NovelToon NovelToon
Mahar Nyawa Untuk Putri Elf

Mahar Nyawa Untuk Putri Elf

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Perperangan / Elf / Action / Budidaya dan Peningkatan / Cinta Murni
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Alif

Dibuang ke neraka Red Line dengan martabat yang hancur, Kaelan—seorang budak manusia—berjuang melawan radiasi maut demi sebuah janji. Di atas awan, Putri Lyra menangis darah saat tulang-tulangnya retak akibat resonansi penderitaan sang kekasih. Dengan sumsum tulang yang bermutasi menjadi baja dan sapu tangan Azure yang mengeras jadi senjata, Kaelan menantang takdir. Akankah ia kembali sebagai pahlawan, atau sebagai monster yang akan meruntuhkan langit demi menagih mahar nyawanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16: Lapisan Awan

Dunia di bawah sana telah lenyap, tertelan oleh samudera abu yang membentang luas tanpa ujung. Di ketinggian yang nyaris mustahil ini, hanya ada kesunyian yang mematikan dan deru angin yang membawa kristal es mana. Kaelan mencengkeram pasak logam yang tertancap di badan Pilar Perbatasan, merasakan getaran pilar yang kini terdengar seperti detak jantung yang sekarat. Tangannya yang melepuh akibat hantaman energi suci saat menyelamatkan rekan-rekannya di Altar Tertinggi kini membeku, menciptakan lapisan es tipis di atas luka-luka yang belum mengering.

"Bara, periksa tali pengamanmu sekali lagi. Jangan biarkan kristal es itu mengikis seratnya sampai putus," perintah Kaelan, suaranya parau dan hampir hilang ditelan badai.

Bara, yang berada dua meter di bawahnya, mendongak dengan wajah yang tertutup salju tebal. "Pasaknya mulai retak karena suhu ini, Komandan. Logam Terra tidak dibuat untuk menahan dinginnya atmosfer Benua Langit."

"Tahan sebentar lagi," sahut Kaelan sembari menghentakkan kakinya untuk merontokkan es. "Kita sudah melewati ribuan meter. Mundur sekarang berarti mati dalam kehinaan."

"Aku tidak takut mati, Kaelan. Aku hanya takut kita mati sebagai rongsokan sebelum sempat melihat gerbang Solaria," gumam Bara dengan napas yang tersengal.

Kaelan terdiam, menatap retakan halus pada pasak perak yang menjadi tumpuan hidup mereka. Ia tahu benar, pilar ini adalah zona transisi di mana hukum fisika dunia bawah mulai kalah oleh tekanan sihir para Elf. Di kejauhan, gema guntur mana menggelegar di balik lapisan awan hitam yang tebal, menjanjikan badai yang lebih hebat dari yang pernah mereka bayangkan.

Di Benua Langit, di balik jendela kristal kamarnya yang megah, Lyra Elviana mendadak menggigil hebat. Ia menarik selimut bulunya lebih erat, namun rasa dingin itu seolah datang dari dalam sumsum tulangnya sendiri, bukan dari udara di sekitarnya. Melalui jalur batin yang menghubungkan jiwa mereka, ia bisa merasakan setiap hembusan angin beku yang menghantam kulit Kaelan.

"Putri, perapian sudah dinyalakan maksimal. Kenapa Anda masih gemetar seperti ini?" tanya Martha, pelayan setianya, dengan nada yang sangat cemas sembari menuangkan teh herbal hangat.

Lyra menggeleng lemah, bibirnya membiru. "Nyalakan... nyalakan satu lagi, Martha. Rasanya seolah-olah seluruh darahku berubah menjadi pecahan kaca."

"Ini aneh. Tabib mengatakan kesehatan Anda baik-baik saja," Martha mendekat, mencoba menyentuh dahi Lyra.

"Pergilah, Martha! Aku hanya butuh waktu untuk... meditasi batin," potong Lyra dengan nada parau yang menyembunyikan rasa sakit luar biasa di bahu kirinya.

Lyra memejamkan mata lebih rapat, mencoba memproyeksikan sisa kehangatan dari jantungnya menuju jalur resonansi tersebut. Ia tahu Kaelan sedang berjuang melawan maut, dan setiap detak jantung pria itu yang melemah terasa seperti lonceng kematian di telinganya.

Kembali ke dinding pilar, Kaelan melihat sosok-sosok yang meringkuk di sebuah ceruk batu kecil beberapa meter di atas mereka. Mereka adalah para pengkhianat—mantan pengintai manusia dari Lembah Abu yang dulu memfitnah Kaelan di hadapan Council demi mendapatkan kepingan emas dari Pangeran Alaric. Kini, mereka teronggok seperti rongsokan, kulit mereka membiru dan mata mereka kosong karena serangan hipotermia mana.

"Tolong... Kaelan... tolong kami..." rintih salah satu dari mereka, seorang pria bernama Silas yang dulu adalah sahabat masa kecil Kaelan sebelum pengkhianatan itu terjadi.

Bara meludah ke arah jurang yang tak terlihat dasarnya. "Biarkan mereka membeku sampai mati, Komandan. Mereka yang mengirimmu ke Garis Merah dengan fitnah keji itu. Ini adalah keadilan bagi tikus-tikus seperti mereka."

Kaelan menatap Silas lama. Memori tentang saat Silas menunjuk wajahnya dan menyebutnya sebagai pencuri mana di sidang itu kembali terbayang. Rahang Kaelan mengeras, dan kuku-kukunya mencengkeram batu pilar hingga mengeluarkan debu perak halus.

"Kaelan... aku punya keluarga di bawah... tolong..." Silas mengulurkan tangannya yang gemetar, berharap pada seberkas ampunan yang mustahil.

"Dulu aku juga punya keluarga, Silas. Sebelum kau dan kelompokmu menghancurkannya demi sekantong emas," suara Kaelan terdengar sedingin es di sekitarnya.

"Kami dipaksa... Alaric mengancam kami..." rintih Silas lagi.

"Setiap orang punya pilihan," Kaelan mendekati ceruk itu, namun ia tidak mengulurkan tangan untuk menarik Silas. "Aku tidak akan membunuhmu, Silas. Tapi aku juga tidak akan menjadi penyelamat bagi orang yang telah menjual martabatnya."

"Kau membiarkan kami mati di sini?" tanya Silas dengan mata yang membelalak ketakutan.

"Aku membiarkanmu memilih," balas Kaelan sembari mengambil kantong air yang membeku dari pinggang Silas dan melemparnya ke arah Bara agar bisa digunakan sebagai cadangan. "Jika kau ingin hidup, mendakilah dengan sisa tenagamu sendiri. Jika kau jatuh, itu bukan karena tanganku, tapi karena beratnya dosa yang kau pikul sendiri."

"Kau bukan lagi Kaelan yang kukenal!" teriak Silas putus asa.

"Kaelan yang kau kenal sudah mati di Red Line," Kaelan berbalik, mengabaikan teriakan itu. "Bara, Mina, abaikan mereka. Fokus pada langkah kalian. Kita sudah hampir mencapai batas awan."

Mina, yang wajahnya pucat pasi, berpegangan pada tali Kaelan. "Komandan, tekanan oksigen semakin tipis. Jika kita tidak segera menemukan tempat berlindung, paru-paru Jiro akan pecah."

"Tahan sedikit lagi, Mina. Aku merasakannya... gerbang awan sudah dekat," bisik Kaelan, meski sebenarnya penglihatannya mulai kabur.

Tiba-tiba, suara pekikan tajam membelah badai. Dari balik awan hitam di atas, dua sosok bersayap perak meluncur turun dengan kecepatan yang mengerikan. Mereka adalah Patroli Sayap, unit kavaleri udara kasta rendah Elf yang bertugas menjaga keamanan pilar dari gangguan makhluk Void maupun manusia.

"Deteksi anomali di sektor pilar! Ada tikus Terra yang mencoba memanjat!" teriak salah satu patroli melalui alat pengeras suara sihir.

"Tancapkan pasak lebih dalam! Semuanya, berlindung di balik ceruk batu sekarang!" raung Kaelan.

Pasukan Legiun Karang segera merapat ke dinding, namun posisi mereka terlalu terbuka. Salah satu patroli melepaskan panah cahaya yang meledak tepat di samping posisi Kaelan, meruntuhkan sebagian lapisan luar pilar dan menciptakan gelombang kejut yang hebat.

"Komandan! Taliku tersangkut!" teriak Jiro yang panik.

Kaelan mencoba meraih Jiro, namun sebuah guncangan hebat mendadak merayap dari inti pilar. Efek dari badai mana yang bertemu dengan suhu beku menciptakan kontraksi pada logam pasak mereka.

Crak!

Suara itu terdengar seperti tulang yang patah di tengah keheningan badai. Pasak utama yang menahan beban seluruh tim tiba-tiba terlepas dari celah batu yang membeku.

"Semuanya, pegangan!" teriak Kaelan.

Dunia seolah jungkir balik. Kaelan merasakan tubuhnya terhempas ke bawah, ditarik oleh beban Bara, Mina, dan Jiro yang terhubung pada sabuknya. Dalam sepersekian detik yang menentukan antara hidup dan mati, Kaelan melepaskan kapaknya dan menusukkan jari-jari tangan kanannya langsung ke dalam celah batu pilar yang membeku.

"Arghhh!" raungan Kaelan membelah langit.

Tulang peraknya berderit hebat, menghasilkan suara logam yang beradu di dalam dagingnya yang membeku. Jari-jarinya yang diperkuat teknik Iron Bone menembus batu seperti pasak hidup. Ia tergantung di sana dengan satu tangan, sementara tangan lainnya mencengkeram tali nyawa kawan-kawannya yang bergelantungan di atas jurang ribuan meter.

"Lepaskan kami, Kaelan! Kau tidak akan kuat menahan beban kami semua!" Bara berteriak dari bawah, melihat lengan Kaelan yang mulai mengeluarkan uap panas akibat gesekan energi.

"Diam, Bara! Aku tidak... melakukan semua ini... hanya untuk melihat kalian jatuh!" Kaelan menggeram, pembuluh darah di pelipis dan matanya menonjol, pecah hingga mengubah pandangannya menjadi kemerahan pekat.

Di Benua Langit, Lyra tersungkur dari kursi kamarnya. Ia merasakan beban luar biasa di bahu dan lengannya, seolah-olah ia sendiri yang sedang bergelantungan di tepi jurang maut. Air matanya mengalir deras, membasahi lantai marmer yang dingin.

"Kaelan... tolong... bertahanlah..." isak Lyra sembari mencakar lantai, mencoba menyalurkan setiap tetes tekadnya melalui jalur resonansi yang kini terasa seperti kawat berduri yang membara.

qLengan kanan Kaelan bergetar hebat, memancarkan uap panas yang kontras dengan udara beku di sekelilingnya. Jari-jarinya yang menancap di sela batu bukan lagi sekadar daging dan tulang; teknik Iron Bone Marrow telah mengubahnya menjadi paku perak yang dipaksa menahan beban empat nyawa di atas jurang kematian. Suara derit dari dalam bahunya terdengar mengerikan, seperti logam yang dipelintir hingga batas patahnya.

"Komandan, kau akan hancur! Bahumu mulai robek!" teriak Mina yang melihat darah segar mulai merembes dari balik pakaian Kaelan dan langsung membeku menjadi kristal merah di lengannya.

"Tutup mulutmu dan mulai mendaki melalui punggungku!" raung Kaelan. "Jiro! Gunakan pundakku sebagai pijakan! Sekarang!"

Di bawah tekanan maut, Jiro merangkak naik dengan tangan gemetar. Setiap injakan kakinya di bahu Kaelan membuat Kaelan mengerang tertahan, namun cengkeraman jarinya di celah batu tidak goyah sedikit pun. Martabat seorang pria yang telah bersumpah untuk tidak meninggalkan siapa pun kini menjadi satu-satunya kekuatan yang mencegahnya untuk menyerah pada rasa sakit yang melampaui batas manusia fana.

Di Benua Langit, Lyra Elviana meraung di lantai kamarnya. Martha yang mencoba mendekat terlempar mundur oleh gelombang energi tak stabil yang keluar dari tubuh sang Putri. Lyra meraba bahu kirinya yang terasa seolah sedang dihantam palu godam berulang kali.

"Cukup, Kaelan... kumohon, ambil kekuatanku saja... jangan hancurkan dirimu..." bisik Lyra dengan suara yang nyaris hilang.

Ia memejamkan mata, memaksakan kesadarannya untuk masuk lebih dalam ke jalur resonansi The Shared Scar. Secara sadar, Lyra mulai menarik sebagian beban fisik yang dirasakan Kaelan ke dalam inti jiwanya sendiri. Di mata Martha yang ketakutan, kulit lengan Lyra tiba-tiba memar hebat dan membiru, seolah ia baru saja menahan beban berton-ton secara fisik.

Kembali di pilar, Kaelan merasakan sensasi aneh. Rasa sakit yang tadinya terasa seperti akan meledakkan kepalanya mendadak sedikit mereda, digantikan oleh kehangatan lembut yang mengalir dari dadanya—tepat di mana sapu tangan Azure milik Lyra tersimpan. Sapu tangan yang kini telah membeku kaku itu seolah memancarkan denyut kehidupan.

"Lyra... jangan bodoh... kau bisa mati jika menarik beban ini," gumam Kaelan di tengah napasnya yang tersengal.

Namun, bantuan batin itu memberinya celah untuk bergerak. Dengan sentakan otot perak yang eksplosif, Kaelan menarik tubuhnya ke atas satu jengkal lagi, lalu tangan kirinya menyambar pasak cadangan di pinggangnya dan menghujamkannya ke dinding batu dengan kekuatan penuh.

Tancap!

Logam itu terhujam dalam. Kaelan segera mengaitkan tali pengaman timnya ke pasak baru tersebut. Begitu beban di lengannya terlepas, ia jatuh berlutut di sebuah tonjolan batu sempit, memuntahkan darah hitam yang tercampur dengan sisa-sisa energi mana yang tidak stabil.

"Kita... selamat?" tanya Jiro dengan suara yang hampir tidak terdengar.

"Jangan santai dulu," sahut Bara sembari menarik Kaelan masuk ke dalam ceruk gua kecil yang tersembunyi di balik lapisan awan yang mulai menyelimuti mereka. "Patroli sayap tadi pasti memanggil bantuan lebih banyak."

Mina segera mendekati Kaelan, mencoba membuka baju pelindungnya yang sudah hancur. Ia terpekik melihat kondisi jari-jari Kaelan. Kuku-kukunya telah lepas sepenuhnya, dan tulang peraknya terlihat menonjol dari balik daging yang robek.

"Kau gila, Kaelan. Jari-jarimu... ini tidak akan bisa sembuh hanya dengan ramuan biasa," isak Mina sembari mengeluarkan botol kecil berisi ekstrak herbal pahit.

"Oleskan saja. Aku masih butuh tangan ini untuk mendaki sisa jaraknya," kata Kaelan datar. Ia meraba sakunya, memastikan sapu tangan Azure itu masih ada di sana. Kain kusam itu kini ternoda oleh darahnya sendiri, sebuah simbol pengorbanan yang kian pekat.

Dari kegelapan gua di depan mereka, bau amis yang menyengat tiba-tiba menyeruak. Itu bukan bau es atau angin, melainkan aroma daging busuk dan energi hitam yang akrab bagi mereka yang pernah bertugas di Garis Merah.

"Kaelan, ada sesuatu di dalam sini," bisik Bara sembari mengangkat kapaknya.

Kaelan mencoba berdiri, meskipun kakinya terasa seperti terbuat dari timah. Matanya yang memiliki kilat perak menembus kegelapan gua. Di sana, di antara tumpukan tulang belulang manusia dan sisa-sisa perlengkapan Elf, sepasang mata merah besar menyala.

"Bukan hanya patroli sayap yang harus kita khawatirkan," gumam Kaelan sembari merasakan getaran di sumsum tulangnya. "Sesuatu dari Abyss telah naik lebih dulu ke pilar ini."

Sosok besar itu melangkah keluar dari bayang-bayang. Itu adalah seekor Orc yang telah terinfeksi energi Void—makhluk yang seharusnya hanya ada di dasar dunia bawah, namun kini berada di gerbang menuju langit.

"Bersiaplah. Jika kita tidak bisa melewati monster ini, maka semua perjuangan kita tadi hanyalah penundaan kematian," Kaelan mengepalkan tangannya yang hancur, membiarkan energi Spark 6 miliknya membakar sisa-sisa rasa sakitnya.

Di Benua Langit, Lyra Elviana perlahan membuka matanya. Ia masih tergeletak di lantai, lemah dan tak berdaya, namun ia bisa merasakan perubahan aura di pihak Kaelan. Rasa takutnya kini berubah menjadi tekad yang dingin. Ia tahu, pertempuran yang sebenarnya baru saja dimulai.

"Martha... bantu aku berdiri," perintah Lyra dengan suara dingin yang membuat pelayan itu gemetar. "Siapkan gaun upacaraku. Ayah akan segera memanggilku ke aula utama, dan aku harus terlihat seperti seorang Putri yang tidak tahu apa-apa tentang kematian yang sedang mendaki pilar itu."

Lyra menatap cermin, melihat matanya yang satu mulai berkilat dengan warna ungu gelap—tanda bahwa Mata Void-nya mulai bereaksi terhadap stres ekstrem. Ia harus menutupi identitasnya, sementara Kaelan harus mengungkap kekuatannya. Dua sisi dari satu takdir yang sedang ditarik menuju titik temu di lapisan awan yang berdarah.

Kaelan menatap Orc itu, lalu menoleh ke arah teman-temannya yang kelelahan. "Mina, jaga Jiro di belakang. Bara, bersamaku. Kita tunjukkan pada monster ini bahwa manusia dari Ash-Valley tidak mudah untuk ditelan."

Angin badai di luar gua menderu semakin kencang, menelan suara geraman sang Orc saat Kaelan melangkah maju dengan tulang perak yang mulai berpijar di balik kulitnya yang robek.

1
prameswari azka salsabil
ok sip kalau begitu
prameswari azka salsabil
bagus kaelan
prameswari azka salsabil
kaelan semakin kuat💪👍
prameswari azka salsabil
dataran tinggi?
prameswari azka salsabil
lasihan lyrs🤣🤣
prameswari azka salsabil
baguslah kalau begitu👍
prameswari azka salsabil
awal keseruan
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
sungguh pengertian
prameswari azka salsabil
kasihan sekali kaelan
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
luar biasa
Kartika Candrabuwana: jos pokoknya👍
total 1 replies
prameswari azka salsabil
ujian ilusi
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
sesuai namanya
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
syukurlah kaelan meningkat
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
ada petubahan tradisi?
Kartika Candrabuwana: pergerseran nilai
total 1 replies
prameswari azka salsabil
kaelan bertahanlah
Kartika Candrabuwana: ok. makasih
total 1 replies
prameswari azka salsabil
bertarung dengan bayangan🤣
Indriyati
iya. untuk kehiduoan yang lebih baik
Kartika Candrabuwana: betul sekali
total 1 replies
Indriyati
ayo kaelan tetap semanhat😍
Kartika Candrabuwana: iya. nakasih
total 1 replies
Indriyati
bagus kaelan semakinnkuat👍😍
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
Indriyati
iya..lyra berpikir positif dan yakin👍💪
Kartika Candrabuwana: betul
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!