Pak Handoko dan beberapa pria berjaga di depan.

"Firman!" teriak Yasmin sekuat tenaga.

Para penjaga itu mencoba menghalangi Yasmin, namun Yasmin seolah kehilangan akal sehatnya. Ia berteriak histeris, menarik perhatian beberapa warga yang berteduh di warung sebelah. "Tolong! Ada penculikan! Panggil polisi!"

Pak Handoko yang berada di dalam kafe terkejut mendengar suara Yasmin. Ia tidak ingin ada keributan publik yang bisa memancing perhatian polisi patroli. "Tahan perempuan itu! Jangan sampai dia membuat keributan lebih besar!"

Di dermaga belakang, Firman memanfaatkan momen teralihkan tersebut. Ia menendang kaki salah satu pria yang memegangnya dan berguling ke arah air. Namun, pria satunya berhasil menarik kakinya. Firman dipukul berkali-kali hingga sudut bibirnya robek dan darah bercampur dengan air hujan.

"Berhenti!" suara Yasmin bergema dari pintu belakang kafe. Ia berhasil menerobos masuk, pakaiannya compang-camping karena tarikan para penjaga, wajahnya dipenuhi ketakutan yang amat sangat.

Yasmin melihat Firman yang tergeletak di lantai dermaga. Hatinya hancur melihat kondisi pria yang biasanya begitu angkuh dan rapi itu kini bersimbah darah.

"Pak Handoko, lepaskan dia!" Yasmin berdiri di depan Firman, mencoba melindunginya dengan tubuhnya sendiri. "Saya akan pergi! Saya akan kembali ke Surabaya dan mengakui semua tuduhan itu! Saya akan mundur dari dunia kedokteran selamanya! Tapi tolong, lepaskan Firman! Dia tidak ada hubungannya dengan ini!"

Firman mendongak, menatap Yasmin dengan mata yang sayu. "Yas... pergi... jangan di sini..."

Pak Handoko mendekat, menatap Yasmin dengan sinis. "Kesepakatan yang menarik, Dokter muda. Kamu menyerahkan diri, dan jurnalis ini tetap hidup. Tapi bagaimana saya bisa menjamin kamu tidak akan bicara soal malam ini?"

"Saya bersumpah! Demi nyawa saya!" tangis Yasmin pecah. "Hanya lepaskan dia..."

Firman mengepalkan tangannya. Ia tidak bisa membiarkan ini terjadi. Ia tidak berjuang sampai sejauh ini hanya untuk melihat Yasmin mengorbankan dirinya. Dengan sisa tenaganya, Firman merayap ke arah ponselnya yang terjatuh di dekat kaki Pak Handoko.

"Jangan percaya... dia, Pak," suara Firman parau. "Berita itu... sudah naik. Rendy... Rendy sudah menekan tombol publish lima menit lalu. Cek ponsel Anda."

Pak Handoko tertegun. Ia merogoh sakunya, melihat ponselnya yang dipenuhi notifikasi berita nasional. “Skandal Korupsi Manajemen RS Bhayangkara Surabaya: Dokumentasi Investigatif Firmansah.”

Wajah Pak Handoko mendadak pucat. Ia menyadari bahwa ia telah kalah. Kekuasaannya tidak lagi bisa membendung arus informasi yang sudah menyebar di dunia digital. Di kejauhan, suara sirene polisi mulai terdengar mendekat, membelah kesunyian malam di Samarinda.

"Sialan! Pergi dari sini! Cepat!" perintah Pak Handoko pada anak buahnya. Mereka berhamburan melarikan diri, meninggalkan Pak Handoko yang berdiri mematung di tengah dermaga.

Yasmin langsung berlutut di samping Firman, memeluk pria itu dengan erat. "Firman... bangun, Firman... tolong jangan tutup matamu..."

Firman tersenyum lemah, tangannya yang gemetar mengusap pipi Yasmin yang basah. "Level kita... ternyata memang bukan soal keamanan, Yas. Tapi soal... saling menyelamatkan."

Dua Jam Kemudian, di IGD RSUD Samarinda.

Ironi yang aneh. Kali ini, Firman-lah yang terbaring di atas brankar IGD, dan Yasmin-lah yang menemaninya, bukan sebagai dokter yang bertugas, tapi sebagai seseorang yang hampir kehilangan dunianya. Firman sedang menjalani perawatan untuk luka-luka di tubuhnya dan gegar otak ringan.

Rendy berdiri di samping Yasmin, memberikan sebotol air mineral. "Beritanya benar-benar meledak, Yas. Ayah Sarah sudah diamankan polisi untuk pemeriksaan lebih lanjut. Bukti yang Firman kumpulkan selama di Bontang ternyata terhubung dengan penggelapan asuransi di Surabaya. Nama kamu akan segera dibersihkan secara resmi."

Yasmin hanya mengangguk pelan. Pandangannya tidak lepas dari wajah Firman yang sedang terlelap karena pengaruh obat pereda nyeri.

"Rendy..." panggil Yasmin pelan.

"Ya?"

"Tolong carikan tiket pesawat untuk besok pagi ke Surabaya. Tapi... hanya satu tiket."

Rendy terkejut. "Yas, bukannya nama kamu sudah bersih? Kenapa masih mau pergi? Firman butuh kamu di sini."

Yasmin menatap Firman dengan tatapan penuh luka dan kasih sayang yang bercampur aduk. "Justru karena dia sudah melakukan segalanya untukku, aku harus pergi, Ren. Dia hampir mati karena urusanku. Selama dia bersamaku, dia akan selalu berada dalam bahaya. Aku ingin dia kembali menjadi jurnalis yang dingin tapi aman, bukan pria yang harus menabrakkan diri ke badai demi menyelamatkan ban serep sepertiku."

"Yas, itu pemikiran yang salah! Firman mencintaimu!"

"Mencintaiku atau merasa bertanggung jawab padaku?" Yasmin tersenyum pahit. "Aku nggak mau berada di level 'utang budi', Ren. Itu jauh lebih menyakitkan daripada level 'teman'. Biarkan dia sembuh, dan biarkan aku menyembuhkan diriku sendiri di tempat lain."

Yasmin bangkit, mencium dahi Firman dengan lembut untuk terakhir kalinya. Ia meletakkan stetoskopnya di samping bantal Firman sebuah simbol bahwa karirnya mungkin akan berlanjut, tapi hatinya akan tertinggal di sini.

"Terima kasih sudah menjadi pokoknya dalam hidupku, Firman," bisik Yasmin.

Ia berbalik dan berjalan keluar dari IGD, meninggalkan kehangatan yang baru saja ia rasakan demi apa yang ia pikir adalah keselamatan pria yang ia cintai.

Keesokan Harinya.

Firman terbangun dengan rasa sakit yang luar biasa di kepalanya. Ia melihat sekeliling, berharap melihat sosok Yasmin di sampingnya. Namun, ia hanya menemukan Rendy yang sedang tertidur di kursi penunggu.

Ia melihat ke samping bantalnya. Ada sebuah stetoskop dan sepucuk surat kecil.

Firman meraih surat itu dengan tangan yang gemetar.

“Mas Firman, saat kamu baca ini, mungkin aku sudah di atas langit menuju Surabaya. Terima kasih untuk semuanya. Terima kasih sudah membuktikan kalau kebenaran itu ada. Tapi kamu salah satu hal, Mas... level paling aman bagi kita adalah saat kita tidak saling memiliki. Dengan begitu, kita tidak akan pernah takut untuk kehilangan. Jaga dirimu. Stetoskop ini... tolong simpan. Agar kamu ingat, ada satu nyawa yang berhasil kamu selamatkan bukan hanya secara medis, tapi secara jiwa.”

Firman meremas surat itu. Ia mencoba bangun, namun tubuhnya terlalu lemah. "Bodoh... kamu benar-benar dokter yang bodoh, Yasmin," gumam Firman dengan air mata yang mulai mengalir.

Ia menyadari bahwa perjuangannya untuk membersihkan nama Yasmin justru berakhir dengan kepergian perempuan itu. Ia memenangkan kasusnya, tapi ia kehilangan pokoknya.

Di kejauhan, suara televisi di ruang tunggu menyiarkan berita tentang keberhasilan investigasi Firmansah. Namun bagi Firman, semua kesuksesan itu tidak ada harganya jika ia harus kembali ke dunia yang sunyi tanpa suara tawa kecil Yasmin di sisinya.

Satu bulan kemudian, Firman yang sudah pulih sepenuhnya mendapatkan tugas untuk meliput pembukaan rumah sakit baru di Surabaya. Di sana, ia kembali bertemu dengan Yasmin yang kini sudah menjadi kepala IGD. Namun, Yasmin tampak tidak mengenalinya, atau sengaja pura-pura tidak kenal. Dan yang lebih mengejutkan, Yasmin tampak sedang dekat dengan seorang pria seorang dokter spesialis bedah yang merupakan masa lalu Yasmin yang belum pernah Firman ketahui. Siapakah pria itu? Dan apakah Firman akan menyerah pada "Level" yang sudah Yasmin buat, atau dia akan menggunakan insting jurnalisnya untuk merebut kembali apa yang menjadi pokok hidupnya?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!