"Apa gunanya uang 100 Miliar jika tidak bisa membeli kebahagiaan? Oh, tunggu... ternyata bisa."
Rian hanyalah pemuda yatim piatu yang kenyang makan nasi garam kehidupan. Dihina, dipecat, dan ditipu sudah jadi makanan sehari-hari. Hingga suatu malam, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
[Sistem Kapitalis Bahagia Diaktifkan]
[Saldo Awal: Rp 100.000.000.000]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sukma Firmansyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16: Rasa Penyesalan dan Kartu Nama Konglomerat
Ballroom Hotel Mulia terasa dingin bagi Dimas, meskipun AC ruangan sudah disetel di suhu normal.
Ia berdiri di dekat meja prasmanan, memegang gelas cocktail dengan tangan gemetar menahan marah. Matanya tak lepas dari sosok Rian yang kini dikelilingi teman-teman angkatan lain.
Mereka yang dulu bahkan tidak ingat nama Rian, kini berebut menyapa.
"Eh Yan, gila lo makin ganteng aja!"
"Yan, bisnis apaan sih sekarang? Bagi info dong!"
"Yan, inget gue nggak? Temen sekelompok pas semester 3?"
Rian menanggapi mereka dengan senyum tipis dan anggukan sopan. Tidak banyak bicara. Justru Maya, yang berdiri di sampingnya, yang sibuk membagikan kartu nama perusahaan.
"Belagu banget tuh orang," desis Dimas kepada Siska di sampingnya. "Pasti itu duit panas. Judi online, atau... pesugihan. Nggak mungkin jualan nasi bisa beli Alphard dalam setahun."
Siska diam saja. Matanya menatap Rian dengan pandangan nanar. Dulu, ia sering memarahi Rian karena motor bututnya sering mogok saat pacaran. Sekarang? Rian terlihat seperti pangeran yang tak terjangkau.
Dimas yang panas hati akhirnya tidak tahan. Ia berjalan menerobos kerumunan yang mengelilingi Rian, menarik perhatian semua orang.
"Woy! Minggir-minggir!" seru Dimas lantang.
Ia berdiri berhadapan dengan Rian. Suasana ballroom mendadak hening. Musik jazz background terasa mencekam.
"Hebat ya lo sekarang, Yan," kata Dimas dengan nada sinis yang dibuat-buat. "Gue denger lo jualan Nasi Rames? Wah, hebat. Gue kira lo bisnis tambang atau saham. Ternyata cuma tukang masak?"
Beberapa teman Dimas terkikik pelan, mencoba mendukung pentolannya.
"Emang cukup ya untung jualan nasi 10 ribuan buat sewa Alphard sama bayar sekretaris cantik ini?" lanjut Dimas, matanya melirik nakal ke arah Maya. "Atau jangan-jangan... sekretarisnya juga 'sewaan'?"
Maya hendak maju untuk membalas, tapi Rian mengangkat tangan kanannya. Memberi isyarat: Biar aku yang urus.
Rian menatap Dimas tenang. Tanpa emosi.
"Dimas," suara Rian datar namun bergema di ruangan sunyi itu. "Bisnis gue memang cuma jualan nasi. Nasi yang dimakan orang-orang kelaparan. Nasi yang harganya murah biar semua orang bisa makan enak."
Rian maju setengah langkah.
"Lo boleh hina gue. Tapi jangan hina profesi yang ngasih makan banyak orang. Dan satu lagi... jangan pernah merendahkan karyawan gue."
Dimas tertawa canggung. "Halah! Sok suci lo! Paling juga—"
"Permisi."
Sebuah suara berat dan berwibawa memotong perdebatan itu.
Kerumunan di belakang Dimas terbelah. Seorang pria paruh baya berjas mahal, dengan rambut memutih namun postur gagah, berjalan mendekat. Di belakangnya ada dua asisten yang sigap.
Wajah Dimas pucat seketika. Ia kenal orang ini. Semua orang di ruangan ini kenal.
Ini Pak Hartono, Alumni Kehormatan Kampus mereka. Salah satu taipan properti terbesar di Indonesia. Donatur utama acara reuni ini.
Pak Hartono tidak menatap Dimas. Matanya terkunci lurus ke arah Rian.
"Anda... Rian? Pemilik Warung Bahagia di Jalan Merpati?" tanya Pak Hartono sopan.
Rian mengangguk hormat. "Benar, Pak. Selamat malam."
Wajah tegas Pak Hartono langsung berubah sumringah. Ia menyalami tangan Rian dengan dua tangan—gestur penghormatan tinggi.
"Astaga! Akhirnya ketemu orangnya!" seru Pak Hartono antusias. "Kamu tahu, Nak Rian? Tadi siang istri saya yang lagi sakit kanker, mogok makan berhari-hari. Tapi pas anak buah saya bawain Gulai Ayam dari warung kamu... dia habis dua piring! Dia bilang rasanya bikin dia semangat hidup lagi."
Satu ballroom menahan napas.
Gulai warung Rian... bikin istri konglomerat makan lahap?
"Saya mau ucapkan terima kasih banyak," lanjut Pak Hartono tulus. "Saya denger kamu mau ekspansi bumbu kemasan? Kebetulan grup ritel saya punya 500 cabang supermarket. Kalau produk kamu sudah siap, langsung telepon saya. Saya kasih rak paling depan."
Pak Hartono mengeluarkan kartu nama emasnya dan memberikannya pada Rian.
JEDER!
Bagi Dimas, ucapan itu seperti petir di siang bolong.
Barusan dia menghina bisnis Rian sebagai "cuma tukang masak". Detik berikutnya, Orang Terkaya di ruangan ini justru memohon agar produk Rian masuk ke supermarketnya.
Rian menerima kartu nama itu dengan tenang. "Terima kasih, Pak Hartono. Kebetulan lusa saya mau urus mesin pabriknya. Nanti sekretaris saya akan hubungi Bapak."
"Mantap! Saya tunggu! Sukses ya, Nak Rian!" Pak Hartono menepuk bahu Rian akrab, lalu berlalu pergi.
Dimas berdiri mematung. Mukanya merah padam, semerah kepiting rebus. Malu. Hancur. Ia ingin menghilang ditelan bumi. Teman-temannya yang tadi mendukungnya kini mundur perlahan, pura-pura tidak kenal.
Rian menoleh ke Dimas lagi.
"Dim, nikmatin pestanya ya. Makanannya enak kok," kata Rian santai, lalu berbalik pergi meninggalkan Dimas yang masih loading.
Rian berjalan menuju pintu keluar ballroom. Misinya sudah selesai. Ia bosan dengan kepalsuan di sini.
"Rian! Tunggu!"
Suara wanita memanggil. Rian berhenti. Ia tahu siapa itu tanpa menoleh.
Siska berlari kecil mengejarnya, meninggalkan Dimas yang masih bengong di tengah ruangan.
"Yan..." Siska berdiri di depan Rian, napasnya terengah. Matanya menatap Rian dengan pandangan memuja—pandangan yang dulu ia berikan saat Rian baru gajian dan mentraktirnya nonton.
"Kamu... kamu hebat banget sekarang," kata Siska lembut, tangannya mencoba menyentuh lengan jas Rian. "Aku nggak nyangka."
Rian mundur sedikit, menghindari sentuhan itu. "Makasih, Sis."
"Yan, soal dulu... aku minta maaf ya," Siska memasang wajah paling sedihnya. "Aku waktu itu masih muda, labil. Dimas tuh kasar orangnya, beda sama kamu yang sabar. Sebenernya... aku kangen sama kita yang dulu."
Maya di belakang Rian memutar bola matanya malas. Drama basi, batin Maya.
Rian menatap mantan kekasihnya itu. Dulu, ia menangis bermalam-malam saat Siska pergi. Tapi sekarang, saat melihat Siska... Rian tidak merasakan apa-apa. Kosong. Seperti melihat orang asing.
"Sis," kata Rian pelan. "Aku udah maafin kamu kok."
Wajah Siska berbinar. "Beneran? Berarti kita bisa—"
"Tapi aku nggak bisa lupa," potong Rian. "Kamu ninggalin aku pas aku lagi di titik terendah. Orang yang nggak ada pas aku susah, nggak berhak ada pas aku senang."
Rian menatap jam tangannya.
"Balik gih ke Dimas. Kasian dia sendirian. Kalian berdua cocok kok. Sama-sama ngukur orang dari dompet."
Tanpa menunggu jawaban, Rian melangkah pergi.
"Ayo, May. Pak Teguh udah nunggu."
Siska terpaku di tempat. Air matanya menetes. Bukan air mata tulus, tapi air mata penyesalan karena melepas tiket lotre yang sudah menang.
Di dalam mobil Alphard yang melaju membelah malam Jakarta.
Rian melonggarkan dasinya. Ia menghela napas panjang.
"Puas, Bos?" tanya Pak Teguh dari kursi depan.
"Jujur, Pak? Biasa aja," jawab Rian sambil melihat jalanan lewat jendela. "Ternyata balas dendam itu rasanya hambar. Lebih enak liat Bu Ningsih senyum daripada liat Dimas nangis."
Maya yang duduk di sampingnya tersenyum tipis. Dia menutup iPad-nya.
"Itu artinya Bapak sudah naik kelas. Bapak bukan lagi di level mereka."
[TING!]
[MISI SELESAI: The Silent King]
[Target: Membungkam Peragu dengan Prestasi]
[Status: PERFECT CLEAR (Divalidasi oleh Tokoh Berpengaruh)]
[REWARD DITERIMA:]
Poin Reputasi: +1.000
Akses Toko: BLACK MARKET (Tier Spesial) Terbuka!
Bonus Item: "Cincin Pendeteksi Racun" (Grade B)
Rian menegakkan punggungnya.
Black Market?
Dan... Cincin Pendeteksi Racun?
Kenapa Sistem memberinya item berbahaya seperti itu? Apakah ancaman selanjutnya bukan lagi soal bisnis, tapi soal nyawa?
"Pak Teguh," panggil Rian serius.
"Siap, Bos?"
"Besok kumpulin tim keamanan baru Bapak. Saya punya firasat, setelah viral ini, musuh kita bukan cuma preman pasar lagi."